Platform E-dagang Pangkas Jumlah Tengkulak
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan platform e-dagang bagi petani dapat memangkas jumlah transaksi perdagangan melalui tengkulak sehingga produk pertanian dapat tiba di tangan konsumen dengan lebih murah. Selama ini, hasil pertanian harus melalui 8-13 tengkulak hingga produk mencapai konsumen.
Chief Operating Officer PT 8villages Indonesia Wim Prihanto, dalam peluncuran program ”Untukmu Perempuan Indonesia” oleh 8villages, di Jakarta, Jumat (6/4/2018), menyatakan, harga komoditas pertanian Indonesia tinggi karena harus melewati banyak tengkulak atau perantara.
PT 8villages Indonesia adalah perusahaan rintisan teknologi informasi yang fokus pada percepatan modernisasi wilayah pedesaan.
”Setiap kali melewati tengkulak atau middleman, harga barang selalu naik 10 persen,” kata Wim. Jumlah perantara beragam, tetapi ia pernah menemukan di lapangan jumlah tengkulak untuk cabai mencapai 13 orang.
Banyaknya tengkulak membuat harga barang tinggi. Ia mencontohkan, harga cabai di Magelang, Jawa Tengah, Rp 10.000 per kilogram. Namun, di Jakarta harganya dapat mencapai Rp 50.000 per kilogram.
Wim menuturkan, PT 8villages Indonesia membuat platform e-dagang bagi petani bernama RegoPantes. Platform tersebut membuat petani memasarkan produk langsung ke calon pembeli. Setelah pembeli memesan, perusahaan tersebut akan mengatur jadwal dan transportasi pengiriman produk.
Menurut dia, kebiasaan buruk petani Indonesia adalah mereka tidak mengetahui harga produk di pasar atau harga pokok penjualan. Dengan demikian, proses perhitungan harga mengambil harga tengah.
Harga cabai di daerah penghasil, misalnya, Rp 50.000 per kilogram, sedangkan di Jakarta Rp 50.000 per kilogram. Perusahaan akan mengambil harga tengah, yaitu total kombinasi kedua harga, Rp 60.000 per kilogram, dibagi dua menjadi Rp 30.000 per kilogram.
Perusahaan lalu menghitung biaya pengemasan dan transportasi. Ketika total biaya, misalnya, Rp 4.500, biaya yang harus dibayar pembeli sebesar Rp 34.500.
Kedua pihak akan saling diuntungkan. Petani menjual dengan harga yang lebih tinggi dan pembeli membeli dengan lebih rendah.
”Kedua pihak akan saling diuntungkan. Petani menjual dengan harga yang lebih tinggi dan pembeli membeli dengan lebih rendah,” ujarnya.
Saat ini, PT 8villages Indonesia memiliki sekitar 3.500 petani tersebar di seluruh Indonesia yang terdaftar. Namun, baru sekitar 120 yang berjualan melalui platform tersebut dengan jumlah 8.000 transaksi. Total komoditas yang dijual mencapai 60 jenis, seperti sayur, buah, dan beras.
Wim menyebutkan, respons petani cukup bagus dengan keberadaan platform tersebut, terutama di Jawa Tengah. Hal itulah yang membuat pemerintah daerah melalui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meluncurkan platform tersebut secara resmi kepada petani tahun lalu.
”Sekarang ada permintaan untuk daerah pertanian di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal,” ucapnya.
Selain untuk memangkas jumlah tengkulak, petani juga dapat menggunakan teknologi digital untuk berkonsultasi dengan pakar pertanian dan bertukar informasi. Tingkat antusiasme petani dinilai cukup tinggi.
Director of Marketing RegoPantes Anita Hesti mengatakan, keberadaan teknologi membantu petani karena mereka selama ini bingung harus bertanya kepada siapa. Terdapat aplikasi bernama Petani yang juga telah diluncurkan sebagai tempat petani berkonsultasi.
Aplikasi tersebut berisi petani anggota PT 8villages Indonesia yang bergabung dalam komunitas Layanan Informasi Desa dan 300 pakar pertanian.
Pakar pertanian tersebut berasal dari berbagai instansi, seperti akademisi Universitas Gadjah Mada, anggota Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), dan penyuluh pertanian. Mereka memberikan layanan konsultasi secara gratis.
Data dari PT 8villages Indonesia pada Maret 2018 menunjukkan, beberapa masalah yang paling sering dihadapi petani adalah mereka tidak dapat mengidentifikasi masalah pada usaha mereka (29 persen), pemupukan (16 persen), serangan penyakit (17 persen), serangan hama (10 persen), dan informasi harga (8 persen).
Peran konsumen
Peningkatan kuantitas dan kualitas produksi pertanian Indonesia harus seiring berjalan dengan peningkatan kesadaran konsumen. Semakin giatnya petani lokal terjun ke dunia digital untuk memasarkan produk dapat menjadi sia-sia jika tidak ada pembeli.
Direktur Panda Lestari Rina Aryanti menyatakan, kolaborasi semua pihak dibutuhkan untuk memajukan petani Indonesia. Panda Lestari adalah anak perusahaan dari yayasan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia yang memasarkan produk petani lokal Indonesia.
Peran konsumen dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan usaha pertanian.
”Peran konsumen dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan usaha pertanian,” kata Rina.
Untuk menarik partisipasi konsumen, mereka dapat diberitahukan manfaat yang dapat diperoleh ketika membeli produk pertanian lokal.
Pada produk dapat dicantumkan manfaat yang diperoleh ketika dikonsumsi. Selain itu, produk juga dapat mencantumkan asal, proses pembuatan, dan keunikan. Informasi tersebut dinilai dapat membentuk suatu ikatan antara konsumen dengan produk dan secara langsung dengan penghasil produk.
Dengan demikian, ujar Rina, konsumen semakin termotivasi untuk membeli. ”Ketika konsumen tahu, akan ada empati dan koneksi yang terjalin,” katanya.
Ana (48), pembeli produk petani lokal yang ditemui di Jakarta Selatan, gemar membeli produk lokal karena percaya bahwa hasil tani Indonesia memiliki jaminan mutu yang lebih baik.
Saya juga membeli sebagai salah satu bentuk apresiasi kepada petani Indonesia. Sebagai konsumen, kita harus membantu menyejahterakan petani.
”Saya juga membeli sebagai salah satu bentuk apresiasi kepada petani Indonesia. Sebagai konsumen, kita harus membantu menyejahterakan petani,” ucapnya.