Menyiasati Defisit Energi di Maraton Ultra
Ada dua pertarungan seru kait-mengkait tengah dijalani para peserta lomba maraton ultra Tambora Challenge yang tengah berlangsung. Pertama, perjuangan kasatmata. Kedua, pergulatan tak maujud yang pasti dinilai dahsyat bagi para ilmuwan keolahragaan: ahli gizi, kedokteran, pakar kepelatihan.
Lomba kasatmata jelas berupa upaya para pelari menuntaskan jarak 320 kilometer. Rute itu merentang dari Pototano di ujung barat laut Pulau Sumbawa, menyusuri jalan lintas pulau hingga finis di Doro Ncanga, kaki Gunung Tambora, yang terletak di bagian timur pulau tersebut.
Dalam setiap kayuhan langkah mereka—dalam upaya memenuhi tenggat finis 72 jam, setiap peserta ditantang oleh alam. Siang hari, suhu udara bisa sepanas 41 derajat Celcius. Kelembaban bisa di atas 90 persen yang membuat kulit seolah sulit bernapas.
Lomba tak terlihat adalah pergumulan para peserta untuk terus dapat menyuplai tubuh mereka dengan “bahan bakar” sepanjang 320 km.
Malam hari, suhu yang melorot bisa menjadi berkah, tetapi berbalik menjadi musibah jika hujan mengguyur deras. Belum lagi kontur lintasan yang bisa saja mendaki, katakanlah landai, tetapi terasa tak berujung.
Lomba tak terlihat adalah pergumulan para peserta untuk terus dapat menyuplai tubuh mereka dengan “bahan bakar” sepanjang 320 km. Tubuh kita tak berbeda dari kendaraan bermotor: perlu bahan bakar yang memadai untuk bisa bekerja.
Bahkan hanya untuk sekadar dihidupkan mesinnya—tanpa harus dipakai meluncur ke suatu tempat—pun kendaraan bermotor perlu memiliki bensin atau minyak diesel di tangkinya.
Bahkan untuk sekedar menjaga tubuh tetap hidup—jantung berdetak, dada mengembang dan mengempis agar sistem pernapasan bekerja, segala jaringan syaraf berfungsi, dan sebagainya—kita sudah membutuhkan energi yang ujung-ujungnya bersumber dari asupan.
Para ahli menyebut jumlah energi untuk “leyeh-leyeh” itu (dalam kondisi istirahat, sama sekali tak ada aktivitas) dengan istilah laju metabolisme basal atau basal metabolic rate (BMR).
Berapa besarnya energi yang dibutuhkan jika kita tiduran terus seharian? Bergantung pada usia, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, status kesehatan, dan tingkat kebugaran seseorang.
Orang yang tinggi besar tentu punya BMR yang lebih banyak dibandingkan rekannya yang kecil mungil. Semakin bugar Anda, semakin efisien penggunaan energi dan BMR Anda dipastikan lebih rendah dibanding mereka yang tidak suka berolahraga.
Contoh kasar, seorang perempuan di usia 40-an tahun dengan tinggi 155 centimeter (cm) dan berat 40-an kilogram (kg) berstatus kesehatan baik-baik saja, tidak loyo tetapi juga tak segar-segar amat, mungkin kebutuhan BMR-nya berkisar 1.200 kiloKalori. Kebutuhan itu setara dengan kita memakan sekitar 600-700 gram nasi putih (tanpa lauk pauk apa pun).
Kenyataannya, hidup tidaklah hanya didedikasikan untuk tidur sepanjang waktu. Kita perlu berjalan, berdiri-duduk, berpikir, berbicara, dan sebagainya. Bagi Anda yang suka berolahraga, kita juga perlu energi untuk berlari, berjalan cepat, atau mengayuh pedal sepeda.
Lalu berapa keluaran energi para pelari Tambora Challenge dari start hingga finis sepanjang 320 km, selama 60-70 jam? Dikurangi waktu-waktu istirahat (termasuk di tujuh pos besar atau check point) yang berkisar 10-15 jam, memang waktu lari mereka tidak selama 60-70 jam. Akan tetapi, istirahat makan, ganti baju, mandi pun perlu energi bukan?
Memang, belum ada penelitian dan pengumpulan data tentang output energi di lomba yang sudah digelar empat kali sejak 2015, itu. Namun, gambaran jumlah energi yang dipakai dalam ajang lari ultra jauh bisa didapat, salah satunya dari penelitian yang dilakukan Eric Williamson, ilmuwan dari Departemen Ilmu Kepelatihan (Exercise Science) University of Toronto, Kanada (“Nutritional implications for ultra-endurance walking and running events”, jurnal terbuka biomedcentral.com, 2016)
Salah satu contoh, energi yang dipakai oleh seorang pelari dalam lomba sepanjang 160 km di New York selama sekitar 26 jam (ini kurang lebih sehari) adalah sekitar 14.000-an Kalori. Ini lebih dari lima kali lipat kebutuhan normal ideal seorang lelaki dewasa Indonesia aktif (30-49 tahun) pekerja kantoran yang 2.625 Kalori sehari.
Lalu, apakah selama lomba si pelari maraton ultra tersebut (jika dia orang Indonesia atau punya kebiasaan makan seperti orang Indonesia) harus makan lima kali porsi normal? Pastinya tidak.
Kita harus mengingat kembali, seseorang perlu latihan (baca pengalaman lari) yang lama dan panjang untuk bisa mampu mengikuti lari ultra jauh. Di saat itu, tubuh si pelari pastinya sudah sangat terlatih dalam mengefisienkan penggunaan energi.
Itu perbedaannya. Kesamaannya, makanan si pelari dengan si pekerja kantoran tidaklah berbeda. Mereka sama-sama makan nasi atau roti, daging dan ikan, biskuit manis dan coklat, sayur, juga minum air putih.
Pergulatan mendebarkan
Jika urusan makan memenuhi kebutuhan energi sehari-hari adalah urusan rutin yang kadang membosankan, upaya pelari maraton ultra dalam memasok zat gizi bahan bakar sepanjang lomba adalah sebuah pergulatan yang amat menarik.
Pergulatan mereka jauh lebih seru dan rumit dibandingkan strategi pemenuhan zat gizi bahan bakar dalam ajang maraton biasa.
“Bahan bakar” bagi manusia bersumber dari tiga zat gizi: karbohidrat, lemak, dan protein. Air, vitamin dan mineral—jenis zat gizi lainnya—bukan bahan bakar, tidak punya nilai kalori. Tetapi ketiganya punya peran yang juga sangat penting agar proses pemanenan energi dari ketiga bahan bakar itu bisa berlangsung dengan baik.
Selain itu, ada yang membedakan antara kita manusia rata-rata dengan atlet atau mereka yang telah terlatih dan berpengalaman dalam olahraga daya tahan (endurance sports).
Tubuh kelompok yang terakhir ini, seperti: pelari jarak jauh, pesepeda touring, perenang jarak jauh, telah terlatih “mengalihkan mode” penggunaan bahan bakar dari karbohidrat ke lemak saat beraksi (bergantung pada durasi dan intensitas aktivitas olahraga mereka).
Sebaliknya kita (termasuk pehobi olahraga yang biasa saja) relatif cuma punya satu mode. Hampir semua energi dalam aktivitas kita bertumpu pada karbohidrat.
Para atlet maraton ultra pun menghindari sampai menggunakan protein sebagai sumber bahan bakar mereka selama beraksi.
Lemak lebih banyak digunakan saat istirahat, tidur, duduk, sakit (karena terpaksa tiduran dan susah makan), atau olahraga dalam intensitas rendah.
Protein adalah sumber energi dalam keadaan darurat seperti ketika “nyasar” di hutan atau saat memancing di tengah laut, mesin perahu kita mogok. Tanpa makanan, dan ketika glukosa dan glikogen (glukosa cadangan yang disimpan dalam sel-sel otot tulang kerangka) serta lemak telah terkuras, barulah tubuh kita menggunakan protein.
Kenyataannya, para atlet maraton ultra pun menghindari sampai menggunakan protein sebagai sumber bahan bakar mereka selama beraksi.
Kini, mari kita tengok strategi suplai energi dalam maraton.
Seorang pelari biasa dalam satu lomba maraton memerlukan antara 2.200 hingga 3.600 Kalori. Dengan kecepatannya yang jauh lebih tinggi—meski efisiensi energinya juga tinggi—pelari elite maraton bisa jadi menggunakan energi lebih dari itu.
Karena sasarannya adalah waktu yang secepat mungkin (dengan waktu tempuh 2 jam sekian belas menit hingga kurang dari 2 jam 30 menit), atlet elite maraton beraksi dengan irama lari (pacing) yang memerlukan 80-90 persen dari serapan oksigen maksimal mereka (VO2 max). Bahkan lebih tinggi lagi di ruas-ruas terakhir lomba.
Hal ini membuat pelari maraton nyaris 100 persen mengandalkan karbohidrat sebagai bahan bakarnya. Pasalnya, karbohidrat adalah bahan bakar yang dapat cepat menghasilkan energi dengan hasil berupa kontraksi otot yang relatif cepat dan bertenaga (lemak berkonsekuensi pada gerakan yang lamban).
Para pelari maraton—dan tim pelatih mereka—mengandalkan satu fakta fisiologis manusia. Tubuh manusia mampu menyimpan karbohidrat dalam bentuk glikogen sebanyak 2.000 kalori. Sel-sel otot tulang kerangka atlet agaknya mampu menyimpan lebih banyak dari itu.
Dengan demikian, strategi yang biasa dilakukan adalah dengan yang dikenal sebagai “menumpuk karbohidrat” (carbohydrate loading). Ini adalah sebuah teknik yang bermanfaat pada cabang-cabang olahraga daya tahan, yang sebuah ajangnya berlangsung lebih lama dari 75 menit.
Di tiga hari terakhir menu karbohidrat itu ditingkatkan kembali menjadi 70 persen.
Prosedur carbohydrate loading antara lain dilakukan dengan pertama, “menumpulkan” (taper off) latihan intensitas tinggi yang menguras glikogen sejak enam hari sebelum lomba. Kurun tiga hari pertama, atlet mengasup makanan dengan 50 persen di antaranya berupa karbohidrat. Di tiga hari terakhir menu karbohidrat itu ditingkatkan kembali menjadi 70 persen.
Bagi pelari maraton ultra, strategi ini baik. Namun, pastinya tidak mencukupi mengingat durasi lomba yang mereka jalani merentang antara lebih dari enam jam hingga sekian hari. Mereka harus berkali-kali mensuplai ulang bahan bakar selama lomba.
Secara umum, strategi para pelari bertumpu pada kedisiplinan dalam suplai ulang di satu sisi, dan improvisasi sebagai reaksi terhadap perkembangan situasi yang dihadapi dalam lomba: tantangan alam maupun kondisi mereka sendiri.
Inilah lomba tak kasatmata di lomba lari ultra jauh seperti Tambora Challenge. Tujuan utama seorang pelari maraton ultra dalam pertarungan tersebut adalah: menekan sekecil mungkin defisit energi mereka.
Selalu tekor
Williamson menunjukkan, energi yang dipakai seorang pelari maraton ultra sangat besar. Di sisi lain, energi yang mereka pasok ke dalam tubuh lewat makanan selama lomba selalu lebih sedikit.
Selalu tidak pernah mencapai kebutuhan, tidak pernah mencapai break even point. Williamson malah berhitung, kalori yang diasup pelari sepanjang lomba hanya memenuhi 36-54 persen dari keluaran energinya.
Satu faktor utama defisit energi saat atlet berlomba di maraton ultra adalah: makan ternyata tak semudah yang dibayangkan. Dalam ajang seperti itu, selama sekian puluh jam, sepanjang sekian hari, seorang pelari dipaksa menghadapi berbagai perubahan cuaca: panas, dingin, hujan, terik, perubahan medan lomba: menanjak, menurun, dan sebagainya.
Kondisi-kondisi tersebut dan aktivitas lari (ditambah berjalan) yang mereka lakukan terus-menerus berakibat pada pengurasan fisik yang amat sangat.
Betapapun bugarnya Anda, betapapun banyaknya pengalaman lomba Anda, maraton ultra sedikit banyak akan menekan selera makan, membuat lecet kaki, waktu tidur anda sangat terbatas, dan akhirnya mengganggu sistem pencernaan walau sedikit
Itu belum ditambah dengan suplai logistik yang belum tentu ada di waktu atau tempat yang Anda perlukan. Oleh karenanya, biasanya para pelari maraton ultra tidak pernah melewatkan kedisiplinan dalam mengudap makanan tinggi karbohidrat (atau gula sederhana) pada waktu-waktu tertentu selama lomba.
Eni Rosita (39), pelari putri yang tahun lalu menjuarai Tambora Challenge, misalnya, menceritakan, saat berlari lintas Sumbawa, dia rutin mengudap penganan cokelat (biasanya yang ada campuran wafer, karamel, serealia. Makanan ini banyak dijual dengan beragam merek).
“Saya berhenti dulu sebentar, beli di warung,” kata Eni mengenang pengalamanannya agar tak pernah kehabisan logistik seperti itu. Ini jelas pilihan taktis.
Penganan cokelat seperti itu berukuran kecil sehingga mudah dihabiskan, gampang dikunyah, mengandung gula sederhana yang tinggi, karbohidrat yang gampang dan cepat diserap tubuh.
Strategi berikut, para pelari tidak pernah melewatkan kesempatan makan lengkap di titik-titik peristirahatan (check point). Pada Tambora Challenge, ada tujuh titik seperti itu. Di sana, panitia ujar Direktur Lomba, Lexi rohi, menyediakan makanan menu seimbang: nasi, lauk berupa daging, ayam, atau ikan, sayur-mayur, dan buah.
Suplai besar ini penting bagi peserta seperti Eni, tidak hanya untuk mengurangi defisit karbohidrat. Namun, mereka amat memerlukan protein yang asam-asam aminonya digunakan untuk membentuk protein baru pembangun sel baru pengganti yang rusak.
Selain itu, vitamin-vitamin dalam sayur mereka perlukan untuk menunjang proses pemanenan energi yang sempurna.
Dalam sayur dan buah itu pula peserta memperoleh mineral yang diperlukan tubuh. Pisang, sebagai contoh, kaya akan potasium yang jika tidak cukup dikandung otot, menyebabkan kram (bukan rasa jarem yang disebabkan penumpukan asam laktat sebagai produk sampingan pemanenan energi anaerobik).
Strategi lain yang dijalankan seorang pelari maraton ultra adalah: menggunakan lemak tubuh mereka sebagai sumber energi dalam berlari. Lewat latihan (lari) yang rutin dan berulang selama sekian tahun, tubuh atlet olahraga daya tahan beradaptasi untuk bisa cepat (pindah mode) menggunakan lemak mereka sebagai energi saat beraktivitas. Ini sumber energi yang mewah.
Saat dibutuhkan, lemak (trigliserida) dalam tubuh kembali memecah ke dalam dua komponen pembentuknya: gliserol (yang merupakan molekul karbohidrat dengan tiga unsur karbon) dan asam lemak.
Gliserol membentuk asam piruvat yang lalu melewati siklus Kerbs untuk menghasilkan ATP, senyawa yang memindahkan energi ke otot pengguna.
Adapun asam lemak masuk pabrik energi mitokondria di dalam sel otot tulang kerangka. Lewat proses yang disebut reaksi oksidasi beta, yang berlangsung berulang, asam lemak ini pun menghasilkan senyawa ATP.
Ini tidak berarti seorang pelari harus makan lemak yang banyak saat berlomba.
Lemak tubuh bisa jadi merupakan “penyelamat” yang menutup defisit “impor dan ekspor” energi seorang pelari dalam maraton ultra. Itu karena kemampuannya menyuplai energi dalam jumlah besar.
Satu mol asam lemak misalnya, bisa menghasilkan 146 ATP. Itu belum ditambah gliserol yang memproduksi 22 ATP. Bandingkan dengan glukosa yang cuma bisa memanen 38 ATP.
Ini tidak berarti seorang pelari harus makan lemak yang banyak saat berlomba. Lemak itu diperoleh dari cadangan dalam tubuh.
Tubuh tubuh pelari jarak jauh memang sangat tipis. Namun, itu bukan persoalan karena secuil amat kecil lemak pun sudah mengandung energi yang besar.
Hanya saja, meski tubuh atlet olahraga daya tahan seperti maraton ultra itu sudah terlatih untuk beradaptasi memakai lemak, penggunaannya pun tidak setiap saat. Itu bergantung pada intensitas aktivitas yang tengah dilakukan, juga pada durasinya.
Tetap saja lemak baru bekerja ketika pelari beraksi dalam kecepatan rendah, misalnya saat berjalan atau berlari pelan. Tahun lalu di Tambora Challenge, Eni tercatat memiliki kecepatan lari rata-rata 6 km per jam atau 1,6 meter per detik.
Seperti yang diamati Lexi bahwa pelari umumnya memanfaatkan malam hari untuk berlari lebih cepat dan lebih lama, lalu menurunkan kecepatan dan lebih singkat, saat istirahat, agaknya itu pula yang dilakukan para peserta seperti Eni.
Finis bukan berarti lomba usai bagi seorang pelari maraton ultra.
Dia memanfaatkan maksimal energi karbohidrat di malam hari dengan kecepatan yang mungkin lebih dari 6 km per jam. Lalu, Eni menurunkan kecepatan di bawah 1,6 meter per detik (secara ajeg) di siang hari agar defisit suplai energi ditutupi oleh lemak tubuhnya.
Meski begitu pada akhirnya, defisit tetaplah defisit. Finis bukan berarti lomba usai bagi seorang pelari maraton ultra.
Mereka dihadapi tantangan pemulihan tubuh: mengembalikan keseimbangan energi, mengganti sel-sel tubuh yang rusak, hidrasi, dan sebagainya.
Semakin si pelari piawai dan berpengalaman dalam menekan defisit tersebut, proses pemulihan relatif berlangsung cepat, aman, dan damai.
Terdengar seperti bukan olahraga yang menyehatkan? “Kalau lari sampai sekian lama, mencari sehat dari mana?” ujar Eni tertawa dalam perbincangan, akhir pekan lalu, beberapa hari sebelum bertolak ke Sumbawa.
Namun jangan takut. Olahraga ekstrem seperti maraton ultra juga sama sekali bukan ajang mencari sakit. Maraton ultra memang bukan untuk semua orang.
Jika berminat, tempalah diri Anda sekian lama dalam latihan dan lari jarak-jarak jauh dengan sabar dan suka cita. Mungkin suatu hari, gairah untuk menjadi pelari maraton ultra tumbuh dalam diri Anda.