”Jalur Neraka” Itu Menguras Mental dan Tenaga
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/Adrian Fajriansyah/Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Lintasan neraka!” pekik Novita Wulandari saat berlari seorang diri di kilometer 115, Kamis siang. Di depannya, jalanan beraspal yang jauh memanjang memancarkan fatamorgana dengan bayangan air di ujung. Suhu berkisar 38-40 derajat celsius dengan langit membiru nyaris tanpa awan, benar-benar menguras tenaga dan mental peserta. Hari kedua Lintas Sumbawa 320K, yang berlangsung hingga Sabtu (7/4) ini, menjadi cobaan hebat para pelari.
Mereka mencoba bertahan, ibarat ”melawan” tantangan alam, dengan kondisi tubuh yang dipacu. Namun, sembilan orang terpaksa menghentikan upayanya sebelum setengah perjalanan ditempuh.
”Blister (kapalan) saya menghebat, mual-mual, dan panas luar biasa. Saya terpaksa DNF (did not finish/mengundurkan diri),” kata Mila Marlina yang mengalami blister sejak kilometer 80. Ia terhenti di kilometer 114.
Ahmad Latif Chofifin, yang juga menderita lecet di selangkangan, harus menghentikan langkahnya karena mual dan cedera engkel. ”Panasnya luar biasa, saya sepertinya tidak akan cukup waktu mencapai COT (cut of time/batas waktu maksimal) di kilometer 120,” ujarnya. ”Kaki dan fisik saya sakit, tetapi cobaan terberat adalah mental,” kata Wiliam Lesmana, peserta full ultra.
Memahami alam
Mereka yang bertahan adalah yang telah memahami alam yang akan dihadapi. Oktavianus Quaasalmy, Wiliam ”Binjai” Lesmana, dan Matheos Berhitu termasuk yang sudah berpengalaman menjajal lintasan cadas tersebut. Sepanjang Kamis, tiga orang itu berada di barisan terdepan, saling salip hingga kilometer 160 atau check point (CP) 4. Setiap CP berjarak 40 kilometer dengan COT 9 jam.
Namun, sambil berlari Oktavianus pun harus menahan rasa sakit di otot antara bagian paha dan betis kanannya. Langkahnya sedikit terpincang. Kendati demikian, ”wong kito galo” dari Palembang itu tetap mantap melangkahkan setiap tapak kaki di jalur ekstrem Lomba Lari Lintas Sumbawa 320K. Bahkan, ia pun menjadi pelari pertama yang mencapai CP 4 di Plampang, Sumbawa, NTB, Kamis, dengan waktu 24 jam 28 menit.
Pada kilometer 150, Okta memilih tidur sekitar 30 menit. Sesampai di CP 4, ia pun tak terburu-buru langsung berlari lagi. Ia memanfaatkan betul kesempatan istirahat. Setidaknya, dua jam ia berada di CP 4 untuk mandi, makan, dan sedikit terapi meregangkan otot. ”Sudah 160 kilometer, saya memilih santai saja. Kalau terus diforsir, fisik bisa hancur,” katanya.
Pelari bertumbangan
Cuaca ekstrem membuat para pelari bertumbangan setelah start yang diguyur hujan lebat. Hingga pukul 20.39 Wita, tercatat sembilan pelari gagal finis. Mereka adalah Haenri Sudrarendro DNF di kilometer 44, Eko Ryzananto (Km 70), Eddy Angkawibawa (Km 85), Ahmad Latif Chofifin (Km 110), dan Adlan Djohan atau Mak Del (Km 114). Selain itu, Mila Marlina (Km 114), Dhadhang Suryanto (Km 120), Abdul Aziz D (Km 124), dan Nukhasin Santari (Km 130).
Salah satu pelari full ultra yang DNF, Eddy Angkawibawa, sudah mencoba mengembalikan kondisi fisik dan mengumpulkan tenaga di CP 2. Di sana, ia mendapatkan perawatan medis dan tindakan terapi. Ia pun sudah mendapatkan asupan minum dan makanan yang cukup.
Namun, selang 5 kilometer meninggalkan CP 2, Eddy memutuskan berhenti. Ia mengalami kelelahan parah. Ditambah lagi telapak kaki kirinya kapalan. Meski sempat dirawat, ia tak sanggup lagi menahan rasa sakit setiap kakinya melangkah. ”Hanya orang-orang luar biasa yang mampu menyelesaikan lomba ini,” ujarnya.
Selain Eddy, Haenri di kategori relay juga memutuskan tidak melanjutkan perlombaan akibat penyakit asam lambung yang dideritanya. Haenri sempat menderita penyakit mag akut. Namun, sebulan terakhir, dokter menyatakan kondisinya siap untuk perlombaan ultra.
Sayangnya, penyakit mag itu kambuh saat dia sampai di kilometer 20 Lintas Sumbawa. Kondisi itu membuat ia muntah saat mendapat asupan makanan di CP 1. Akhirnya, memasuki kilometer 44, mata Haenri berkunang-kunang. Ia pun tumbang. ”Saya nyerah, tidak mungkin lanjut lagi,” ujarnya sesaat setelah memutuskan mundur.
Untuk menyelesaikan perlombaan lari ultra, pelari harus memahami kondisi tubuh guna mengatur daya tahan sepanjang perlombaan. Sebelum lomba, pelari pun harus melakukan pemanasan. Di sisi lain, pelari juga diharapkan tidak langsung memforsir energi sejak awal lomba agar otot tidak tegang.
”Namun, banyak pelari tidak melakukan pemanasan yang tepat. Hal itu mungkin akibat faktor cuaca ketika start yang hujan deras sehingga mereka tidak sempat pemanasan,” kata fisioterapi di Lintas Sumbawa, Rizka Aulia (24).