Kuasa Hukum Ahok Pertanyakan Putusan MA
JAKARTA, KOMPAS — Kuasa hukum mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mempertanyakan putusan penolakan permohonan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung yang dinilai dilakukan terburu-buru. Hingga kini, tim pengacara belum menerima salinan putusan peradilan.
Penasihat hukum Basuki, Fifi Lety Indra, dalam konferensi pers untuk merespons keputusan MA, di Jakarta, Kamis (5/4/2018), menyatakan, terdapat perbedaan waktu yang signifikan dalam pemberian putusan dibandingkan dengan kasus permohonan PK kasus lainnya, seperti Antasari, yang terjerat kasus pembunuhan.
Ia membandingkan, Basuki mendaftarkan permohonan PK pada 2 Februari 2018, sedangkan Antasari 15 Agustus 2011. Keduanya sama-sama mengikuti sidang di pengadilan negeri setelah 22 hari.
Selesai sidang, berkas Basuki dilimpahkan setelah 9 hari, sedangkan berkas Antasari baru 38 hari kemudian. Putusan penolakan Basuki diberikan dalam waktu 19 hari, sementara Antasari 122 hari.
”Ada pernyataan bahwa putusan Basuki dipercepat karena merupakan persoalan yang penting,” kata Fifi. Pernyataan tersebut dinilai menyiratkan terdapat perlakuan yang berbeda atas kasus Ahok di mata hukum.
Hingga sekarang, tim pengacara Basuki belum menerima salinan putusan setelah diputuskan MA. Ia menambahkan, langkah hukum berikutnya akan diputuskan setelah mereka menerima salinan dan klarifikasi dari MA.
Sebelumnya, Basuki alias Ahok melalui kuasa hukumnya mengajukan PK karena menganggap terdapat kekhilafan pada putusan hakim. Dugaan itu muncul setelah putusan bersalah terhadap Buni Yani diberikan oleh hakim di Pengadilan Negeri Bandung (Kompas, 26 Maret 2018).
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah saat dihubungi secara terpisah mengatakan, putusan perkara Ahok masuk ke dalam kategori perkara khusus karena mendapat perhatian banyak masyarakat. ”Jadi dipercepat karena ada alasannya,” katanya.
Selain itu, terdapat dua alasan lainnya, yaitu tunggakan perkara MA saat ini sedang sedikit, yaitu sekitar 1.500 kasus, sedangkan dulu dapat mencapai puluhan ribu kasus sehingga membutuhkan waktu yang lama.
Alasan lainnya adalah penanganan kasus menjadi cepat karena MA telah menggunakan template dokumen. Kasus yang dulu dapat mencapai ribuan halaman kini dapat disederhanakan menjadi 10-15 halaman saja.
Putusan MA terkait penolakan PK Basuki dinyatakan masih dalam minutasi sehingga belum diterima PN Jakarta Utara. Menurut Abdullah, penanganan kasus yang ideal adalah dilakukan segera mungkin.
Dalam situs resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, terkait jangka waktu penanganan perkara di MA, penanganan perkara kasasi dan PK harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 250 hari, terhitung dari penerimaan berkas hingga pengiriman kembali berkas ke pengadilan pengaju, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Setelah putusan, terdapat proses minutasi, yakni penyelesaian proses administrasi seperti pengetikan dan pengesahan suatu perkara setelah sidang, oleh panitera pengadilan. Minutasi secara keseluruhan membutuhkan waktu maksimal 98 hari untuk perkara umum dan 11 hari untuk perkara khusus yang ditetapkan undang-undang atau menarik perhatian publik.
Sementara itu, pengiriman berkas dan salinan putusan harus dilaksanakan maksimal 14 hari untuk perkara umum dan satu hari untuk perkara khusus yang ditetapkan undang-undang atau menarik perhatian publik.
Putusan Basuki disampaikan pada 26 Maret 2018. Ketua Majelis Hakim MA yang menangani perkara ini adalah Artidjo Alkostar didampingi dua hakim lainnya, yaitu Salman Luthan dan Sumardijatmo.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan, Amnesty International Indonesia menyesalkan putusan MA yang menolak PK yang diajukan Basuki. ”MA kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hukuman yang tidak adil dan memastikan perlindungan atas kemerdekaan berpendapat dan berkeyakinan di Indonesia,” tuturnya.
Ditolaknya PK Basuki dinilai Usman sebagai salah satu kemungkinan pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang adil, termasuk hak melakukan upaya banding melalui peradilan yang independen dan imparsial. Ia mengatakan, Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA harus memastikan independensi dan imparsialitas peradilan.
Terkait isu yang beredar bahwa Hakim Agung yang menangani perkara PK Basuki pernah menjabat di sebuah organisasi masyarakat yang mendukung pemenjaraan Basuki, Abdullah menyatakan, peraturan untuk menjadi hakim mewajibkan setiap orang untuk melepaskan afiliasinya terhadap organisasi apa pun. ”Menjadi seorang hakim tidak perlu dipertanyakan lagi independensinya,” ujarnya.
Namun, menurut Usman, independensi, profesionalisme, dan integritas hakim yang bertugas dalam kasus penistaan agama yang dialami Basuki akan diuji karena masalah tersebut mengandung intervensi politik dan tekanan sosial yang besar dari kelompok masyarakat tertentu.
Selain itu, maraknya hakim yang terkena kasus korupsi dan keberadaan Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA menunjukkan, seorang hakim mampu membuat kekeliruan dalam sebuah putusan. ”Namun, kami tetap menghormati putusan MA sebagai lembaga hukum tertinggi Indonesia. MA adalah benteng pertahanan terakhir pencari keadilan,” ujarnya.
Basuki Tjahja Purnama saat ini dihukum 2 tahun penjara akibat kasus penodaaan agama tahun 2017. Ia adalah satu dari 11 orang yang dipidana dengan pasal penistaan agama di 2017, tetapi merupakan tokoh publik dan pejabat pertama yang dipenjarakan.
Usman menyatakan, memenjarakan dengan vonis penodaan agama dinilai tidak adil dan melanggar HAM dalam hukum internasional. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat UU diminta untuk menghapus UU No 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
[video width="640" height="352" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2018/04/WhatsApp-Video-2018-04-05-at-17.21.49.mp4"][/video]