Tugas Berat Sudah Menanti Ketua Baru
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2018-2020 yang baru saja terpilih, Anwar Usman, dinanti tugas berat. Pengganti Arief Hidayat itu punya tanggung jawab besar untuk mengembalikan citra MK sebagai rumah bagi para pencari keadilan konstitusi.
Tugas itu kian berat mengingat dua dari tiga ketua MK terdahulu tersangkut masalah hukum ataupun etik. Pada 2013, ketua MK saat itu Akil Mochtar ditangkap KPK karena menerima suap dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah. Sementara itu, ketua MK sebelumnya, Arief Hidayat, dua kali melanggar kode etik hakim konstitusi.
Bahkan, hakim Konstitusi pada 2017, Patrialis Akbar, divonis hukuman delapan tahun penjara karena menerima suap terkait pengurusan uji materi UU Peternakan di MK.
Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, Selasa (3/4/2018), di Jakarta, mengatakan, Anwar bertugas mengembalikan MK yang dulu merupakan ladang strategis baru para pencari keadilan dan perlindungan konstitusi.
”Tetapi, lima tahun belakangan ini sudah tidak menarik lagi. Bahkan, sampai beberapa pengacara tidak lagi menempatkan MK sebagai arena pertarungan gagasan. Saya melihat publik tidak percaya lagi karena satu hakim yang dianggap bermasalah,” kata Erwin.
Koordinator Divisi Lembaga Negara dan Peyelenggara Negara Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Andalas) Beni Kurnia mengatakan, publik sudah jelas melihat keterpurukan MK di bawah Akil dan Arief. Untuk itu, Anwar dituntut mengembalikan marwah MK.
Selain tugas mengembalikan marwah, kata Beni, ketua MK itu dinanti tugas berat menyelesaikan sengketa Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, terutama Pemilu 2019 yang bersamaan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Anwar harus bisa menyelesaikan sengketa yang banyak dalam waktu terbatas, tentunya dengan integritas.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, menegaskan, tidak ada pengawasan khusus untuk internal MK. Belum ada badan atau organisasi yang dapat melakukan pengawasan khusus terhadap hakim MK.
Untuk itu, perubahan wajah MK bergantung pada pribadi pemimpinnya. Anwar sebagai pemimpin harus memiliki kredibilitas, integritas, dan punya sikap negarawan, seperti ketua MK terdahulu, Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD.
”Ketua MK memegang peran penting mendorong perubahan di internal MK. Sudah sepatutnya dia menjadi contoh para pegawai dan hakim MK lainnya,” kata Lola.
Harapannya, peristiwa pada 2017 tidak terulang, saat koalisi masyarakat sipil melaporkan hakim Konstitusi, Arief Hidayat, Anwar Usman, Suhartoyo, dan Aswanto, karena tidak memperbarui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Setelah ada laporan itu, mereka baru memperbarui LHKPN.
Jangan konvensional
Permasalahan lainnya, Anwar Usman dan Wakil Ketua MK terbaru Aswanto diminta mengubah perspektif yang konvensional. Sebelumnya, kedua hakim itu menyetujui gugatan yang berbau konvensional, seperti menyetujui pasal perzinaan dan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Erwin, MK tidak perlu mencampuri hak-hak warga negara. Hal itu masuk dalam kekuatan sipil. Negara hukum selalu berbicara tentang hak sipil warga negara. Artinya, negara tidak bileh mencabut hak untuk hidup dan lainnya sebagai waga negara.
”Misalnya saja pasal zina. Aktivitas seksual itu, kan, privasi dari warga negara. Atau KPK, kan, sebenarnya penting untuk perlindungan terhadap hak-hak warga negara itu sendiri,” ucap Erwin.
Untuk itu, Erwin berharap MK harus terbuka pada kritik publik dan mengambilnya dengan bijaksana. Jangan seperti pemimpin sebelumnya, yang melihat kritik sebagai tujuan politis untuk menjatuhkan posisi.
Perjelas waktu
Ketua MK baru juga perlu memperhatikan soal lamanya waktu putusan. MK harus melihat kegentingan dari sebuah gugatan untuk diselesaikan karena kerap terjadi putusan dikeluarkan setelah permasalahan sudah berakhir.
Salah satunya terjadi pada kasus gugatan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait aturan cuti kampanye. Saat itu, putusan MK baru keluar Juli 2017 atau tiga bulan setelah Basuki kalah dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta.
”Itu menjadi salah satu kendala soal lamanya waktu putusan dan itu harus menjadi perhatian. Banyak sekali putusan yang membutuhkan respons cepat. Mereka seharunya paham itu,” kata Erwin.
Data Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif menyebutkan, pada 2016 rata-rata lama putusan MK adalah 10,5 bulan. Waktu itu dihitung sejak awal registrasi hingga diputuskannya gugatan pemohon.
Beni menilai, pendekatan penyelesaian gugatan terhadap UU perlu diselaraskan dengan gugatan pemilu. MK perlu memperjelas batas waktu pengujian suatu perkara, sama halnya seperti pemilu, yang ada jangka waktunya.
”Hal itu untuk memastikan waktu penyelesaian perkara. Kalau tidak, itu akan merugikan para pencari keadilan karena harus berapa lama bolak-balik untuk menghadiri sidang. Belum, kalau yang rumahnya di Padang,” kata Beni.
Selain itu, MK juga perlu menyederhanakan persidangan. Putusan bisa segera dibuat bila para hakim menilai saksi sudah cukup menyakinkan. ”Kalau sekarang, kan, ahlinya semakin banyak, saksinya juga banyak. Ini buat lama jadwal persidangan,” katanya.
Menurut Lola, sepatutnya ada sistem yang lebih transparan dalam kepastian jadwal dan lamanya sidang. Waktu yang berlarut-larut akan memunculkan ketidakpastian. Kemudian, hal itu akan membuka celah untuk munculnya perilaku koruptif, seperti penjualan informasi.
Anwar, (Kompas, 3/4/2018), berharap, permasalahan kasus etik dan hukum tidak akan pernah dialami lagi oleh hakim konstitusi. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjamin itu. Pengawasan pegawai akan diserahkan ke biro pengawasan, sedangkan hakim akan dijaga oleh dewan etik MK.
Ujian pertama
Setelah resmi menjadi Ketua MK, Senin (2/4/2018), Anwar langsung memimpin sidang lanjutan uji materi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), pada Selasa di MK.
Sidang itu merupakan gugatan beberapa pasal kontroversial dalam UU MD3. Pemohon gugatan tersebut antara lain Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Partai Solidaritas Indonesia, mahasiswa Universitas Indonesia Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dan penulis kajian hukum Josua Satria Collins
Dalam sidang, ketiga perwakilan pemohon mengucapkan selamat atas terpilihnya Anwar sebagai ketua baru. Mereka juga berharap Anwar dapat mengembalikan citra MK seperti sedia kala.
Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni mengucapkan, UU MD3 merupakan ujian pertama bagi Ketua MK yang baru. Menurut dia, Anwar harus dapat berpihak kepada rakyat dan konstitusi dalam membuat putusan.
”Ini adalah batu uji pertama bagi mereka (ketua dan hakim), apakah betul gedung ini merupakan lembaga penjaga hak konstitusional warga. Dengan terpilihnya ketua baru, harapannya keadilan konsitusional dapat dipertaruhkan lagi di MK, sebagai guardian of the constitutional,” kata Raja, seusai sidang.
Kuasa hukum FKHK Andi Irmanputra Sidin juga mengatakan, gugatan UU MD3 merupakan ujian pertama bagi Anwar. Menurut dia, putusan untuk membatalkan beberapa pasal seperti Pasal 73 Ayat (3), (4), (5), dan (6), Pasal 122 Huruf L, dan Pasal 245 Ayat (1), sudah ditunggu masyarakat.
Pasal itu antara lain memberi kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk mengambil tindakan hukum terhadap orang yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. Lalu, DPR dapat memanggil paksa pihak yang sedang diperiksa. Di lain sisi, pemanggilan anggota Dewan harus melalui pertimbangan MKD terlebih dulu.
”Anwar, kan, salah satu hakim senior. Harapannya tetap bisa mengawal MK dan menjaga independensi MK. Untuk itu, ini adalah ujian bagi mereka karena putusan sudah ditunggu publik, apalagi disertai dengan demonstrasi di seluruh pelosok Indonesia,” kata Andi.