Sisa Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mencapai Rp 2,99 Triliun
JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan dana kapitasi, biaya pelayanan medis bagi peserta BPJS Kesehatan di puskesmas, tidak optimal. Terjadi penumpukan dana yang cukup besar di hampir seluruh puskesmas di Tanah Air. Berdasarkan laporan keuangan pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota yang dihimpun Badan Pemeriksa Keuangan, total sisa dana kapitasi secara nasional per akhir 2016 mencapai Rp 2,99 triliun.
Sisa dana kapitasi tersebut merupakan akumulasi selama periode 2014-2016. Dalam kurun waktu tersebut, total dana kapitasi yang telah disalurkan BPJS ke puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) mencapai Rp 22,7 triliun. Dengan demikian, dari kapitasi yang tidak terpakai sepanjang program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan mencapai 13,2 persen.
Di sisi lain, defisit BPJS pada 2017 mencapai sekitar Rp 3,6 triliun. Artinya, penggunaan dana kapitasi yang efisien dapat mengurangi defisit BPJS.
Dengan sisa dana kapitasi yang begitu besar pun, tak tampak perbaikan pelayanan di puskesmas yang signifikan. Antrean panjang untuk berobat ditemukan di sebagian besar puskesmas, membuat pasien lelah dan tersita waktunya hanya untuk antre berobat. Sementara di beberapa daerah ditemukan dana kapitasi rawan dikorupsi.
Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bagian Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Azhar Aziz, yang ditemui Selasa (3/4/2018), di Jakarta, mengatakan, dari hasil audit BPK, ditemukan sisa anggaran dana kapitasi menumpuk dalam jumlah besar di tiap puskesmas. Artinya, menurut Harry, di tiap puskesmas ada begitu banyak dana yang tak termanfaatkan.
”Kalau ada sisa, berarti tak dimanfaatkan. Ada belanja puskesmas yang tak maksimal atau puskesmasnya yang memang tak melayani pasien. Nah, itu, kita belum tahu seberapa jauh itu (penyebabnya),” ujar Harry.
Dengan sisa dana kapitasi yang begitu besar, tak tampak perbaikan pelayanan di puskesmas yang signifikan.
Dari hasil kajian sejauh ini, menurut Harry, BPK telah memberikan rekomendasi agar BPJS mengevaluasi kemampuan puskesmas menyerap dana kapitasi sehingga penggunaan dana itu lebih efektif.
Apalagi, lanjutnya, sudah terbukti ada korupsi yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada pengelolaan dana kapitasi, salah satunya korupsi dana kapitasi di Kabupaten Jombang. ”Karena itu, perlu ada aturan agar dana itu tak dapat digunakan untuk hal lain,” ucap Harry.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) juga menemukan hal serupa. Dibandingkan FKTP swasta, DJSN menemukan bahwa sisa dana kapitasi di hampir semua puskesmas memiliki jumlah yang besar. Pada Oktober 2017, DJSN telah melayangkan surat hasil pemantauannya terkait temuan sisa dana kapitasi di beberapa daerah kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku pembina pengelolaan keuangan daerah.
Salah satu temuan DJSN adalah sisa dana kapitasi untuk jasa pelayanan medis di tujuh puskesmas di Kota Bontang, Kalimantan Timur, selama 2015-2016 sebesar Rp 6,1 miliar. Sisa dana itu muncul karena adanya peraturan Wali Kota Bontang yang mengatur pemberian tunjangan kinerja bagi pegawai negeri sipil.
”Secara tata kelola keuangan puskesmas itu masih di bawah kendali dan koordinasi dinas kesehatan setempat. Dalam pengelolaan (dana kapitasi) itu dibutuhkan aturan pemerintah daerah. Sementara sebagian pemerintah daerah ragu apakah aturan (yang ada) itu cukup atau dibutuhkan aturan tambahan,” tutur anggota DJSN, Ahmas Ansyori, yang ditemui di Jakarta pada Jumat (30/3).
Sebagai fasilitas kesehatan yang berada di bawah kendali pemerintah daerah, menurut Ansyori, puskesmas tak sepenuhnya berdiri otonom dalam pengelolaan dana kapitasi kendati dana tersebut langsung disalurkan oleh BPJS Kesehatan ke rekening setiap puskesmas.
Ada tiga regulasi yang mengatur pengelolaan dana kapitasi di puskesmas, yakni Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang distribusi dana kapitasi serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang rincian penggunaan dana kapitasi. Kemudian, diterbitkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 900/2280/SJ yang menjadi dasar bagi pemda untuk mengendalikan dan mengawasi pengelolaan dana kapitasi di puskesmas.
Berdasarkan hasil penelusuran Kompas ke sejumlah puskesmas di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ditemukan pengelolaan dana kapitasi di ketiga kabupaten itu sangat terkait dengan kebijakan pemda. Setiap puskesmas hanya dapat menggunakan dana kapitasi dengan mengikuti peraturan bupati dan pelaksanaannya dikendalikan oleh dinas kesehatan, sesuai dengan SE Mendagri Nomor 900/2280/SJ.
Puskesmas Cikarang, Kabupaten Bekasi, contohnya, hingga tahun 2016 memiliki sisa dana kapitasi sebesar Rp 1,8 miliar. Pada 2017, puskesmas itu memperoleh dana kapitasi sebesar Rp 2,8 miliar dan yang diserap sebesar 82 persen sehingga menyisakan dana kapitasi Rp 0,5 miliar. Dalam setahun, saldo sisa dana kapitasi Puskesmas Cikarang pun bertambah menjadi Rp 2,3 miliar.
Sementara total sisa dana kapitasi pada 39 puskesmas di Kabupaten Bekasi selama 2015 mencapai Rp 42,1 miliar. Pada tahun 2016, jumlahnya bertambah lagi menjadi Rp 51,1 miliar.
Menurut Pelaksana Tugas Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi Alamsyah, sejauh ini penyerapan dana yang optimal baru terjadi pada jasa layanan medis yang memperoleh porsi 60 persen dari dana kapitasi. Adapun 40 persen lagi untuk biaya operasional belum terserap maksimal. Biaya operasional itu dapat digunakan untuk pengadaan obat, alat kesehatan, dan kegiatan lain.
Tidak maksimalnya penyerapan biaya operasional itu, menurut Alamsyah, tak terlepas dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Bekasi memberikan pelayanan kesehatan gratis di setiap puskesmas sejak 2007, seperti diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2007. Hampir seluruh kebutuhan obat dan alat kesehatan untuk seluruh puskesmas di kabupaten itu masih disubsisi pemerintah setempat.
Sementara pembagian dana kapitasi sebesar 60 persen untuk pelayanan medis dan 40 persen untuk biaya operasional, menurut Alamsyah, hal itu mengikuti petunjuk teknis yang diterbitkan lewat peraturan Bupati Bekasi. Petunjuk teknis itu, menurut dia, mengacu pada tiga regulasi yang mengatur pengelolaan dan pengawasan penggunaan dana kapitasi.
Padahal, sesuai Perpres No 32/2014 dan Permenkes No 21/2016, disebutkan bahwa dana kapitasi digunakan sekurang-kurangnya 60 persen untuk jasa layanan medis, sedangkan sisanya dapat digunakan untuk biaya operasional.
Kata ”sekurang-kurangnya” semestinya dapat diartikan sebagai pemanfaatan minimal. Namun, 60 persen itu lebih banyak diadopsi sebagai batasan untuk porsi jasa layanan medis oleh Pemkab Bekasi, Pemkab Karawang, ataupun Pemkab Bogor.
Dengan menerapkan pola penyerapan yang hampir serupa dengan Bekasi, hingga tahun 2016 Kabupaten Karawang juga memiliki sisa dana kapitasi sebesar Rp 20,2 miliar. Memasuki tahun 2017, sebanyak 50 puskesmas di kabupaten itu kembali memperoleh dana kapitasi senilai total Rp 90,21 miliar.
Seperti tahun sebelumnya, penyerapannya belum maksimal, terbatas 83,6 persen. Kabupaten tersebut pun kembali memperoleh sisa dana kapitasi sebesar Rp 14,8 miliar. Jika diakumulasikan dengan sisa dana kapitasi tahun sebelumnya, menjadi Rp 35,01 miliar.
Penyerapan dana kapitasi di 101 puskesmas di Kabupaten Bogor juga baru sekitar 88 persen. Hingga tahun 2016, total sisa dana kapitasi di kabupaten itu mencapai Rp 68 miliar.
Kuasa Pengguna Anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Kusnadi, mengakui, hingga tahun 2016 pihaknya masih memaknai sekurang-kurangnya 60 persen jasa layanan medis sebagai batasan baku. Kendati demikian, dia menyadari, sekurang-kurangnya itu dapat bermakna minimal sehingga porsi untuk jasa layanan medis dapat diperbesar lagi.
”Awalnya, kami hati-hati karena hingga 2016 belum ada aturan yang rinci untuk pengelolaan dana kapitasi. Kami tak bisa menggunakan dana itu tanpa aturan yang jelas. Kami takut salah menggunakan, lebih baik dibiarkan saja,” tuturnya.
Namun, perbaikan pelayanan di puskesmas, menurut Kusnadi, telah dilakukan setiap puskesmas dengan menyediakan meja pendaftaran pasien dan mesin nomor antrean. Untuk tahun 2018, Pemkab Bogor juga memperbesar porsi jasa layanan medis dari 60 persen menjadi 70 persen.
Akan tetapi, untuk menambah tenaga medis, baik dokter maupun bidan, sehingga dapat mengurangi antrean berobat di puskesmas, menurut Kusnadi, puskesmas tak memiliki kewenangan untuk merekrut dokter dan bidan.
”Puskesmas hanya dapat menggunakan tenaga dari calon bidan yang sedang magang. Itu pun belum ada aturannya untuk mengupah mereka,” ucapnya.
Sesuai Perpres No 32/2014 dan Permenkes No 21/2016, disebutkan dana kapitasi digunakan sekurang-kurangnya 60 persen untuk jasa layanan medis, sisanya dapat digunakan untuk biaya operasional.
Jalan keluar untuk meningkatkan pelayanan dan mengurangi antrean berobat, menurut Kusnadi, puskesmas harus ditingkatkan menjadi badan layanan umum daerah (BLUD) sehingga dapat lebih leluasa mengelola dana kapitasi meskipun tetap di bawah kendali peraturan bupati. ”Dengan berstatus BLUD, puskesmas dapat langsung menambah tenaga yang dibutuhkan,” ucapnya.
Berdasarkan surat rekomendasi DJSN kepada Mendagri pada Oktober 2017, disebutkan agar Kemendagri dapat menelaah sejumlah peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang dinilai menghambat penggunaan dana kapitasi.
Selain itu, DJSN juga meminta Kemendagri mendorong agar pemda dapat membuat kebijakan dalam penggunaan dana kapitasi itu bisa mencapai sasaran, terutama untuk pembelian obat dan alat kesehatan. Ditambah, mendorong pemda dapat segera meningkatkan puskesmas menjadi BLUD.
Sementara dari segi kerawanan korupsi, berdasarkan hasil kajian KPK pada 2014, sisa dana kapitasi itu rawan dikorupsi karena regulasi yang ada belum mengatur secara rinci penggunaan dana itu.
Sesuai Permenkes No 21/2016, hanya disebutkan bahwa sisa dana kapitasi dapat digunakan kembali pada tahun berikutnya untuk kegiatan yang sama dengan tahun sebelumnya. Dengan regulasi demikian, KPK memandang hal itu dapat memicu timbulnya diskresi yang buruk di daerah dan sisa dana kapitasi dapat digunakan oleh pihak tertentu yang mencari keuntungan. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDI)