Ketentuan Kandungan Komponen Dalam Negeri Majukan Industri Gawai Tanah Air
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan tingkat kandungan komponen dalam negeri telepon seluler pintar berteknologi 4G LTE mendorong penguatan ekosistem gawai lokal. Meski kebijakan ini berdampak lebih berat terhadap beban finansial perusahaan, para produsen, terutama merek ternama, tidak segan berkompetisi inovasi dan pemasaran.
Associate Market Analyst International Data Corporation (IDC) Indonesia, Risky Febrian, dalam keterangan pers, Selasa (3/4/2018), mengatakan, produsen tersebut tidak ingin kehilangan pangsa pasar mereka di Indonesia. Produsen merek berskala kecil yang memiliki modal terbatas memiliki potensi susah memenangkan pasar.
Laporan IDC Quarterly Mobile Phone Tracker triwulan IV-2017 menyebutkan lima besar produsen dengan penguasaan pangsa pasar terbesar, dimulai dari Samsung (31,8 persen), Oppo (22,9 persen), Advan (7,7 persen), Asus (6,5 persen), dan Vivo (6 persen). Situasi ini berbeda dibanding periode yang sama tahun 2016. Urutan teratas dimulai dari Samsung (28,8 persen), Oppo (16,6 persen), Asus (10,5 persen), Advan (6,8 persen), dan Lenovo (5,6 persen).
Mulai 2017, persentase tingkat kandungan komponen dalam negeri (TKDN) sudah naik menjadi 30 persen. Tren yang berkembang adalah produsen merek ternama aktif menciptakan ponsel pintar untuk segmen menengah bawah, harga terjangkau, tetapi inovasi teknologinya bagus. Mereka berani berinvestasi di TKDN sekaligus pemasaran.
”Ditambah lagi, siklus waktu pemakaian ponsel pintar berubah menjadi lebih lama. Produsen merek ternama mau tidak mau harus berani menciptakan varian ponsel untuk semua segmen konsumen,” ujar Risky.
IDC Quarterly Mobile Phone Tracker triwulan IV-2017 melaporkan, pengiriman ponsel pintar berkisar 7,8 juta unit atau turun 9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2016.
Samsung mampu mempertahankan kepemimpinan pasar karena mempunyai saluran manajemen yang bagus. Produsen asal China, seperti Oppo dan Vivo, memperluas pendekatan pemasaran mereka dengan dukungan selebritas, kerja sama dengan produsen barang kecantikan, dan gim ponsel.
Impor turun
Sesuai data Kementerian Perindustrian, selama 2013-2017, penurunan rata-rata impor telepon seluler dan sabak sekitar 34,79 persen. Salah satu faktor penyebab penurunan adalah upaya pemerintah mendorong peningkatan volume produksi dalam negeri.
Volume impor ponsel dan sabak pada 2013 mencapai 62,03 juta unit. Adapun tahun 2017, volumenya menurun menjadi 11,21 juta unit.
Volume produksi dalam negeri ponsel dan sabak pada 2013 sekitar 105.000 unit, tahun 2014 sejumlah 5,7 juta unit, dan saat 2015 tercatat 50 juta unit. Volume produksi tahun 2016 sebesar 68,7 juta unit dan pada 2017 sebanyak 60,5 juta unit.
Tata cara perhitungan TKDN mengacu pada Peraturan Menperin Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet. Aspek penilaian TKDN mencakup manufaktur, pengembangan, aplikasi, dan investasi.
Permenperin No 65/2016 mempertegas dan memberi tiga pilihan skema bagi produsen. Ketiganya yaitu skema 100 persen perangkat keras, skema 100 persen perangkat lunak, dan skema investasi.
Produk ponsel dan sabak yang telah tersertifikasi TKDN dengan persentase di atas 30 persen terdiri dari 11 merek lokal dan 22 merek global.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin Achmad Rodjih Almanshoer mengatakan, pencapaian tersebut sudah sesuai harapan pemerintah. Hal terpenting adalah pelaku industri gawai mendukung kebijakan kewajiban TKDN.
Menurut dia, porsi kandungan TKDN diarahkan meningkat secara bertahap oleh pemerintah. Komposisi TKDN diwajibkan paling sedikit 20 persen, mulai dari komponen manufaktur sebesar 80 persen dan pengembangan sebanyak 20 persen, seperti diatur dalam Permenperin No 69/2014.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 27/2015 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi Berbasis Standar Teknologi LTE mewajibkan ponsel memiliki kandungan lokal setidaknya 30 persen per 1 Januari 2017.
”Hal yang menggembirakan adalah tumbuhnya industri komponen gawai. Ini adalah dampak kebijakan TKDN. Total terdapat 24 perusahaan manufaktur komponen,” ujarnya.
Kemenperin mencatat terdapat 18 perusahaan perakitan yang sebagian dimiliki produsen sendiri dan ada yang berbentuk electronic manufacturing services, misalnya PT Panggung Electric Citrabuana, PT Satnusa Persada, dan PT Haier Electrical Appliances.
Pencegahan selundupan
Peneliti Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung, Adi Indrayanto, berpendapat, tanda-tanda keberhasilan kebijakan TKDN gawai memang sudah ada. Untuk menjaga prestasi itu, porsi TKDN disarankan naik bertahap.
”Langkah pemerintah sudah benar. Langkah berikutnya adalah menjalankan kebijakan pencegahan ponsel pintar selundupan (ilegal) masuk dan laku di Indonesia. Jika pencegahan ketat dilakukan, TKDN bisa berjalan lebih maksimal,” kata Adi.
Seluruh nomor IMEI dari ponsel, komputer genggam, dan komputer tablet yang resmi beredar di Indonesia tersimpan dalam database di Kemenperin sejak tahun 2013. Pada acara penandatangan nota kesepahaman dengan Qualcomm bulan Agustus 2017, Kemenperin menyebut lebih dari 500.000 IMEI telah terdaftar di Kemenperin.
”Pencegahan gawai selundupan bisa melalui pengendalian nomor IMEI. Hanya IMEI terdaftar berhak memperoleh layanan telekomunikasi seluler. Kebijakan seperti ini memerlukan kerja sama lintas kementerian dan lembaga,” tutur Adi.
Pada 15 Februari 2018, Menkominfo Rudiantara, Menperin Airlangga Hartarto, Mendag Enggartiasto Lukita, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, dan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyaksikan pemusnahan barang ilegal, termasuk ponsel.
Mengutip laman Kemkominfo, Sri Mulyani menyebut sudah diperoleh 20.545 ponsel sitaan dari 1.208 kasus yang dilakukan penindakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ponsel sitaan tersebut berasal dari impor selundupan, seperti dibawa oleh penumpang secara ilegal serta barang kiriman. Ponsel-ponsel tersebut berasal dari pelabuhan di Jakarta, Surabaya, Batam, Entikong, dan Bali. Nilai dari barang selundupan tersebut sebesar Rp 59,6 miliar dan mengakibatkan kerugian negara Rp 10,3 miliar.