Janji Manis Berujung Kekecewaan
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran perusahaan penyedia aplikasi angkutan daring membuka harapan bagi banyak orang untuk memperbaiki nasib. Masyarakat memiliki alternatif pekerjaan yang relatif ringan dengan penghasilan tinggi dalam waktu cepat. Namun, kondisi tersebut tidak bertahan lama.
Nana Mulyana (43), pengojek dalam jaringan (daring) dari perusahaan Grab, mengeluhkan pendapatannya yang minim selama setahun terakhir. Sudah setahun ini, penghasilan terbanyaknya mencapai Rp 200.000 per hari.
Menurut ayah satu anak itu, jumlah penghasilan tersebut tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk mendapatkan Rp 200.000 per hari, ia harus mengemudi setidaknya 12 jam. Oleh karena itu, setengah dari penghasilannya habis untuk biaya makan dan pembelian bahan bakar.
Sejumlah penghasilan itu, kata Nana, tidak bisa disisakan untuk simpanan. Dari uang tersebut, ia juga masih harus membiayai kuliah anak dan membayar rumah kontrakan setiap bulan.
Belum lagi biaya perawatan motor. ”Saya ganti oli setiap minggu. Kalau tidak, motornya akan cepat rusak karena perjalanan jarak jauh setiap hari,” kata Nana di Jakarta, Jumat (30/3/2018).
Nana melanjutkan, perusahaan penyedia aplikasi tidak menanggung biaya perawatan motor dan fasilitas pendukung untuk penumpang, misalnya masker, penutup kepala, dan jas hujan. ”Saya selalu bingung kalau ditanya penumpang kenapa tidak memberikan masker dan penutup kepala,” ujar Nana.
Ia memang tidak menyediakan perlengkapan tersebut, juga tidak menawarkan kepada setiap penumpangnya di awal perjalanan. Bagi Nana, kedua benda itu cukup memberatkan. Setiap lembar masker dan penutup kepala minimal harganya Rp 500. Nana hanya menyediakan jas hujan untuk penumpang agar tetap bisa mengantar di kala hujan.
Begitu juga atribut yang dikenakan. Dalam standar prosedur operasi perusahaan, setiap pengojek harus mengenakan jaket dan helm seragam. Namun, keduanya tidak gratis, mereka harus membeli Rp 640.000. Bagi Nana, harga itu tetap terasa mahal meski pembayarannya boleh dicicil selama 8 bulan.
”Untuk berganti-ganti, saya membeli jaket Grab yang dijual bebas di Mal Cijantung, Jakarta Timur, harganya Rp 100.000,” kata pengojek asal Ciracas, Jakarta Timur, itu.
Menurut Nana, jumlah penghasilan hariannya itu di luar perkiraan. Ia tidak pernah membayangkan hal tersebut sejak pertama kali bergabung dengan Grab pada 2015. Kala itu, uang Rp 200.000 justru menjadi penghasilan minimalnya sehari-hari.
Penghitungan ruwet
Sejak awal kemunculannya, angkutan daring memang menarik perhatian masyarakat karena menjanjikan penghasilan besar. Konsep hubungan antara pengojek dan perusahaan sebagai mitra pun menjadi poin menarik karena pengojek tidak terikat waktu kerja.
Sebagaimana dirasakan M Irfan (40), pengemudi Grab dari Kemayoran, Jakarta Pusat. Irfan mengatakan bisa mengatur waktu kerja sesuai keinginannya. Sehari-hari, ia membagi waktu kerja ke dalam tiga periode, pukul 08.00-12.00, pukul 16.00-20.00, dan pukul 00.00-03.00. Dengan pola tersebut, pada 2015, penghasilannya bisa mencapai Rp 3 juta-Rp 4 juta per minggu.
Menurut Irfan, saat itu perusahaan menjamin pendapatan mereka. Meski memberikan promo gratis kepada penumpang, perusahaan membayarkan ongkos perjalanan secara penuh kepada pengojek.
Mekanisme tersebut tidak berlaku saat ini. Perusahaan memberlakukan potongan 20 persen dari ongkos perjalanan, dari Rp 2.000 per kilometer menjadi Rp 1.600 per kilometer.
Selain itu, jaminan argo minimal yang diberikan menurun dari Rp 25.000 menjadi Rp 10.000, penghitungannya pun rumit. Jaminan argo merupakan bonus yang diberikan perusahaan ketika sudah mencapai perjalanan dengan ongkos minimal Rp 82.000. Selanjutnya, perjalanan dengan ongkos Rp 100.000 mendapat jaminan argo Rp 16.000, Rp 125.000 mendapat Rp 25.000, Rp 165.000 mendapat Rp 40.000 dan jaminan argo tertinggi didapat jika pengojek mencapai perjalanan dengan ongkos Rp 230.000, yaitu Rp 70.000.
Skema penghitungan bonus di perusahaan lain, sama rumitnya. Di Go-Jek, bonus diberikan dengan hitungan jumlah poin. Adapun poin merupakan imbalan dari setiap perjalanan. Nilai poin yang didapat akan berbeda, bergantung pada jam sibuk dan nonsibuk serta bergantung pada layanan yang terdiri dari Go-Ride atau ojek, Go-Food atau jasa pembelian makanan, dan Go-Send atau jasa pengantaran barang.
Pada jam sibuk, poin satu kali perjalanan Go-Ride adalah 2 poin, Go-Food 2,5 poin, dan Go-Send 2 poin. Sementara itu, pada jam nonsibuk, satu kali perjalanan Go-Ride adalah 1 poin, G-Food 1,5 poin, dan Go-Send 2 poin jika jarak antar lebih dari 20 kilometer.
Bonus uang sejumlah Rp 10.000 akan didapat dari 12 poin. Selanjutnya, jika mendapatkan 16 poin, bonus menjadi Rp 30.000, 20 poin mendapat Rp 40.000, 24 poin mendapat Rp 50.000, dan 30 poin mendapat Rp 70.000. Totalnya, bonus yang bisa didapatkan pengojek dalam sehari adalah Rp 200.000.
Akan tetapi, kata Lukman Hakim (37), pengojek asal Pademangan, Jakarta Utara, seluruh bonus itu akan didapat jika seluruh target terpenuhi sebelum pukul 00.00. Jika melewati batas waktu, seluruh bonus tidak akan didapat.
Bonus juga akan hangus apabila performa pengojek nilainya di bawah 70 persen. Penilaian performa itu dilihat dari penerimaan pesanan. Setiap menolak satu pesanan penumpang, pengojek harus menggantinya dengan 10 kali menerima penumpang agar performanya kembali menjadi 100 persen.
”Banyak pengojek yang tidak mengerti skema-skema itu, jadi usaha yang kami lakukan kadang sia-sia,” ujar Lukman.
Juki (24), pengojek dari Dadap, Kota Tangerang, mengatakan, bonus-bonus itu juga kian sulit didapat karena jumlah pengemudi yang semakin banyak. Perusahaan pun tidak memprioritaskan pengojek ke salah satu layanan. ”Kami semua bisa mengambil pesanan dari semua layanan, jadi semuanya berebut,” kata Juki.
Meski demikian, para pengojek tidak mengetahui jumlah pengojek yang menjadi mitra di setiap perusahaan. Menurut Nana, tidak pernah ada pemberitahuan mengenai hal tersebut. Namun, nomor induk mitra Grab Bike saat ini, kata dia, sudah mencapai 6 digit, artinya, jumlah pengojek di Grab sudah mencapai ratusan ribu.
Ratusan ribu pengojek itu juga ada di Go-Jek. Lukman mengatakan, hal itu berimbas pada jumlah pesanan yang kian hari kian menyusut. ”Selama setahun ke belakang, paling banyak saya bisa mendapat 13 pesanan, padahal sebelumnya bisa menembus 20 pesanan,” ujarnya.
Bonus yang bisa didapatkan dalam skema rumit itu juga belum tentu tepat waktu diberikan. Lukman yang terdaftar sebagai pengojek di Grab dan Go-Jek mengatakan, bonus semestinya dikirimkan secara langsung. Akan tetapi, pengiriman bonus ke rekening bank pengojek pernah beberapa kali telat. Paling lama, keterlambatan mencapai 7 hari.
Curang
Untuk mengamankan pendapatannya, pengojek terdorong berbuat curang. Modus yang kerap digunakan adalah menggunakan fake GPS atau disebut tuyul. Nana menjelaskan, modus ini dilakukan dengan memasang aplikasi tambahan di ponsel pengojek untuk menandai keberadaan palsu di sebuah tempat.
Pemasangan aplikasi tersebut membutuhkan pengaturan khusus sehingga kebanyakan pengojek membutuhkan bantuan ahli untuk melakukannya. Menurut Nana, banyak pihak yang menyediakan jasa pengaturan tersebut. Mematok tarif Rp 300.000 per ponsel.
Ia pun pernah memasang fake GPS. Namun, nasib baik tidak berpihak kepadanya. Selama memasang aplikasi tersebut, tidak pernah ada pesanan masuk ke lokasi tempat keberadaan palsunya. Oleh karena itu, ia pun kapok dan tidak menggunakannya lagi.
”Lebih baik saya jujur saja karena saat curang malah tidak dapat pesanan,” ucapnya.
Ancaman pembekuan
Setelah terimpit kondisi mendapatkan penghasilan yang semakin sulit, pengojek daring juga terancam pembekuan akun oleh perusahaan. Pembekuan bisa terjadi kapan saja berdasarkan keputusan perusahaan.
Nana mengatakan, keputusan akun biasanya dilakukan berdasarkan protes dari penumpang. Penumpang akan memberikan protes melalui jumlah bintang dan komentarnya di aplikasi angkutan daring setelah perjalanan selesai. Kesan penumpang terhadap pengojek, mulai dari hal besar hingga hal sepele amat menentukan nasib pengojek.
Astri Utami (20), mahasiswi dari Ciracas, Jakarta Timur, mengatakan tidak pernah memberikan bintang dengan nilai maksimum, yaitu lima kepada pengojek. Menurut dia, jarang ada pengojek daring yang mengemudi sesuai standar. Ia yang memiliki trauma karena beberapa kali mengalami kecelakaan lalu lintas menjadi amat sensitif pada perilaku pengemudi. Jumlah bintang yang ia berikan pun berkisar pada nilai tiga atau empat.
Nana berkisah, ia pernah mendapatkan bintang tiga karena tidak menggunakan sepatu. ”Saya tidak bermaksud melanggar peraturan dari Grab, tetapi saat itu saya kehujanan dan sepatu saya basah,” kata Nana.
Penilaian dari penumpang amat memengaruhi nasib pengojek. Jika jumlah bintang yang didapat pengojek di bawah ambang batas, perusahaan akan memutuskan kemitraan mereka secara permanen. Adapun ambang batas bintang di Grab adalah 4,3 dan ambang batas di Go-Jek adalah 4,5.
Tak ada pilihan lain
Nana mengakui, kehidupan sebagai pengojek daring saat ini memang sulit. Meski demikian, ia tak mempunyai pillihan karena sulit mencari pekerjaan lain.
Selama 20 tahun tinggal di Jakarta, ia hanya menekuni profesi sebagai pengemudi. Sebelum menjadi pengojek, lelaki lulusan sekolah dasar (SD) itu bekerja sebagai pegemudi di rental mobil.
Menurut dia, pesanan di rental mobil saat ini amat sepi. Pesanan belum tentu datang setiap hari. Padahal, mekanisme pembayarannya dihitung dari pesanan per hari, yaitu Rp 150.000 setiap 12 jam perjalanan. ”Dalam sebulan lebih banyak nganggur-nya daripada kerjanya,” kata Nana.
Setelah keluar dari pekerjaan tersebut, harapan akan kehidupan ekonomi yang lebih baik ia sandarkan pada profesi pengojek daring, tetapi harapan itu kini mulai kandas.
”Saya tidak punya pilihan lain karena mencari pekerjaan sulit dan keahlian saya cuma mengemudi,” ucap Nana.
Begitu juga Lukman, mantan penagih utang di perusahaan swasta itu juga belum bisa menemukan pekerjaan lain. ”Jika saya bisa mencari pekerjaan yang lain, saya akan berhenti menjadi pengojek daring,” ujarnya.
Ahli transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan, model bisnis yang diterapkan perusahaan penyedia aplikasi berimbas pada bertambahnya angka kemiskinan. Alih-alih mengurangi angka pengangguran dan memberdayakan masyarakat, perusahaan justru mengeksploitasi masyarakat.
Menurut dia, pemerintah harus segera menyelesaikan permasalahan tersebut. ”Pemerintah harus jeli untuk membedakan usaha yang memiliki dampak ekonomi yang signifikan dan usaha yang justru memiskinkan dan menambah ketimpangan,” ujar Djoko. (DD01)