Tuyul Daring
Jangan membuka pembicaraan jika hidup anda yang sudah ruwet tak mau mau diperuwet lagi saat menumpang angkutan berbasis aplikasi atau online (daring).
Saran tersebut disampaikan seorang teman sesama pengguna angkutan daring. “Mendingan lo baca buku, atau main gawai saja,” katanya. Keluhan yang disampaikan para pengemudi angkutan daring jika kita ngobrol umumnya soal masa “keemasan” mereka yang mulai memudar. Alasannya antara lain, saingan tambah banyak dan tidak ada pembatasan.
Siapapun kini bisa menjadi mitra perusahaan aplikasi—yang belakangan akan diubah menjadi perusahaan jasa angkutan—itu. Mereka yang bekerja menjadikan profesi ojek daring sebagai tambahan penghasilan. Tidak jarang seseorang bisa mendaftar ke lebih dari satu perusahaan aplikator.
Pada awalnya, bukan hanya pemilik kendaraan yang mendaftar menjadi mitra aplikator. Tidak sedikit para pengemudi taksi juga beralih profesi menjadi mitra perusahaan aaplikator. Banyak di antaranya mengkredit kendaraan roda empat dengan hitung-hitungan di atas kertas masih ada sisa uang untuk dibawa ke rumah setelah sisa uang bensin, maupun cicilan kendaraan. “Banyak yang enggak sangggup bayar cicilan. Kendaraan cicilan diambil atau disita diler, sekarang banyak di antara mereka kembali jadi sopir taksi biasa,” kata seorang pengemudi taksi bercat biru.
Di tengah persaingan yang kian ketat, sejumlah pengemudi mengakali perusahaan dengan menggunakan “tuyul” atau “opik” (order fiktif). Entah gimana caranya, mereka bisa menerobos keamanan perangkat lunak perusahaan. Si pemilik tuyul di peta aplikasi seolah-olah berada di dekat dengan pemesan. “Kayak memberi tanda lokasi aja, Pak. Biar kita cepet dapat order,” katanya.
Menurut seorang pengemudi, mereka membayar sekitar Rp 50.000 per bulan untuk bergabung di grup itu. “Kami update juga jika ada pembaruan aplikasinya,” ungkap seorang di antaranya.
Di opik, pengemudi seolah-olah mengangkut konsumen, tetapi kenyataannya belum tentu. Ada juga yang meminjam nomor telepon teman atau kerabat seolah-olah nomor itu memesan si pengemudi. Pembayaran dari aplikator pun bisa mereka terima.
Setelah keamanan aplikasi ditingkatkan, mereka tak hilang akal. Di lapangan, pengemudi angkutan daring biasa meminta pelanggan meng-cancel alias membatalkan pesanan. “Nanti bapak bayar saja langsung ke saya, jumlahnya sama dengan yang tertera di aplikasi tadi,” kata pengemudi yang tetap mengantarkan penumpang sesuai tujuan. Alasan yang dikemukakan biasanya, mereka butuh uang tunai untuk membeli makan siang atau bensin. Namun alasan sebenarnya, langkah itu untuk mengakali aplikator karena mereka merasa potongan ongkos yang diterima mereka terlalu besar.
“Mereka (aplikator) mah enak-enak aja. Kita ibaratnya ibarat diperkuda,” katanya. Dengan sederhana mereka melakukan hitung-hitungan simpel. “Motor atau mobil dari kita, bensin dari kita, servis juga dari kita. Kita banting tulang dari pagi sampai malam mengejar target. Mereka apa, aplikasi doangan,” katanya. Bahkan, jaket dan helm seragam mereka seharga Rp 560.000-an untuk dua pasang pun, harus dicicil.
Angkutan daring menjadi buah simalakama. Dia seperti anak haram yang kehadirannya justru diharapkan karena berbagai manfaat yang diterima banyak pihak. Untuk ojek, kehadirannya bahkan tidak diakui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sebaliknya, angkutan ojek maupun roda empat daring dibutuhkan oleh masyarakat yang sudah minta ampun oleh kemacetan lalu lintas yang tak kunjung terselesaikan pemerintah. Kehadirannya sudah menyelusup ke berbagai sendi kehidupan dari sekedar alat transportasi hingga ke kebutuhan sehari-hari. Angkutan daring ini memudahkan belanja kebutuhan sehari-hari hingga pelayanan cuci mobil atau pijat. Pengusaha aplikasi tentu menang banyak dalam hal ini. Kehadiran angkutan daring juga menjadi sedikit katup pengaman untuk para penganggur yang membutuhkan lapangan pekerjaan.
Namun selebihnya juga adalah masalah yang tidak gampang diselesaikan oleh pemerintah. Keamanan penumpang harus juga menjadi perhatian setelah terjadi beberapa aksi kriminal yang dilakukan oknum pengemudi angkutan daring. Pengusaha aplikasi angkutan daring tidak bisa lepas tangan.
Ratusan ribu pengemudi daring kini menjadi sebuah kekuatan massa yang bisa menekan permintaannya. Terbukti, pada Selasa (27/3) ribuan pengemudi ojek daring melumpuhkan Jalan Medan Merdeka Barat. Saat Presiden Joko Widodo menerima perwakilan pengemudi yang berunjuk rasa, terkesan hadir sebuah ironi. Presiden harus menyelesaikan masalah yang melanggar UU tetapi di dalamnya terkandung urusan perut orang banyak.