KPU Jangan Tutupi Calon Berstatus Tersangka kepada Pemilih
Oleh
DD06
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menolak untuk merevisi peraturan untuk penggantian calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Untuk itu, KPU dinilai harus bertanggung jawab untuk menjaga pilkada tetap berintegritas. Caranya dengan mengumumkan dan menyosialisasikan calon berstatus tersangka kepada pemilih.
Penolakan itu diucapkan oleh anggota KPU, Ilham Saputra, seusai diskusi Tambal Sulam Sistem Noken Papua, Sabtu (31/3/2018), di D Hotel, Jakarta. Menurut dia, PKPU tetap akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada UU tersebut, tersangka masih dapat mengikuti tahapan pemilu karena menghargai asas praduga tak bersalah.
Artinya, partai politik tetap tidak bisa mengganti pasangan calon yang diusungnya meskipun ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Begitu pula pasangan calon yang tidak boleh mundur, kecuali meninggal atau dinyatakan berhalangan tetap karena sakit keras.
”Kan belum berkekuatan hukum tetap. Ada kemungkinan tersangka dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Untuk itu, kamu tidak mau merevisi PKPU dengan mengharuskan mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka, bisa dituntut kami nanti,” kata Ilham.
Menanggapi itu, pendiri Constitutional and Electoral Reform Center (Correct) yang juga merupakan mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, menilai KPU harus bertanggung jawab untuk memastikan pemilih mengetahui informasi status tersangka calon kepala daerah.
Menurut Hadar, masyarakat memiliki hak untuk tahu informasi calon dengan lengkap. Informasi itu termasuk calon yang ditetapkan menjadi tersangka karena kasus korupsi. Adapun pengumuman informasi yang luas baru dilakukan apabila calon meninggal atau berhalangan tetap.
”Kondisi saat ini, kan, tidak ada yang mau mengubah peraturan. Pemerintah tidak mau, DPR tidak mau, KPU yang bisa merevisi PKPU juga tidak mau. Untuk itu biarkan saja calon bisa tetap dipilih, tetapi masyarakat harus tahu informasi itu secara sungguh-sungguh. Biar masyarakat nanti yang menentukan mau memilih atau tidak,” kata Hadar.
Pengumuman status tersangka dapat dilakukan dengan pemberitahuan di debat terbuka dan di tempat pemungutan suara bahwa calon sedang ditahan karena sebuah kasus. Selain itu, sosialisasi juga bisa menggunakan iklan kampanye yang diproduksi oleh KPU dan penempelan pengumuman di TPS.
Hal tersebut sudah diterapkan pada calon kepala daerah yang meninggal. Tujuannya, supaya masyarakat yang sudah memilih tidak percuma. Itu juga untuk menjaga hak pemilih.
Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, pemilih dalam risiko besar apabila KPU tidak melakukan terobosan dalam menghadapi banyaknya calon yang ditetapkan tersangka. Kemungkinan terpilihnya tersangka atau calon yang bermasalah hukum sangat besar.
Seperti di Pilkada Malang, dua calon wali kota, Mochamad Anton dan Yaqud Ananda Qudban, ditetapkan KPK sebagai tersangka dugaan suap APBD Malang. Akibat penangkapan, hanya satu calon di Malang yang tidak berstatus tersangka.
Untuk itu, kata Titi, KPU tidak perlu khawatir dengan tuduhan kampanye hitam ketika mengumumkan calon yang berstatus tersangka. Menurut dia, KPK tidak berurusan dengan pemenangan calon di suatu daerah, hal itu merupakan murni penegakan hukum.
”Kalau KPU tidak mau mengambil tanggung jawab itu, bisa terjadi politik Robin Hood. Nanti calon yang berstatus tersangka mengatakan mereka adalah korban politisasi karena berpihak pada rakyat. Padahal, itu hanyalah permainan mereka untuk mendapatkan simpati masyarakat,” kata Titi.