Salah
Sikap menyalahkan liyan atau hal di luar diri sendiri adalah salah satu bentuk distorsi kognitif yang paling lazim ditemukan pada manusia.
Banyak wirausaha Indonesia suka menyalahkan orang lain atau pihak lain untuk apa yang mereka alami, demikian pendapat seorang pengusaha. Apabila berbisnis lalu gagal, alih-alih berefleksi apa kekurangan yang menyebabkan gagal, mereka menyalahkan faktor ekonomi, pemerintah, mitra bisnis, bank, dan sebagainya. Dan rupanya ini fenomena lebih umum, bahkan semakin hari semakin terlihat jelas.
Dalam sebuah seminar pendidikan, para guru mengeluh orangtua murid sekarang yang kurang mampu mendidik anaknya sehingga di ruang sekolah pun tidak mampu menghormati gurunya. Sementara dalam sebuah kelas parenting, para orangtua berpendapat bahwa guru-guru sekarang kurang mampu menanamkan nilai-nilai karakter pada murid-muridnya.
Ketika ada murid-murid bertindak tidak sopan kepada guru, disimpulkan ini karena guru sudah tidak boleh mendisiplinkan murid dengan tegas (baca: menghukum secara fisik) karena melanggar HAM. Ketika ada orangtua melakukan kekerasan kepada guru, sang orangtua berkilah itu akibat salah sang guru kepada anaknya.
Ketika ada kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, adalah salah sang korban yang mengundang syahwat para pelaku, bukan salah para pelaku yang tidak mampu mengendalikan diri. Bahkan saat ditunjukkan data yang menunjukkan fakta berbeda, banyak yang berkilah zaman sekarang terlalu banyak perempuan berpakaian minim sehingga banyak lelaki terpengaruh.
Ketika bermunculan berbagai problem sosial dalam masyarakat, kambing hitam yang paling sering disebut adalah pengaruh Barat (baca: liberalisme). Ketika banyak anak tidak menurut kepada orangtuanya, yang paling bersalah adalah internet. Ketika masih banyak warga bangsa yang miskin, yang disalahkan adalah kelompok minoritas Tionghoa yang dianggap menguasai ekonomi.
Ketika ada kasus menjadi viral di masyarakat semisal gaya hidup pejabat yang luar biasa jauh dari kemampuan finansial resminya, yang disalahkan adalah media massa yang mengail di air keruh. Ketika ada perilaku politisi dikuliti di media sosial, biang keladi yang disebut adalah para BuzzeRP alias pendengung bayaran yang ingin mengadu domba.
Ketika terjadi peristiwa kelompok minoritas agama dihentikan ibadahnya, yang dipersalahkan adalah sang kelompok minoritas agama yang dianggap memprovokasi kerukunan umat beragama.
Baca juga: Bangga
Melihat maraknya sikap sedemikian dalam berbagai konteks, agaknya ini sudah bukan lagi urusan personal, melainkan sudah berkembang menjadi budaya masyarakat. Selalu ada faktor lain atau pihak lain yang dituding sebagai biang penyebab semua yang terjadi, sambil menutup mata terhadap apa peran dan kontribusi kita sendiri dalam situasi tersebut.
Sikap menyalahkan liyan atau hal di luar diri sendiri adalah salah satu bentuk distorsi kognitif yang paling lazim ditemukan pada manusia. ”Blaming Others”, demikian menurut psikolog David Burns dalam bukunya The Feeling Good Handbook (1980).
Sikap ini merupakan upaya untuk melindungi diri sendiri dari tanggung jawab personal, baik tanggung jawab atas terjadinya sesuatu maupun tanggung jawab untuk mencari jalan keluar dari suatu persoalan. Sebagai contoh adalah sikap para birokrat saat target program pembangunannya tidak tercapai lalu berdalih ini karena faktor A sampai Z. Atau ketika tertangkap tangan bertransaksi uang, seorang koruptor meyakini bahwa ini karena ada musuh politik yang menjebak.
Memang sekilas terasa lebih mudah untuk meletakkan kesalahan di pundak orang lain, serta lebih nyaman bagi ego diri kita. Namun sejatinya, sikap menyalahkan liyan ini justru mengambil keberdayaan dan kekuatan kita. Kita meletakkan keberhasilan kita pada sesuatu yang berada di luar diri kita.
Dengan kata lain, merujuk pada Covey Jr. (1987) dalam konsep garis kematangan, kita terjebak dan mengalami ketergantungan (dependensi).
Misalnya, anggapan bahwa penyebab banyak pejabat terjerat praktik korupsi adalah tuntutan para istri yang punya standar gaya hidup tertentu. Seakan-akan para lelaki yang telah menjadi pejabat ini tidak mampu berpikir merdeka, bergantung kepada istrinya, dan karena itu tidak dapat diminta bertanggung jawab atas perilakunya.
Baca juga: Terpengaruh
Tentu saja kita perlu memahami bahwa ada banyak faktor dalam sebuah sistem yang kompleks. Namun, kemampuan untuk mengakui peran dan kontribusi diri sendiri dalam persoalan yang terjadi menjadi syarat mutlak untuk menjadi lebih realistis dan pada akhirnya berdaya untuk mengubah situasi.
Jika tidak, problem akan terus berulang tanpa ada perubahan. Contoh paling konkret adalah pada kasus-kasus konflik agraria antara negara dan rakyat akar rumput atas nama pembangunan, terutama terkait hak atas tanah, seperti di Wadas, Purworejo di Jawa Tengah, bandara Kulonprogo DIY, Air Bangis di Pasaman Barat, dan yang terakhir ramai diberitakan di Rempang, Batam.
Dalam kasus-kasus ini, setiap kali terjadi penolakan oleh warga terdampak, tudingan yang paling cepat mencuat adalah ada provokator yang memanas-manasi rakyat. Kadang kala, ditambah bumbu: provokator yang didanai asing. Rakyat dianggap tidak punya nurani untuk menolak apa-apa yang tidak mereka inginkan. Rakyat juga dianggap tidak punya kemampuan untuk mengorganisasi diri untuk memperjuangkan nasib mereka. Rakyat dianggap tidak akan punya kekuatan untuk melawan pemaksaan kehendak.
Seandainya para pemimpin pemerintah tidak terjebak distorsi kognitif menyalahkan liyan (provokator), tentu mereka akan fokus merefleksikan apa yang sesungguhnya terjadi, bagaimana mereka memandang rakyat sebagai pemilik negeri ini, apa strategi yang salah dan apa yang lebih tepat. Dengan pemahaman yang tepat, penyelesaian yang lebih bijaksana pun akan lebih mudah dibuat, tanpa mengorbankan rakyat. Sayangnya, ini masih belum membudaya sehingga kita masih terus bertemu dengan situasi ini.
Sikap menyalahkan liyan memang tampak sederhana dan personal. Tapi ketika menjadi budaya, betapa besar harga yang harus kita bayar sebagai bangsa. Kapankah kita akan berubah?