JAKARTA, KOMPAS – Posisi petani semakin terdesak akibat monopoli tanah yang terus terjadi sehingga para petani tidak lagi memiliki tanah untuk lahan produksi. Program reforma agraria diminta lebih berpihak pada petani sehingga tidak ada lagi hak guna usaha yang tiba-tiba muncul tanpa sepengetahuan petani yang kerap sebabkan konflik.
Sekitar 100 buruh tani yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyerukan aksi dengan berjalan kaki dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, Balai Kota DKI Jakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan berhenti di depan Monumen Nasional, Jakarta, pada Kamis (29/3/2018). FPR merupakan gabungan dari beberapa organisasi, seperti Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), International League of People’s Struggle (ILPS) Indonesia, Serikat Perempuan Indonesia (Seruni), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi).
Sekretaris Jenderal AGRA Mohamad Ali mengatakan, aksi tersebut merupakan peringatan hari petani tak bertanah (day of the landless). Aksi itu bertujuan untuk memperjuangkan hak petani atas tanahnya yang telah dimiliki selama berpuluh-puluh tahun, tetapi dimonopoli oleh berbagai kalangan perusahaan dan pemerintah.
“Para petani ini kehilangan hak atas tanahnya yang telah digarapnya hampir 10 bahkan 20 tahun lalu. Monopoli tanah yang terjadi semakin memiskinkan mereka sehingga mereka harus menjadi buruh dengan upah kecil dan tidak punya lagi lahan produksi untuk anak cucunya kelak,” ujar Ali.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2016, konflik agraria terjadi sebanyak 450 kasus. Angka itu kian meningkat pada 2017 mencapai 659 kasus dengan luasan lahan 520.491,87 hektar. Sebanyak 652.738 kepala keluarga terdampak dari konflik tersebut, dan sekitar 500 petani serta 72 perempuan ditahan karena memperjuangkan hak atas tanahnya.
Menurut Ali, ketimpangan masih terjadi dalam kepemilikan tanah antara perusahaan dan para petani di sebuah tanah yang terlantar. Program reforma agraria belum berpihak pada petani karena tanah yang disertifikasi malah dijadikan hak guna usaha (HGU).
“Hal yang dijalankan program perhutanan sosial itu tanah-tanah yang kini jadi topangan hidup kaum petani yang disewakan ke perusahaan. Program perhutanan sosial bukan memberikan akses tanah pada petani, tapi merampas hak tanah petani. Pemberian sertifikat seharusnya diawali penghapusan monopoli tanah oleh perusahaan-perusahaan yang datang ke desa-desa,” ucap Ali.
Kehilangan hak atas tanah
Salah seorang buruh tani dari Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Ubus (72), mengatakan, ia kehilangan tanahnya seluas 200 meter persegi karena saat ini dimiliki sebuah perusahaan. Padahal, tanah tersebut telah ia garap untuk menanami sayur-sayuran selama hampir 16 tahun.
“Saya kaget tiba-tiba tanah yang selama ini saya tanami dijaga oleh aparat keamanan. Saya tidak punya lahan tanam lagi. Kalau pemerintah bijak, seharusnya lihat langsung kondisi ekonomi petani dan komunikasi dengan baik, sebelum berikan ke perusahaan,” ujarnya.
Buruh tani asal Riau, Helda Kasmi (38), juga menyuarakan ketidakadilan yang selama ini tanah milik orangtuanya dimonopoli oleh perkebunan sawit. Kini Helda harus menjadi buruh tani di sebuah perusahaan sawit dengan gaji yang menurut dia tidak layak.
“Mereka telah ambil tanah dari suku minoritas di sana. Setelah itu, kami terpaksa kerja dengan upah yang rendah,” ujar Helda. Ia bercerita gajinya sebesar Rp 1.8 juta per bulan dengan beban kerja seluas 6-7 hektar per orang.
Secara terpisah, peneliti dari Perkumpulan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) Yando Zakaria mengatakan, reforma agraria pemerintah seharusnya mulai membatasi HGU perusahaan besar yang memonopoli lahan dengan tidak memperpanjang HGU yang sudah hampir habis. Pemerintah juga perlu mendata lahan yang dimiliki oleh individu dan perusahan untuk melihat seberapa besar ketimpangan yang terjadi.
“Pembagian lahan perlu diatur kembali. Masalahnya selama ini, bagi masyarakat adat yang merasa memiliki lahan, namun lahannya malah dimonopoli oleh pengusaha,” ujar Yando.
Pembagian lahan perlu diatur kembali. Masalahnya selama ini, bagi masyarakat adat yang merasa memiliki lahan, namun lahannya malah dimonopoli oleh pengusaha
Redistribusi tanah dipercepat
Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Ikhsan Saleh menjelaskan, pemerintah terus mengupayakan percepatan redistribusi lahan yang meliputi, tanah transmigrasi, tanah HGU yang tidak diperpanjang oleh perusahaan, tanah terlantar, dan pelepasan kawasan hutan. Tanah tersebut akan diberikan kepada petani yang tidak memiliki lahan agar bisa dikelola dengan baik.
Adapun, pada tahun 2017, redistribusi tanah mencapai 262.189 hektar. Tahun 2018 ditargetkan mampu 350.000 hektar. “Kami harap dengan cara itu mampu mengurangi dan menyelesaikan konflik sengketa pertanahan,” ujarnya.
Kami harap dengan cara itu mampu mengurangi dan menyelesaikan konflik sengketa pertanahan
Terkait faktor kepemilikan tanah oleh segelintir pengusaha, menurut Ikhsan, hal itu tidak menjadi kendala dalam pelaksanaan reforma agraria. Hal itu disebabkan sumebr tanah objek reforma agraria (TORA) salah satunya adalah dari lahan yang dikuasai segelintir pengusaha yang menelantarkan atau tidak memperpanjang HGU. “Jadi kami mediasi perusahaan tersebut agar lahannya bisa diberikan kepada masyarakat,” ujarnya.