Kejayaan Semu Film Nasional, 80 Persen Lebih Potensi Pendapatan Hilang
Perfilman nasional sedang mendaki puncak kejayaan. Terbukti dari jumlah penonton pada 2017 yang merupakan tertinggi dalam 10 tahun terakhir, bahkan hampir menyamai total penonton dalam tiga tahun pada 2013, 2014, dan 2015. Meski demikian, kejayaan itu bersifat semu. Di sisi lain, industri film kehilangan lebih dari 80 persen potensi pendapatannya.
Pada hari Film Nasional Jumat (30/3/2018), empat sutradara ternama, Joko Anwar, Fajar Nugros, Ernest Prakasa, dan Livi Zheng, mengakui perkembangan film Indonesia saat dihubungi dari Jakarta. Menurut mereka, perkembangan industri film nasional sangat menggembirakan.
Data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menggambarkan, jumlah penonton film nasional mencapai 42,7 juta orang pada 2017. Pencapaian itu meningkat 5,5 juta penonton dari tahun sebelumnya. Bahkan, merupakan yang tertinggi selama 10 tahun terakhir.
Sementara itu, dalam dua tahun terakhir, pada 2016 dan 2017, sebuah film menjadi lumrah apabila disaksikan lebih dari 1 juta penonton. Pada 2017, film yang ditonton lebih dari sejuta kali mencapai 11 judul dan pada 2016 mencapai 10 judul. Padahal, pada 2013-2015 film dengan 1 juta penonton hanya berjumlah 7 judul.
”Ya, dalam 2 sampai 3 tahun terakhir pesat banget. Menggembirakan sekali melihat jumlah penonton meningkat terus. Artinya, ada kepercayaan penonton pada wajah film Indonesia. Dulu kan, orang berpikir ngapain nonton film Indonesia. Sekarang malah sudah jadi gaya hidup,” kata Ernest Prakasa.
Ernest merupakan sutradara sekaligus aktor film Ngenest (2015), Cek Toko Sebelah (2016), dan Susah Sinyal (2017). Pria yang juga merupakan komika komedi tunggal ini berhasil meraih sukses pada film Cek Toko Sebelah dan Susah Sinyal yang berhasil menggaet lebih dari 2 juta penonton.
Di sisi lain, rekor penonton pada satu judul film pun naik signifikan. Film Dilan 1990 (2018) dan Warkop DKI: Jangkrik Boss (2016) disaksikan lebih dari 6 juta penonton. Film itu melampaui rekor Laskar Pelangi (2008) dengan 4 juta lebih penonton, yang sudah memegang rekor hampir 8 tahun.
Sependapat dengan hal itu, Joko Anwar juga merasakan peningkatan pada perfilman Indonesia. Menurut dia, peningkatan itu terlihat dari jumlah film Indonesia yang sering mendominasi film asing di bioskop.
”Sudah dong (berjaya di negeri sendiri), dalam satu bioskop yang layarnya enam, bisa ada lima film Indonesia kalau lagi banyak yang bagus. Sudah tidak ada kecemasan, menjadi tuan rumah di negeri sendiri sudah terjawab. Dari sisi bisnis sudah sangat menggembirakan,” kata sutradara Pengabdi Setan, film terlaris pada 2017 dengan 4,2 juta penonton yang mendapatkan tujuh penghargaan Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2017.
Karena layar
Peningkatan jumlah penonton film nasional itu merupakan pengaruh tidak langsung dari penambahan layar bioskop. Penambahan layar itu gencar dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, Indonesia memiliki 1.518 layar. Jumlah itu naik signifikan dibandingkan pada 2016 dengan 1.243 layar dan pada 2015 dengan 1.111 layar.
Meski demikian, jumlah layar itu belum cukup. Peningkatan perfilman nasional pun bersifat semu. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) menunjukkan, dengan jumlah layar itu, hanya sekitar 13 persen masyarakat Indonesia yang bisa mengakses.
Artinya, ada 80 persen lebih potensi pasar yang belum tergarap industri film. Semua itu hilang karena kurangnya jumlah layar bioskop di Indonesia.
Sutradara Hollywood asal Indonesia, yang juga merupakan produser dan aktris, Livi Zheng, mengatakan, pengaruh distribusi yang kecil akan menyulitkan pembuat film. Pasar untuk menjual film itu menjadi terbatas. Ujung-ujungnya, potensi pendapatan berkurang.
Jumlah layar yang sedikit, kata Livi, adalah faktor utama yang menjadi kendala pembuat film. ”Sangat sedikit layarnya apabila dibandingkan di Amerika Serikat, China, dan Korea Selatan. Di AS, di perumahan saja ada bioskop meskipun kecil dengan beberapa kursi saja,” ucapnya dari Los Angeles, AS.
Rasio jumlah layar di Indonesia hanya 0,6 untuk 100.000 orang. Jumlah itu sangat jauh dibandingkan negara lain, seperti Amerika Serikat dengan 14, Inggris 6,8, Korea Selatan 4,3 China 1,8, dan India 0,9. Mirisnya, jumlah layar Indonesia setara dengan yang ada di Kota Beijing, China.
Permasalahan lainnya, distribusi layar hanya terfokus di Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Bahkan, penyebaran layar bioskop di Indonesia belum mencapai 100 kabupaten atau kota. Jumlah itu sangat timpang apabila dibandingkan dengan keseluruhan 541 kabupaten atau kota.
Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik menyatakan, jumlah layar dan penyebarannya memengaruhi potensi pendapatan film nasional. Potensi pendapatan itu hilang pada film Dilan 1990 dan Warkop DKI: Jangkrik Boss.
Menurut Ricky, kedua film itu mungkin bisa mencapai 10 juta penonton apabila Indonesia memiliki 3.000 layar. ”Seharusnya capaian itu bisa lebih tinggi. Dilan 1990 dan Warkop DKI ada masalah dengan keterbatasan layar. Jadi penonton mereka mentok pada angka segitu,” katanya.
Untuk itu, Bekraf menargetkan 3.000 layar yang akan dicapai pada 2020. Ricky mengatakan, minat terhadap pembukaan layar sudah banyak dari India, China, ataupun Korea Selatan dengan Lotte Cinema yang menurut rencana masuk pada 2018.
”Tetapi untuk mengakselerasi butuh waktu. Tidak hari ini minat menambah layar, langsung jadi. Ini bisnis triliunan, butuh memeriksa aturan, mencari partner lokal yang tepat, dan lainnya. Mungkin kita bisa lihat target itu pada 2020,” kata Ricky.
Jurang pemisah
Dalam hal jumlah penonton, ada jurang pemisah di antara 117 judul film selama 2017. Lebih dari setengah atau 52,99 persen judul film ditonton kurang dari 100.000 orang. Disusul 37,61 persen judul film yang ditonton kurang dari 1 juta orang dan hanya 9,40 persen atau 11 judul film yang ditonton lebih dari 1 juta orang.
Jurang itu memisahkan film yang baik dalam hal distribusi, promosi, ataupun kualitas film dengan yang kurang baik. Permasalahan itu terangkum dalam satu titik, yaitu karena minimnya pendidikan film di Indonesia.
Data BKPM menunjukkan hanya terdapat lima sekolah film di Indonesia. Jumlah itu timpang dibandingkan Korea Selatan yang memiliki 300 sekolah film. Padahal, penduduk Indonesia lima kali lebih banyak dari Korsel.
Akibat dari hal itu, sumber daya manusia dalam perfilman menjadi korbannya. Tidak banyak kru film, penulis skenario, aktor, ataupun sutradara yang andal. Ujung-ujungnya kualitas film yang menjadi korban.
”Saya merasanya, setiap hendak membuat film baru, selalu susah mencari kru yang berkualitas, jadwalnya selalu penuh. Jadi, saya pikir SDM yang berkualitas sangat minim,” kata Fajar Nugros, sutradara film Yowis Ben.
Sementara itu, menurut Joko, ekosistem di dunia perfilman timpang. Jumlah produksi tinggi, tetapi jumlah pekerjanya sedikit. Hal itu pun berpengaruh pada kualitas film yang dihasilkan.
Dari 119 film yang dirilis pada 2017, seharusnya ada 60 persen yang dibuat dengan teknis dan estetika. Namun, peraih sutradara terbaik dalam Piala Citra FFI 2017 itu meyakini film yang berkualitas itu tidak lebih dari 10 persen.
Penulis naskah yang biasa-biasa saja kurang, apalagi yang skillful. Ekosistem timpang karena produksi tinggi tetapi pekerjanya sedikit.
Salah satu yang disoroti Joko adalah penulis naskah. Menurut dia, penulis naskah di Indonesia sangat minim. Padahal, naskah adalah hal pertama yang menentukan sebuah film bagus atau tidak. ”Penulis naskah yang biasa-biasa saja kurang, apalagi yang skillful. Ekosistem timpang karena produksi tinggi tetapi pekerjanya sedikit,” katanya.
Untuk itu, kuantitas pendidikan film harus ditingkatkan. Pendidikan harus ada untuk menyokong SDM, yang kemudian akan mendorong ekosistem lebih baik dalam industri film. ”Apabila industri ini mau berlanjut, kuncinya adalah meningkatkan SDM, caranya dengan pendidikan dan pelatihan,” ucap pria berkepala plontos itu.
Minimal, kata Joko, untuk Jakarta saja dibutuhkan setidaknya 15 sekolah film. Selain itu, di daerah-daerah lain juga perlu dibangun sekolah film agar terjadi pemerataan kualitas. Namun, itu bergantung pada keseriusan pemerintah dalam industri film.
Meskipun tidak pernah sekolah film, Ernest mengatakan, pendidikan film sangat penting. Pendidikan dinilai dapat mematangkan pengetahuan teknis para pekerja film.
”Idealnya itu sekolah film biar bisa nguasain lebih lagi karena banyak bekal teknis dalam menulis skenario dan menjadi sutradara. Saya saja kepikiran, kenapa dulu tidak sekolah film,” ucap pria pemenang penghargaaan Skenario Terbaik Piala Citra FFI 2017 itu.
Harapan sineas
Ernest berharap pemerintah lebih serius dalam memerangi pembajakan. Menurut dia, seharusnya situs menonton film bajakan bisa dibereskan pemerintah. Akan tetapi, situs tersebut masih ada dan menjamur sampai saat ini.
Fajar bermimpi pemerintah mengumpulkan sineas film untuk memproduksi film-film bersejarah Indonesia. Film itu menceritakan tentang Gadjah Mada, Laksamana Malahayati, dan cerita Nusantara lainnya.
Joko meminta kesadaran lebih pemangku kebijakan. Film itu adalah produk budaya sebagai alat penetrasi budaya, bukan hanya roda penggerak ekonomi kreatif. Untuk itu, pemerintah harus hadir dari hulu hingga hilir, mulai dari masalah penayangan sampai perpajakan. Intinya, membuat perfilman menjadi berkelanjutan.
Sementara itu, Livi menunggu sineas lain bergabung ke Hollywood. Menurut dia, jangan pernah takut mencoba berkarier di luar negeri. Hal itu susah saat permulaan, tetapi akan lebih mudah ketika dijalani. Sutradara film action ini meminta sineas percaya diri karena dari segi talenta, Indonesia tidak kalah dari AS.
Ricky sebagai pemangku kebijakan berharap film menjadi garda terdepan ekonomi nasional. Dia berharap film bisa memunculkan efek multiplier. Film dinilai dapat menjadi penggerak ekonomi kreatif lain, seperti pariwisata.
”Seperti Belitung yang ramai karena Laskar Pelangi, Gereja Ayam karena Ada Apa Dengan Cinta 2?, dan tentunya orang beramai-ramai ingin ke Ubud, Bali, karena ingin mendapatkan pengalaman spritual setelah menonton Eat Pray Love. Efek ekonomi itu akan gila betul. Tugas Bekraf untuk menjaga ekosistem itu,” kata Ricky.
Momentum hari Film Nasional agaknya tepat untuk merealisasikan harapan para sineas dan pemangku kepentingan. Keberlanjutan kejayaan film nasional tentu akan semakin memperkecil potensi pendapatan yang terlepas.