Menikmati Kebisingan Jakarta di Atas Jembatan Layang
Oleh
DD08
·4 menit baca
Sejumlah muda-mudi menikmati kota Jakarta pada malam hari dengan nongkrong di Jembatan Layang Klender, Jakarta Timur, Senin (26/3/2018). Mereka tidak memedulikan bahaya kejahatan dan kecelakaan yang sering terjadi di jalan raya.
Deru angin malam kota Jakarta diiringi bising suara kendaraan bermotor yang lalu lalang tak sedikit pun mengganggu Firman (26). Ia tetap menikmati keriuhan suasana kota Jakarta pada malam hari bersama Saskia (23), kekasihnya di atas Jembatan Layang Klender, Jakarta Timur, Senin (26/3/2018).
Jembatan Layang Klender menjadi salah satu lokasi favorit muda-mudi Jakarta memadu kasih ditemani kopi yang disajikan mengunakan gelas plastik. Dengan berbekal uang kurang dari Rp 10.000, mereka dapat menikmati suasana malam Jakarta berdua.
Selain kopi yang dijual di tenda-tenda beratapkan terpal dan tak berdinding, pengunjung menikmati makanan ringan dan rokok. Tenda-tenda tersebut berdiri di atas trotoar yang lebarnya sekitar 3 meter. Terlihat juga penjual tahu bulat menjajakan dagangannya.
”Kami dapat menghilangkan rasa jenuh di rumah dengan menikmati indahnya cahaya lampu dari gedung-gedung dan lampu penerangan jalan,” kata Firman sambil menyandarkan punggungnya di pagar besi jembatan yang tingginya sekitar 1,5 meter. Selain cahaya lampu, kereta yang melintas di bawah jembatan menjadi salah satu pemandangan yang dinikmati pengunjung.
Mereka duduk beralaskan banner bekas tanpa atap sehingga hujan menjadi salah satu hal yang mereka benci, selain angin kencang yang membuat badan menggigil kedinginan. Sesekali kepulan asap dari truk yang melintas membuat risau pengunjung.
Truk menjadi kendaraan yang membuat pengunjung takut karena dapat membuat jembatan berguncang. ”Awalnya takut dengan guncangannya, tetapi lama-kelamaan terbiasa,” ujar Firman yang tinggal di Pondok Bambu, Jakarta Timur, tersebut.
Di Jembatan Layang Pasar Rebo, Jakarta Timur, beberapa pasangan muda-mudi juga terlihat menikmati malam di pinggir jembatan yang pagarnya hanya setinggi 1 meter. Mereka duduk di atas motor sambil menikmati gemerlap cahaya lampu kendaraan, penerangan jalan, kios buah, dan gedung-gedung.
Pengunjung bersama pedagang berdiri di atas jalan raya tanpa ada batas trotoar. Angin yang berembus dari kendaraan bermotor yang melintas pun terasa lebih kencang karena jaraknya kurang dari 2 meter dari tempat pengunjung berdiri.
Sejumlah pengemudi ojek daring juga tampak beristirahat di atas motornya. Tito (19), pengemudi ojek daring asal Gunung Putri, Bogor, memilih beristirahat di Jembatan Layang Pasar Rebo sebelum pulang ke rumahnya.
”Saya suka berhenti di sini karena dapat melihat keramaian Jakarta dari ketinggian pada malam hari,” kata Tito sambil mengisap rokoknya dan meminum kopi susu. Selain itu, ia juga dapat mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan ke Bogor.
Rawan kejahatan
Kebiasaan muda-mudi yang duduk-duduk di jembatan layang sering dimanfaatkan begal untuk melancarkan aksinya. Rizal (40), pedagang kopi, menyaksikan beberapa kali terjadi pembegalan terhadap sepasang muda-mudi yang sedang duduk di atas motor.
”Biasanya mereka meminta telepon genggam dan uang. Namun, ada juga yang merampas motornya,” kata Rizal. Ia menceritakan, beberapa korban ada yang terluka, bahkan tewas, terkena sabetan celurit yang dibawa pelaku pembegalan.
Pengunjung pun tahu risiko kejahatan di Jembatan Layang Pasar Rebo sangat tinggi. Meskipun demikian, mereka tidak memedulikan bahaya tersebut.
Selain rawan kejahatan, kebiasaan menongkrong di jembatan layang juga dapat menyebabkan kecelakaan. Sumini (58), pedagang kopi di Jembatan Layang Klender, mengatakan pernah ada kejadian seorang perempuan yang tewas tertabrak kendaraan yang melaju kencang ketika menyeberang jalan.
Minim fasilitas
Menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, kebiasaan masyarakat yang nongkrong di atas jembatan layang terjadi karena minimnya fasilitas hiburan yang gratis di Jakarta. Kebiasaan tersebut dilakukan untuk melepas kepenatan.
Minimnya fasilitas umum yang gratis tersebut disebabkan oleh masih kurangnya inisiatif pemerintah menambah tempat rekreasi di setiap titik keramaian. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk memelihara fasilitas umum juga masih kurang sehingga menyebabkan pemerintah ragu membangun tempat rekreasi gratis.
Selain kurangnya fasilitas rekreasi gratis, kebiasaan masyarakat yang suka menongkrong diakibatkan kurangnya kegiatan yang produktif. Akibatnya, mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk mengobrol.
Asep berharap pemerintah mulai memberikan edukasi agar masyarakat dapat meninggalkan kebiasaan menongkrong di pinggir jalan raya. Selain membahayakan keselamatan jiwanya, kegiatan tersebut dapat mengganggu kenyamanan pengguna jalan.
”Pendidikan kepada publik tersebut dapat dilakukan melalui membuat iklan layanan masyarakat di media massa dengan sasaran menengah ke bawah dan untuk anak-anak hingga remaja,” ujar Asep. Edukasi tersebut tidak hanya ditujukan untuk warga Jakarta, tetapi juga untuk masyarakat Indonesia.