Menteri LHK Diminta Batalkan Pemberian Lahan Pengganti
Oleh
ichwan susanto dan brigitta isworo lasmi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kebijakan pemberian lahan pengganti bagi industri kehutanan berkonsesi di lahan gambut mengorbankan ekosistem hutan di tanah mineralnya. Untuk itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta mencabut peraturan menteri tersebut dan meninjau ulang izin-izin di area gambut, terutama yang pernah terbakar.
Kebijakan penggantian lahan usaha atau land swap ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 40 Tahun 2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Aturan itu diberlakukan bagi industri kehutanan yang 40 persen atau lebih lahannya ada di daerah gambut lindung.
Wahyu Agung Perdana, Pengampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rabu (28/3), di Jakarta, mengutip data pemerintah, dari 2,4 juta hektar area gambut yang harus direstorasi, 1,4 juta hektar adalah konsesi perusahaan.
”Bukannya menciutkan perizinan dan menegakkan hukum, pemerintah memfasilitasi korporasi dengan kebijakan seperti land swap atas nama ketelanjuran,” ujarnya.
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan, lahan untuk land swap dan program reforma agraria berbeda sumbernya. Ada banyak syarat land swap, yakni tanah mineralnya harus clear and clean dan perusahaan melakukan pemulihan minimal enam bulan.
”Sampai kini belum ada land swap yang dibagi,” ujarnya.
Kebijakan land swap dikeluarkan saat ada pembahasan upaya mengendalikan pemakaian lahan gambut bagi dunia usaha. Jika 60 persen lahannya ialah gambut, kesinambungan usahanya perlu dipertimbangkan. Maka, pengusaha diberi jalan keluar.
”Jadi, yang usahanya dinilai bakal terganggu, dia diberi land swap di lahan mineral bukan gambut,” kata Siti.
Memicu bencana
Wahyu mengatakan, land swap akan menimbulkan masalah di tempat baru dengan berbagai konflik dan bencana. Misalnya, ancaman tragedi kebakaran dan asap akibat budidaya di lahan gambut berubah jadi longsor, banjir, dan kehilangan sumber air karena pemberian izin di tanah mineral.
Boy Even Sembiring, Manajer Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan Walhi, mendesak ketelanjuran dituntaskan dengan peninjauan ulang perizinan dan penegakan hukum. Pemerintah, melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, melindungi gambut berfungsi lindung berkedalaman lebih dari 3 meter.
”Jadi, sebelum Peraturan Pemerintah No 71/2014 jo PP No 57/2016, perlindungan gambut sudah dilakukan,” katanya.
Penerbitan izin di lahan gambut dinilai tak sepenuhnya jadi kesalahan pemerintah sebagai pemberi izin. Pemohon izin awalnya memohonkan lokasi pada pemegang otorita. Jadi, penerbitan hutan tanaman industri (HTI) di gambut fungsi lindung jadi tanggung jawab pemberi dan pemohon izin.
Terkait tujuan Permen LHK No 40/2017 untuk kepastian usaha dan kecukupan bahan baku industri, Boy membantahnya. Kepastian usaha dengan melarang pemanfaatan gambut kedalaman lebih dari 3 meter lewat Keppres No 32/1990.
Dari luas rencana tanam 2011-2015 seluas 4,6 juta hektar, terealisasi 2,1 juta hektar. ”Ada atau tidak land swap, kekurangan bahan baku bagi industri primer kayu terjadi akibat kegagalan pelaku usaha merealisasikan rencana tanam,” ujarnya.
Sementara Edi Sutrisno dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia mengutip catatan ForestFinance, menyebutkan Indonesia tidak masuk dalam 10 pengambil keuntungan besar industri kehutanan di dunia. Pengambil manfaat malah dipegang Jepang, Amerika Serikat, serta disusul negara-negara lain.
Bahkan, lanjutnya, Indonesia malah pemberi pinjaman terbesar ketiga setelah Jepang dan China untuk industri kehutanan. “Jadi Indonesia ini memberi hutang, juga izin dan hutan serta menerima segala konsekuensi risiko dan kerusakan lingkungannya,” kata dia.