Anggota Badan Legislasi DPR berfoto bersama pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), dan Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan (FP2B), Rabu (28/3) di Jakarta, usai pembahasan rancangan undang-undang perkelapasawitan. Perundangan yang kontroversial ini masuk dalam prioritas legislasi nasional sejak dua tahun terakhir.
JAKARTA, KOMPAS – Badan Legislasi DPR akan membuka diri kepada pihak-pihak yang tak sepemikiran dengan urgensi penyusunan rancangan undang-undang perkelapasawitan. Alat kelengkapan di DPR ini pun siap untuk tak melanjutkan pembahasan bila argument penolakan akan RUU ini kuat.
RUU ini telah dua kali diketuk untuk masuk dalam prioritas legislasi nasional. Pada Rabu (28/3/2018) sore, Badan Legislasi DPR kembali mengundang Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan (FP2SB), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasi) untuk mendapatkan masukan dan saran.
Saran mereka diperlukan setelah pemerintah yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian, 17 Juli 2017, menyampaikan perundangan perkelapasawitan belum diperlukan. Ini karena regulasi terkait kelapa sawit telah diatur dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU No 3/2014 tentang Perindustrian, UU No 7/2014 tentang Perdagangan, dan UU No 19/1999 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Kompas, 18 Juli 2017).
Pemerintah menyatakan dari 17 bab dalam RUU Perkelapasawitan, hanya ada satu bab yang berbeda dengan perundangan eksisting, terdapat 2 bab sedikit berbeda dengan UU ekisting, dan 14 bab tidak ada beda. Pemerintah pun menyatakan kelembagaan baru yang diusulkan dalam RUU Perkelapasawitan berpotensi tumpang-tindih dengan kementerian/lembaga sektor.
“Kalau melihat apa yang kami dengar tadi, UU yang mengatur perkelapasawitan ini tersebar di beberapa undang-undang perkebunan, pertanian, perindustrian, dan lainnya. Baik mekanisme dari lahan dari hulu sampai hilir. Perkembangan sekarang perlu diintegrasikan dalam satu uu yang lebih lex spesialis sehingga perspektif lebih lengkap,” kata Dossy Iskandar Prasetyo, pimpinan rapat yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Rabu usai rapat dengar pendapat dengan FP2SB, Gapki, dan Apkasi terkait RUU Perkelapasawitan.
Namun, pihaknya tak akan memaksakan RUU Perkelapasawitan meski untuk kedua kali periode DPR memasukkannya ke prolegnas. Ia pun mengatakan akan mengundang kembali pemerintah untuk mendapatkan masukan, terutama menjawab kebutuhan pengaturan integratif perkelapasawitan hulu-hilir.
Selain pemerintah, Badan Legislasi berupaya mengundang pihak/lembaga yang kontra terkait usulan penyusunan RUU Perkelapasawitan. “Kalau lebih banyak manfaat, kenapa (penyusunan RUU) berhenti. Kalau dipandang belum cukup dan UU yang ada cukup emmadai, ya harus rasional agar (pembahasan) ini tak diteruskan. Gitu saja,” kata Dossy yang berasal dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Jawa Timur VIII).
Ia menyatakan pemanggilan pihak kontra bisa dilakukan Baleg bila waktu mencukupi maupun di level selanjutnya, Panitia Kerja. Ia menyatakan pihak kontra wajib didengar agar penyusunan norma berjalan benar. “Supaya jangan ngawur. Norma itu menentukan arah. Kalau norma tidak adil berarti menghambat kesadaran masyarakat untuk melakukan koreksi,” kata dia.
Sementara dalam RDPU kemarin, Achmad Mangga Barani, Ketua FP2SB menyatakan RUU Perkelapasawitan sangat diperlukan. Ia mengatakan kondisi saat ini, kondisi perkebunan kelapa sawit telah berubah dengan masyarakat petani yang mulai berperan. Di tahun 1980-an, kata dia yang juga mantan Dirjen Perkebunan, luas perkebunan yang dikelola petani hanya 6.175ha, perusahaan swasta 88.847 ha, serta perusahaan negara 199.538 ha.
Kompas/Ichwan Susanto
Para pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), dan Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan (FP2B), Rabu (28/3) di Jakarta, mendorong penerbitan undang-undang perkelapasawitan saat diundang Badan Legislasi DPR. Perundangan yang kontroversial ini masuk dalam prioritas legislasi nasional sejak dua tahun terakhir.
Luas perkebunan masyarakat pun semakin luas dan kini mencapai 4,7 juta ha sedangkan luas perkebunan swasta 6,8 juta ha, dan perusahaan negara hanya 752.585 ha. Perkebunan yang ekspansif ini menghasilkan devisa Rp 239 triliun atau di urutan pertama serta menyerap 17 juta tenaga kerja.
Terkait respons pemerintah yang menilai RUU Perkelapasawitan belum diperlukan karena terdapat perundangan lain, menurutnya hal ini debatable. Ia mengatakan UU Perkebunan hanya mengatur hulu untuk semua komoditi perkebunan dan pascapanen untuk komoditi tertentu serta tidak mengatur industry hulu.
Selain itu, ia menyebutkan perundangan saat ini inkonsisten dan bertentangan sehingga menghambat perkembangan perkebunan kelapa sawit. Diantaranya terkait pembakaran lahan yang dilarang di UU Perkebunan tapi diperbolehkan di UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Konteks “memperbolehkan” pembakaran dalam UU 32/2009 ini bagi masyarakat tradisional dengan cara tradisional pada luasan maksimal 2 ha dan hanya untuk komoditas lokal. Menurut banyak akademisi, sawit tidak masuk dalam komoditas lokal ini sehingga pembakaran untuk perkebunan sawit tetap dilarang.
Perundangan saat ini pun melarang budidaya di area bergambut. Menurutnya, banyak contoh di dalam negeri dan luar negeri bila sawit bisa ditanam dan menghasilkan meski dikembangkan di area bergambut.
Achmad meminta agar pembahasan RUU Perkelapasawitan tetap dilanjutkan sebagai instrument hukum yang menjawab hambatan-hambatan itu. “RUU Perkelapasawitan harus bersifat Lex Specialis dari UU Perkebunan dan UU lainnya,” kata dia.