Penderita Diabetes Melitus Agar Jaga Kontrol Metabolik
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Diabetes melitus tipe satu merupakan penyakit metabolik kronis yang belum bisa disembuhkan. Kasus pada anak-anak meningkat. Anak-anak penderita diabetes tetap bisa beraktivitas normal dengan syarat menjaga kontrol metabolik. Caranya, rajin memantau kadar gula darah, mengatur pola makan, olahraga, serta pemberian insulin dengan dosis tepat.
Hal itu mengemuka dalam seminar awam Diabetes Melitus (DM) tipe 1 yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia di Jakarta, Selasa (27/3). DM tipe 1 merupakan penyakit tidak menular yang disebabkan kekurangan insulin karena kerusakan pada sel beta pankreas.
“Penderita DM tipe 1 memerlukan insulin dari luar tubuh karena pankreas tidak bisa memproduksi sendiri. Insulin berperan mengatur kadar gula darah, penggunaan glukosa oleh otot, lemak dan sel-sel tubuh lainnya,” ujar dokter spesialis anak RSCM Bambang Tridjaja.
Ketua IDAI Aman Bakti Pulungan mengatakan DM tipe 1 menjadi penyakit tersering pada anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Di Indonesia terjadi peningkatan jumlah penderita lebih dari 500 persen dalam lima tahun terakhir. Data register UKK (Unit Kerja Khusus) Endrokrinologi IDAI 2017 diperoleh 1.179 kasus DM tipe 1 pada anak kelompok usia terbanyak 5-6 tahun dan 11 tahun.
“Salah satu penyebabnya, autoimun atau antibodi menyerang sel beta pankreas. Selain itu faktor genetik dan lingkungan,” kata Aman.
Gejalanya frekuensi kencing yang meningkat di malam hari, sering merasa haus, lapar dan berat badan turun drastis dalam 2-6 minggu. Untuk memastikannya perlu pemeriksaan dokter dan laboratorium. DM tipe 1 biasanya kadar gula darah saat diperiksa lebih dari 200 mg/dl (miligram per deciliter) atau gula darah saat puasa lebih dari 126 mg/dl.
Menyambut datangnya Ramadhan 2018, masyarakat muslim antusias berpuasa termasuk penderita DM tipe 1. Meski demikian, Aman menyarankan minimal usia anak yang berpuasa adalah 8 tahun, sebab mereka dianggap sudah bisa diberi pengertian dan mampu mengendalikan keinginan yang berlebihan.
Selain itu kontrol metaboliknya harus baik agar tumbuh dan kembangnya optimal. Kontrol ini bertujuan mengupayakan kadar gula darah dalam batas normal atau mendekati normal tanpa menyebabkan anak menjadi kekurangan glukosa dalam darah. Caranya, pemberian insulin dengan dosis tepat, rajin memantau kadar gula darah, mengatur pola makan, olahraga.
Untuk mencapai kontrol metabolik yang optimal dibutuhkan penanganan menyeluruh oleh tim yang terdiri dari ahli endrokrinologi anak atau dokter anak, ahli gizi, psikiatri, psikologi anak, dan pekerja sosial. Selain itu peran keluarga terutama orangtua sangat penting dalam mengedukasi anak maupun melakukan pengawasan.
Terlalu banyak dosis insulin yang disuntikkan dapat menyebabkan kadar gula darah menjadi rendah (hipoglikemia). Risikonya, anak menjadi kejang dan kehilangan kesadaran. Sebaliknya, kekurangan insulin menyebabkan kadar gula darah tinggi dan apabila berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan komplikasi seperti gangguan tumbuh kembang, gangguan penglihatan, gangguan dan fungsi ginjal.
Gangguan fungsi ginjal
Kadar gula tinggi dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan komplikasi seperti gangguan pertumbuhan, gangguan perkembangan, gangguan penglihatan, gangguan pada pembuluh darah jantung dan otak, serta gangguan fungsi ginjal. Jika pasien mengalami kerusakan ginjal, salah satu pilihan untuk pemulihannya adalah cuci darah atau transplantasi ginjal.
Dalam kesempatan yang berbeda, spesialis penyakit dalam RSCM Maruhum Bonar Marbun mengatakan, transplantasi mampu meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita kerusakan ginjal yang mengalami kegagalan fungsi organ.
Namun, mereka tetap harus waspada sebab risiko mengalami rejeksi atau penolakan organ cukup tinggi. Ada dua macam rejeksi, yakni rejeksi akut (mendadak dan cepat memburuk) dan rejeksi kronik (menahun). Pencegahan dan deteksi dini menjadi kunci meminimalkan resiko terjadinya rejeksi.
Resiko rejeksi kronik pada tahun pertama setelah transpantasi adalah 4,8 persen, dan meningkat pada lima tahun berikutnya menjadi 12 persen. Setelah lebih dari 10 tahun resiko terjadi rejeksi kronik mencapai 30 persen dan tidak berpeluang kembali pada kondisi normal.
Sedangkan resiko terjadi rejeksi akut pada pasien transplantasi ginjal sebesar 20-40 persen. Namun mereka berpeluang kembali pada kondisi normal setelah mendapat penanganan medis dan menjalani pengobatan.
Pada berita sebelumnya, Kompas (26/3), ditulis risiko terjadi rejeksi pada pasien transplantasi ginjal mencapai 70 persen, sebanyak 40 persennya biasanya mengalami rejeksi akut dan 30 persennya mengalami rejeksi kronik.
Menurut Bonar, rejeksi merupakan komplikasi utama yang paling mungkin terjadi setelah transplantasi ginjal. Sebab, sistem imun tubuhnya akan mengenali ginjal yang ditransplantasikan sebagai benda asing sehingga memicu reaksi penolakan.
Gejala rejeksi antara lain merasa tidak nyaman, demam, nyeri pada ginjal transplantasi atau produksi urin berkurang. Gejala lain, tekanan darah tidak terkontrol. Akan tetapi, banyak kasus rejeksi tidak menunjukkan gejala klinis dan hanya terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium secara rutin.