JAKARTA, KOMPAS -- Sejumlah lembaga keumatan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Sejumlah pasal yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dikhawatirkan mengancam toleransi.
Lembaga keumatan tersebut adalah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Niciren Syosyu Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia.
Tindak pidana yang dipersoalkan lembaga keumatan itu tertulis pada Pasal 349-353 dalam hasil pembahasan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) per 24 Februari 2017. Pasal-pasal itu mengatur tindak pidana terhadap agama serta tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah.
Dalam siaran pers, Senin (26/3), di Jakarta, lembaga-lembaga keumatan itu menegaskan, penghinaan hanya bisa ditujukan kepada orang. Agama bukan subyek yang dapat merasa terhina. Jika pasal mengenai penghinaan terhadap agama dalam RUU HP itu dipertahankan, akan ada kesulitan dalam menentukan siapa yang berhak mewakili agama itu jika terjadi penghinaan agama.
Ubah rumusan tindak pidana
Mereka mengusulkan agar rumusan tindak pidana terhadap agama itu diganti menjadi tindak pidana terhadap perbuatan orang atau kelompok orang berupa hasutan kebencian, stigma, atau pelabelan negatif. Perbuatan itu bisa secara lisan atau tertulis dan melalui media audio atau visual. Perbuatan itu bermaksud mendorong kekerasan, diskriminasi, ataupun permusuhan terhadap orang atau kelompok orang berdasarkan agamanya.
”Undang-undang mengenai agama ini memberi peluang pada negara untuk berteologi. Ketika delik hukum menyangkut agama mulai terjadi, akan ada di pengadilan sebuah percakapan, kesaksian, atau pembuktian yang sifatnya menjadi perdebatan teologis. Perdebatan teologis ini seharusnya ada di dalam lingkungan agama dam bukan di pengadilan,” tutur Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom.
Sekretaris Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra menambahkan, pelibatan negara dalam perdebatan teologis bisa menimbulkan konflik antar-agama karena cara pandang dan berpikir tiap agama berbeda. ”Kalau negara masuk ke ruang tafsir itu, mau pakai tafsir yang mana? Negara tidak boleh terlibat. Biarlah itu tetap di ruang privat,” katanya.
Secara terpisah, anggota Panitia Kerja RUU HP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menjelaskan, aturan mengenai penghinaan, penodaan, atau penistaan terhadap agama bersifat konstitusional. ”Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) konsisten menolak uji materi terhadap aturan-aturan itu. Dari segi konstitusionalitas, keberadaan pasal itu tidak bermasalah,” ujarnya.
Pasal penghinaan terhadap agama itu dipertahankan DPR untuk mencegah masyarakat main hakim sendiri akibat ketiadaan aturan mengenai penghinaan terhadap agama. Namun, rumusan pasal penghinaan terhadap agama itu memang dianggap abstrak dan perlu diperbaiki.
Penolakan juga terus mengalir dari kalangan perempuan hingga di daerah-daerah. Dalam 10 hari terakhir terkumpul lebih dari 1.300 tanda tangan petisi ”Tunda Pengesahan RUU HP”.