Produktivitas Lada Menurun, Petani Disarankan Gunakan Oligokitosan
JAKARTA, KOMPAS — Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi dari Badan Tenaga Nuklir Nasional atau PAIR-Batan menyarankan penggunaan oligokitosan untuk mengatasi hama dan penyakit yang dihadapi petani lada. Saat ini, produktivitas lada Indonesia semakin menurun, salah satunya akibat masalah tersebut.
Indonesia pernah menguasai pasar lada sebelum tahun 2013. Namun, rata-rata produksi lada saat ini adalah 800 kilogram per hektar. Hasil produksi tersebut lebih rendah dibandingkan Vietnam yang rata-rata 2 ton per hektar (Kompas, 26/3).
Menurut Kepala Bidang Proses Radiasi PAIR Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Darmawan Darwis, oligokitosan adalah kitosan yang diradiasi dengan sinar gama pada dosis 75 kGy. Kitosan adalah polisakarida atau karbohidrat yang dibentuk dari penggabungan molekul monosakarida.
“Oligokitosan dapat digunakan di sektor pertanian atau perkebunan dan peternakan,” kata Darmawan, di Jakarta, Senin (26/3). Untuk sektor pertanian dan perkebunan, oligokitosan memiliki empat fungsi.
Keempat fungsi itu adalah mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produksi tanaman. Selain itu, oligokitosan dapat membasmi penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, jamur, virus, atau bakteri, serta menjadi vaksin agar tanaman sehat. Penggunaan Fitosan juga dinilai lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida ataupun insektisida.
Saat ini, penggunaan oligokitosan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi lada sedang dalam tahap uji coba di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atas kerja sama dengan pemerintah setempat. Uji coba telah dilakukan sejak akhir November 2015.
PAIR-Batan menggunakan oligokitosan produksi sendiri yang lebih dikenal dengan nama merek Fitosan kepada petani di kabupaten tersebut. Petani yang menggunakan Fitosan, dinyatakan melaporkan peningkatan hasil produksi 10 persen dibandingkan dengan yang tidak menggunakan.
Tahun ini, PAIR-Batan baru memulai sosialisasi penggunaan Fitosan kepada petani lada di Lampung. Lampung adalah sentra utama lada nasional.
Cara pembuatan larutan Fitosan dengan takaran 5 persen adalah 50 gram Fitosan dilarutkan dalam 1 liter larutan asam asetat 2 persen. Untuk pemakaian pada tanaman, 1-2 mililiter larutan tersebut dicampur dengan 1 liter air.
Cairan tersebut lalu disemprotkan ke seluruh bagian tanaman, yaitu pada permukaan daun dan batang pada pagi hari, setiap dua minggu sekali. Adapun Fitosan yang disosialisasikan berbentuk bubuk, yang dijual tidak secara komersial seharga Rp 600.000 per kilogram.
Selain lada, penggunaan Fitosan juga diuji coba kepada jenis tanaman lainnya. Misalnya, cabe yang menggunakan Fitosan dapat dipanen hingga 22 kali, sedangkan yang tidak hanya mencapai 10-15 kali dalam satu siklus.
“Dalam satu-dua minggu ini kami akan menjual hak paten Fitosan kepada PT Cepat Hasil Guna,” ujar Darmawan. Penjualan hak paten Fitosan akan membuat produk dapat dijual secara komersial.
Kepala PAIR-Batan Totti Tjiptosumirat menambahkan, masalah penyakit dan hama pada tanaman masih menjadi momok bagi perkebunan lada. Hal tersebut yang merupakan salah satu penyebab turunnya kuantitas dan kualitas produksi lada. Penggunaan Fitosan diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi petani lada Indonesia ketika uji coba dengan pemerintah Kabupaten Bangka Tengah selesai.
Kendati demikian, Totti menyatakan, peningkatan varietas tanaman lada tetap dibutuhkan. Ia menguraikan, Fitosan sebagai makanan untuk tanaman akan lebih memberi dampak yang optimal ketika bibit tanaman yang digunakan juga memiliki kualitas yang baik.
“Tiga hal perlu diperhatikan dalam meningkatkan kualitas pertanian dan perkebunan Indonesia, yaitu pemilihan varietas, tata kelola selama masa tanam, dan penanganan pascapanen,’ tuturnya. Varietas lada dinilai perlu ditingkatkan dari segi ketahanan terhadap hama, penyakit, dan cuaca, serta kuantitas dan kualitas produksi.
Totti mengatakan, potensi untuk memuliakan varietas lada tersedia. Tetapi, pengembangan lada di Indonesia sendiri baru mulai dilirik sejak dua tahun terakhir sehingga belum menjadi fokus utama. Selama ini, tanaman pangan seperti padi dan kedelai yang menjadi prioritas utama, bukan tanaman hortikultura, seperti lada.
Masalah Lampung
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu A Perdana mengatakan, salah satu penyebab lain dari penurunan produksi Lampung sebagai sentra lada nasional adalah karena pengalihan fungsi lahan.
“Ketika itu terjadi, pilihannya ada dua, yaitu berhenti menjadi petani atau mengubah komoditas yang ditanam,” kata Wahyu. Menurut catatan Walhi, peralihan komoditas oleh petani yang menonjol saat ini adalah tebu dan kelapa sawit.
Penyeragaman komoditas sawit dinilai membuat potensi komoditas lain tertutup. Penanaman satu jenis varietas atau monokultur akan mengancam keragaman hayati dan biodiversitas yang dimiliki Indonesia.
Ia menyebutkan, alih fungsi menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) telah mencapai 590.889 hektar, sedangkan Hak Guna Usaha (HGU) yang didominasi sawit dan tebu mencapai 305.682 hektar. Sementara itu, luar Lampung adalah 3,53 juta hektar. “Lebih dari setengah juta sudah diperuntukkan untuk HTI dan konsesi perhutanan,” ujarnya.
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, Robi Cahyadi Kurniawan, dalam siaran pers menyatakan, redupnya potensi Lampung di sektor pertanian dan perkebunan juga disebabkan perubahan pola pikir warga yang beralih dari petani menjadi pegawai negeri sipil.
Adapun Dosen Hukum Agraria Universitas Lampung Tisnanta, menyatakan, pemerintah belum memiliki fokus kebijakan terhadap pengembangan potensi daerah. Menurut dia, selama 4 periode gubernur terakhir, Rencana Pembangunan Jangka Pembangunan Daerah (RPJMD) tidak menyebut apa saja komoditas unggulan Lampung. (DD13)