Pesan Ayah di Seni Grafis Cukil Kayu
Bagi perupa Arief ”Arman” Rachman (37), inspirasi berkarya tidak melulu hal besar, tetapi bisa juga hadir dari hal-hal sederhana. Dalam pameran “Efek Rumah Tangga?” ia menghadirkan pengalaman sebagai seorang ayah, suami, dan kepala rumah tangga dalam bentuk seni grafis cukil kayu.
Pameran yang berlangsung 24 Maret-15 April di Ruru Gallery, Gudang Sarinah Ekosistem (GSE), Jakarta, itu menampilkan 40 karya cukil kayu berukuran 40 sentimeter (cm) x 30 cm, 30 cm x 20 cm, dan satu karya berukuran 2,4 meter x 3,6 meter. Semuanya dipasang di galeri serba putih dengan tata letak seperti di dalam museum. Sebagian besar karya dipasang di panel dinding. Ada pula karya yang diletakkan di atas meja.
Menelusuri seluruh karya Arman seperti menyimak perbincangan seorang ayah kepada anak-anaknya. Ia membuat berbagai adegan, tokoh utamanya selalu dua anak lelaki. Selain caption sebagai penjelasan, setiap karya juga dilengkapi dengan pesan yang ditulis dengan kertas warna-warni.
Pesan di kertas warna-warni itu adalah pesan dari Arman untuk anak-anaknya.
”Pesan di kertas warna-warni itu adalah pesan dari Arman untuk anak-anaknya,” kata kurator pameran ”Efek Rumah Tangga?” di Jakarta, Minggu (26/3).
Di karya berjudul ”Tekstual” terdapat sebuah adegan dua anak lelaki yang tengah bermain di kapal selam. Pada kertas berwarna hijau yang ditempel di sisi kanan bawahnya, Arman menuliskan, “Aku punya tebak-tebakan loh… Ada sebuah kapal, kapal apa yang bisa nyelam? Hayooo jawabannya apa? Kapal selam? Iyak betulll… Mudah bukan? Karena semua pertanyaan yang kita hadapi pasti ada jawabannya.”
Pada rangkaian empat karya berjudul ”Born”, ”Siaga”, ”Mitos”, dan ”Perjalanan itu Pasti”, Arman juga mencukil adegan dalam kehidupannya dalam membangun keluarga, mulai dari pernikahan yang ia gambarkan dengan perjalanan mendaki gunung bersama istri, kesiapsiagaan menjaga istri selama mengandung, hingga kebahagiaan ketika istrinya melahirkan anak.
”Ini cerita tentang pertama kali ayah bertemu dengan ibu, kemudian menikah, ibu mengandung dan melahirkan kami. Cerita itu adalah proses yang berharga dalam hidup kita,” tulis Arman di kertas ungu yang dilengkapi gambar dot bayi.
Puncak dari seluruh karya dan pesan dari Arman untuk anak-anaknya tampak di karya dengan ukuran paling besar berjudul ”Jangan Takut Hidup”. Di karya itu, bukan hanya ada dua anak laki-laki, melainkan juga ada sosok ayah dan ibu. Di tubuh sang ibu tertera kalimat, ”Untuk apa kau berlayar kalau takut gelombang.”
Pesannya yang disampaikan pun terasa memuncak. Di kertas berwarna hijau dengan gambar perahu lipat kertas, Arman menuliskan, ”Jika kamu tidak punya mainan jangan sedih karena mainan bisa kita buat sendiri. Dengan kreativitas yang kamu miliki, segala sesuatunya dapat diwujudkan.”
Pesan tersebut merepresentasikan sikap hidup Arman. Lulusan Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta, 2006, itu memang memilih untuk mewujudkan impiannya dengan kreativitas. Alih-alih menjadi pekerja grafis atau guru seni rupa di institusi formal, ia justru mendirikan komunitas Serrum pada 2006.
Bersama beberapa teman satu jurusan di kampusnya, termasuk MG, ia membangun komunitas yang menghasilkan beragam karya seni kontemporer dengan metode utama kolaborasi. Mereka pun memilih isu pendidikan sebagai konten dari setiap karya.
Kolaborasi
Arman mengatakan, urat nadi karya-karyanya adalah kolaborasi. Oleh karena itu, meski tampilan pameran ”Efek Rumah Tangga?” tak ubahnya sebuah pameran di white cube gallery, ia tak ingin karya-karyanya berbicara satu arah.
Dalam rangkaian pameran tersebut, Arman mengundang lima seniman dan satu komunitas, yaitu Soemantri Gelar, RM Heriwibowo ”Robowobo”, Thepopoh, Haoritsa, John David, dan Grafis Huru Hara. Kelima seniman dengan medium yang berbeda itu diajak membuat karya berdasarkan pameran Arman dala program Seniman Merespons Seniman (SMS).
Gelar membuat video, Robowobo membuat gambar dengan teknik air brush, Haoritsa membuat desain grafis, dan Grafis Huru Hara mencetak karya Arman dalam medium kaus, slayer, dan apron. Kemudian, John yang seorang fotografer juga membuat foto Arman dengan kamera polaroid, sedangkan Thepopoh tentu saja membuat mural.
Pada muralnya, Thepopoh mencetak dua kata berukuran cukup besar, WOOD FILE. Sebanyak dua kata itu pun dilengkapi dengan gambar seorang lelaki berkacamata, menggunakan bandana dari lipatan slayer di dahinya. Thepopoh mengatakan, gambar itu tak lain merupakan sosok Arman.
”Menurut gue, pameran ini merupakan arsip dari karya-karya Arman dalam bentuk cukilan kayu,” kata Thepopoh menjelaskan maksud tulisan WOOD FILE yang ia buat.
Thepopoh sendiri sudah mengenal Arman sejak 2002. Kala itu, mereka sama-sama berkarya dalam pameran berjudul ”Rebel Nation”. Sejak dulu, kata Thepopoh, Arman konsisten dalam membuat seni grafis, antara lain poster dan cukil kayu.
Bagi Arman, berbagai respons dari para seniman itu merupakan proses diskusi dalam pamerannya. Dari diskusi itulah, pemaknaan atas karya dan dirinya tidak tunggal.
Di samping mengajak seniman untuk merespons karyanya, rupanya Arman juga berkolaborasi dengan dua anakya. Hasilnya ada pada karya berjudul ”Tembok Kehancuran”. Arman bercerita, kedua anaknya mengikuti dia saat membuat rancangan gambar.
Anak sulungnya, Nobel, menambahkan frasa tembok kehancuran dengan arah tulisan yang terbalik, khas seni grafis cukil kayu. Kemudian anak bungsunya, Robin, menambahkan beberapa bentuk yang Arman sendiri tidak tahu maknanya.
Akan terus berkarya
Seni grafis dengan berbagai bentuknya memang sudah menjadi bagian dari hidup Arman. Pada 2003, ia menggagas Propagraphic Movement, sebuah gerakan menempelkan karya seni grafis di ruang publik Ibu Kota.
Dalam gerakan itu, ia bersama beberapa seniman grafis Jakarta menyuarakan isu kota dan kondisi sosial dengan medium poster hasil cetak saring, cukil kayu, dan wheat paste hingga 2010.
Setelahnya, ia masih aktif melakukan pameran. Terakhir, ia menjadi salah satu seniman dalam The 6th NBC MESHTECH Tokyo International Screen Print Biennale YURAKUCHOP ASAHI GALLERY, Tokyo, Jepang, 2017.
Meski demikian, selama enam tahun belakangan ia absen mencukil kayu. Sebanyak 41 karya yang saat ini dipamerkan pun merupakan buah dari kerinduannya untuk mencukil.
MG menjelaskan, seluruh karya tersebut ia buat di sela-sela kesibukannya mengurus Serrum dan sebagai Manajer Tempat di Gudang Sarinah Ekosistem. Ke-41 karya itu selesai dalam waktu enam bulan. ”Arman meluangkan waktu selama dua jam setiap hari, di atas jam 20.00, untuk mencukil,” kata MG.
Menurut MG, karya Arman kali ini berada di luar pakem seni grafis cukil kayu. Disiplin seni tersebut semestinya diselesaikan dengan mencetakkan cukilan di atas kain. Namun, karya-karya Arman sudah dipamerkan meski masih dalam bentuk cukilan di atas tripleks.
”Gue kangen mencukil, bukan mencetak,” kata Arman. Bagi dia, mencetakkan cukilan pada medium yang lain merepresentasikan akhir dari sebuah karya. Sementara itu, ia belum ingin karyanya berakhir.
”Bagi gue, bekerja itu ibadah, kalau ditambahkan berkarya, kita jadi mulia,” kata Arman. Ia mengatakan, kiprah puluhan karya cukil kayu ini masih akan berlanjut dalam bentuk lain. Begitu juga pesan-pesan untuk kedua anaknya belum akan berhenti meskipun pameran telah usai.