JAKARTA, KOMPAS – Ancaman kriminalisasi terhadap perempuan dan anak serta kelompok rentan yang masih tercantum dalam sejumlah pasal di Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana mendorong perempuan-perempuan di berbagai daerah bergerak. Hanya dalam waktu sepuluh hari, terkumpul lebih dari 1.300 tanda tangan sebagai petisi “Tunda Pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana’”.
Petisi tersebut ditandangani baik individu (mayoritas perempuan dan ibu-ibu rumah tangga) dan organisasi masyarakat sipil. Melalui petisi tersebut Masyarakat Sipil Peduli Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-HP) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo, menunda Pengesahan RUU-HP yang saat ini dalam proses pembahasan di DPR.
Sampai pengumpulan tandatangan petisi ditutup, Senin (26/3) jumlah tanda tangan yang dikumpulkan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mencapai 1.307 dukungan, terdiri dari dukungan individu sebanyak 1.215 tandatangan dan 92 organisasi masyarakat sipil.
“Sebanyak 90 persen individu yang menandatangani petisi tersebut adalah perempuan, dan sebagian besar adalah perempuan di akar rumput. Itu artinya masyarakat, khususnya perempuan, tidak hanya di Jakarta tetapi di luar Jakarta sangat menyadari bahwa substansi RUU HP akan merugikan perempuan dan anak-anak,” ujar Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, KPI, Indry Oktaviani, Senin petang.
Sebanyak 90 persen individu yang menandatangani petisi tersebut adalah perempuan
Menurut Indry, dari total tanda tangan petisi dari individu sebanyak 1.215 hampir 90 persen (1.118 tanda tangan) dukungannya dari luar Jakarta. Sisanya sebanyak 127 tanda tangan dari Jakarta.
Besarnya dukungan dari para perempuan-perempuan di akar rumput seharusnya menjadi perhatian dari DPR dan Presiden Jokowi betapa masyarakat sangat mengkhawatirkan RUU HP tersebut jika disahkan menjadi undang-undang.
“Karena itulah dalam petisi tersebut kami berharap Presiden Jokowi atau pemerintah menarik diri dari pembahasan-pembahasan selanjut RUU HP tersebut. Tunda pengesahan RUU HP, dan selanjutnya perlu dilakukan konsultasi secara meluas di berbagai wilayah dan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat,” kata Indry.
Pengalaman perempuan
Selain setiap orang berpotensi menjadi pelaku atau pun korban tindak pidana, alasan perempuan-perempuan Indonesia menyampaikan petisi tersebut kepada DPR dan Pemerintah, karena perumusan RUU HP yang ada saat ini masih belum mempertimbangkan pengalaman perempuan, anak, kaum disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan. Hal itu terlihat dari beberapa pasal dalam RUU-HP yang berpotensi kriminalisasisan perempuan, anak, disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan.
Misalnya, Pasal 484 ayat (1) huruf e mengatur perluasan zina yang memberikan peluang terjadinya overkriminalisasi terhadap perempuan. Ada juga Pasal 488 tentang pemidanaan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi orang yang sudah terikat perkawinan namun belum dianggap sah oleh negara karena berbagai hambatan dan persoalan pemenuhan hak pencatatan yang belum dipenuhi negara.
Oleh karena itu, menurut Indry, pengesahaan RUU HP harus ditunda DPR dan pemerintah jika pasal-pasal yang berpotensi kriminalisasi perempuan, anak, dan kelompok rentan masih tercantum. Penundaan pengesahan dengan melakukan kajian mendalam akan lebih baik, agar negara tidak semakin boros karena banyaknya peluang uji materi jika nantinya disahkan sebagai UU. “Rencananya petisi ini segera kami serahkan ke Komisi III DPR dan Presiden Jokowi,” kata Indry.
Aksi perempuan di daerah Evany Claura, Sekretaris KPI Wilayah Aceh menegaskan, perempuan-perempuan di akar rumput menandatangani petisi tersebut karena mereka belum sepakat dengan isi dari RUU HP yang dibahas DPR saat ini.
“RUU tersebut belum partisipatif, belum melindungi dan berdampak pada unsur masyarakat yakni kelompok perempuan, disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan,” ujar Evany yang menyatakan kelompok perempuan di daerah juga melakukan kajian-kajian atas pasal-pasal di RUU HP melalui diskusi di balai perempuan.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati mengapresiasi dukungan yang besar dari perempuan atas petisi tersebut. Menurut dia, petisi yang meminta penundaan pengesahan RUU HP lahir karena setelah masukan-masukan yang disampaikan berkali kali oleh organisasi perempuan, sampai sekarang draft dalam RUU tersebut belum menggambarkan sebagai pembaharuan RUU HP.
“Misalnya, kebutuhan korban mendesak dipenuhi, sementara pihak yang berkompeten belum meminta masukan korban/keluarga,sementara pendapat tempat korban melakukan pengaduan direspon untuk ditolak,” kata Nurherwati.
Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala menyatakan dengan menunda pengesahan RUU HP, pemerintah bisa melakukan kajian ulang terhadap aspek-aspek pidana terkait dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. “Pemerintah dan DPR perlu melihat sejauh mana pengaturan dalam RUU HP sejalan dengan HAM dan melindungi hak konstitusional warga negara (termasuk perempuan) atau justru menjadikan warga negara (perempuan) terbelenggu hak-haknya,” katanya.
Karena itulah pelibatan suara dan pengalaman perempuan, anak, dan kelompok rentang menjadi penting karena tanpa pelibatan yang signifikan dari kelompok tersebut, RUU HP di kemudian hari hanya akan menimbulkan masalah, baik dari segi proses legislasi maupun substansi hukum. (SON)