Pengojek Daring Desak Perusahaan Naikkan Tarif Dasar yang Terlalu Rendah
JAKARTA, KOMPAS - Rendahnya nilai tarif dasar dan ketiadaan payung hukum penyelenggaraan ojek dalam jaringan merugikan pengojek. Mereka mendesak pemerintah agar menekan perusahaan mengubah kebijakannya. Namun, revitalisasi angkutan umum dinilai lebih perlu diprioritaskan ketimbang ojek dalam jaringan.
Pengojek dalam jaringan (daring) yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda) mendesak perusahaan untuk menaikkan tarif dasar perjalanan. Tarif dasar yang diberlakukan saat ini dinilai tidak bisa menyejahterakan pengojek.
Pegiat Garda yang juga pengojek daring Go-Jek Badai di Jakarta, Rabu (27/3), mengatakan, tarif dasar ojek dalam jaringan terlalu rendah. Saat ini ia mendapatkan bayaran Rp 2.000 per kilometer dari Go-Jek. Namun, nilai itu masih akan dipotong 20 persen sebagai ongkos operasional ke perusahaan.
Potongan 20 persen dari tarif dasar tersebut juga berlaku di perusahaan lainnya, yaitu Grab. Contohnya, dalam perjalanan bertarif Rp 10.000 yang dibayarkan dengan uang elektronik, yang masuk ke akun sopir adalah Rp 8.000 sedangkan Rp 2.000 sisanya, masuk ke perusahaan.
"Tarif dasar ojek daring saat ini sudah tidak manusiawi," kata Badai seusai unjuk rasa dengan 9.000 sopir ojek lainnya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (27/3).
Menurut Badai, Go-Jek pernah memberlakukan tarif dasar sebesar Rp 4.000 per kilometer pada masa awal peluncurannya. Namun, harga tersebut diturunkan sejak Grab menurunkan tarif dasar menjadi Rp 2.500 beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, kata Badai, terjadi persaingan harga yang merugikan pengojek.
Kerugian itu dirasakan oleh Hari Sanjaya, pengojek Grab Bike yang tergabung dalam Paguyuban Revolusi Klender. Menurut Hari, persaingan harga juga memunculkan ragam promosi. Salah satunya, pada pagi hari, potongan harga Grab Bike bisa mencapai 90 persen. Penumpang pun bisa membayar hanya Rp 1.000 untuk perjalanannya secara kontan.
Ia menambahkan, perusahaan memang akan mengirimkan uang seharga tarif normal ke akun pengojek. Namun, mereka membutuhkan uang secara kontan untuk biaya operasional. "Kami tidak masalah dengan harga promosi jika perusahaan juga menyediakan pom bensin khusus dengan harga promosi juga," kata Hari.
Badai menjelaskan, penerapan beragam harga promosi tersebut tidak pernah diberitahukan kepada pengojek.
Padahal, perusahaan memosisikan mereka sebagai mitra. Artinya, menurut Badai, mereka laik untuk diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di perusahaan.
Kebijakan pengubahan harga yang dapat terjadi sewaktu-waktu itu juga berdampak pada penurunan pendapatan pengojek. Hari mengatakan, pada 2015, penghasilannya berkisar antara Rp 300.000 dan Rp 400.000 dalam sehari. Akan tetapi, saat ini penghasilannya paling banyak Rp 150.000 per hari.
Di samping uang kontan yang sulit didapatkan, beragam bonus yang ditawarkan perusahaan pun kian tak terjangkau. Juki, pengojek Go-Jek asal Kota Tangerang mengatakan, dalam sehari, Go-Jek menyediakan bonus maksimum Rp 200.000 bagi setiap pengojek.
Syaratnya, pengojek harus mengumpulkan sejumlah poin dan memenuhi standar performa minimum. Keduanya dilihat dari jumlah perjalanan yang mampu dilakukan per hari.
"Sudah dua bulan saya tidak mendapatkan bonus," ujar Juki.
Menurut Juki, kondisi lalu lintas yang macet tidak memungkinkan untuk melakukan sejumlah trip. Selain itu, saat ini Go-Jek juga tidak merancang pengojek prioritas pada beragam layanannya, antara lain Go-Food, Go-Send, dan Go-Mart. Akibatnya, seluruh pengojek Go-Jek berebut mendapatkan pesanan dari berbagai layanan.
"Sebelumnya, ada pengojek prioritas di setiap layanan, itu dilihat dari rekam jejak mereka lebih banyak berkegiatan di layanan yang mana," ucap Juki.
Selain dari segi kesejahteraan yang terus menurun, pengojek daring juga merasa tidak aman. Status mereka sebagai tenaga kerja tidak dijamin secara hukum. Badai mengatakan, keselamatan mereka dalam berkendara pun tidak dijamin dengan jelas oleh perusahaan.
Unjuk rasa
Beragam kebijakan perusahaan yang merugikan para pengojek mendorong mereka untuk berunjuk rasa di depan Istana Merdeka. Para pengojek yang tergabung dalam Garda berjumlah 9.000 orang yang berasal dari berbagai daerah. Mulai dari Jabodetabek, Cirebon, Jawa Barat, Cilegon, Jawa Barat, hingga Lampung.
Mereka memenuhi jalan Medan Merdeka Barat selama lima jam. Meski cuaca berubah-ubah mulai dari sejuk, terik, hingga hujan lebat, mereka tetap menduduki tiga lajur jalan, hanya lajur khusus bus TransJakarta yang dibiarkan kosong. Selama itu pula, lalu lintas di Jalan Medan Merdeka Barat lumpuh, hanya bus TransJakarta yang bisa tetap beroperasi.
Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat Komisaris Besar Roma Hutajulu mengatakan, ribuan polisi diturunkan untuk mengamankan wilayah sekitar Jalan Medan Merdeka Barat. Di seluruh sisi barisan pengunjuk rasa pun diletakkan kawat berduri.
Polisi juga menngalihkan jalan. Pengendara dari Jalan Medan Merdekat Barat yang mengarah ke Istana Merdeka diarahkan untuk melalui Jalan Medan Merdeka Timur.
Badai mengatakan, unjuk rasa di depan Istana dilakukan agar pemerintah mendesak perusahaan memenuhi tuntutan mereka. "Tuntutan kami hanya dua, yaitu menaikkan tarif dasar menjadi minimal Rp 3.500 per kilometer dan membuat payung hukum untuk ojek daring," ujarnya.
Titik terang
Sembari berunjuk rasa, Garda juga mengirimkan perwakilannya untuk menemui pemerintah, salah satunya Badai. Badai menjelaskan, ketika memasuki Istana, mereka diarahkan untuk berpindah ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub) karena Istana sedang digunakan untuk pelantikan pejabat.
Di Kemenhub, mereka menemui Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi, perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta perwakilan perusahaan Go-Jek dan Grab. Mereka membahas ihwal kedua tuntutan para sopir.
"Perusahaan mengabulkan tuntutan kami, mereka akan menaikkan tarif dasar dalam waktu tujuh hari," kata Badai. Sebelum tujuh hari tersebut, perusahaan juga akan mengadakan pertemuan dengan para sopir untuk mendiskusikan konsep kenaikan tarif dasar.
Badai mengatakan, konsep yang diajukan sopir adalah menaikkan tarif dasar dari Rp 2.000 per kilometer menjadi Rp 3.500 per kilometer tanpa potongan 20 persen. Selain itu, mereka juga ingin skema pemberian bonus dengan penghitungan poin, performa sopir dihapuskan.
"Kami tidak memerlukan bonus, cukup tarif dasar saja dibuat seragam," kata Ketua Gograber Indonesia Maung.
Sementara beberapa pengojek berdiskusi di Kemenhub.
Para pengojek yang lain juga diterima Presiden Joko Widodo di Istana. Rahmat, salah satu pengojek yang ikut menemui presiden mengatakan, presiden memerintahkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk menangani permasalahan ojek daring.
"Presiden meminta langsung kepada Menhub untuk memanggil perusahaan ojek daring, Kamis (28/3), untuk menyelesaikan masalah ini," kata Rahmat. Pertemuan akan dilaksanakan di Istana dan difasilitasi oleh Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko.
Menurut Maung, salah satu hal yang akan mereka bicarakan adalah ihwal pembuatan payung hukum ojek daring. Selain dengan pemerintah, Garda juga akan menginisiasi pertemuan dengan Komisi V DPR.
Ketegasan pemerintah
Secara terpisah, Ahli Transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan, kehadiran ojek daring memunculkan banyak persoalan, terutama karena mereka tidak termasuk dalam kategori angkutan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perusahaan mengambil banyak keuntungan yang tidak hanya merugikan pengojek tetapi juga masyarakat yang menggunakannya.
"Tidak ada jaminan keselamatan dan keamanan bagi para sopir dan penumpang dari perusahaan," ujarnya. Sementara, hal tersebut merupakan prinsip dasar dari angkutan umum.
Peneliti transportasi dari Institut Studi Transportasi (Intrans) Deddy Herlambang mengatakan, pemerintah harus bersikap tegas terhadap keberadaan ojek daring. Sebab, hingga saat ini susah ada 2,5 juta pengojek daring. "Jika pemerintah ingin melindungi masyarakat dari segi keamanan, maka harus jelas ojek daring ini mau dilarang atau dilegalkan," kata Deddy.
Pelegalan ojek daring, lanjutnya, membutuhkan regulasi. Regulasi paling cepat bisa dibuat dalam bentuk peraturan presiden, karena ihwal ojek daring juga melibatkan Kemenhub dan Kemenkominfo. Akan tetapi, pembuatan regulasi juga akan bermasalah karena tidak ada referensi undang-undang yang menaungi bahwa ojek daring merupakan bagian dari transportasi umum.
"Saat ini ojek daring seperti bola liar, karena jumlahnya sangat banyak dan tidak diatur," kata Deddy. Jumlah mereka yang tidak dibatasi pun menambah persoalan kemacetan.
Oleh karena itu, menurut Djoko, pemerintah harus segera beranjak. "Pemerintah semestinya justru fokus pada revitalisasi angkutan umum," kata Djoko. (DD01)