Pemerintah Harus Konsisten Jalankan Reforma Agraria
JAKARTA, KOMPAS — Konsistensi pemerintah dalan menjalankan reforma agraria diperlukan. Pemerintah seharusnya tidak hanya sebatas membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat yang telah memiliki lahan, tetapi juga redistribusi lahan bagi masyarakat yang belum memiliki tanah. Selain itu, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 juga perlu diperkuat dengan adanya peraturan presiden terkait reforma agraria.
Reforma agraria adalah program pemerintah untuk mengurangi ketimpangan karena ada segelintir orang yang menguasai tanah begitu luas, sementara ada masyarakat yang tidak dapat memanfaatkan tanah.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menjelaskan, upaya pemerintah dalam membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat yang memiliki tanah perlu diapresiasi.
”Namun, reforma agraria tidak hanya sebatas itu, harus mengakomodasi juga kepentingan masyarakat yang belum memiliki tanah,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Menurut Iwan, Presiden Joko Widodo telah menjanjikan 9 juta hektar lahan untuk dijadikan obyek reforma agraria. Ada dua skema reforma agraria yang ditetapkan pemerintah, yaitu redistribusi lahan bagi masyarakat yang belum memiliki tanah dan pembagian sertifikat tanah.
”Dari 9 juta hektar lahan itu, dibagi menjadi dua, yaitu 4,5 juta hektar untuk redistribusi dan sisanya untuk disertifikasi. Kenyataannya hingga saat ini, baru sekitar 300.000 hektar lahan yang diredistribusi pemerintah,” katanya.
Jika nilai jual obyek pajak (NJOP) paling rendah sekitar Rp 15.000 per meter dan dikalikan 9 juta hektar, nilai yang bisa dirasakan masyarakat sebesar Rp 1.350 triliun.
Iwan menjelaskan, jika pemerintah mampu menjalankan program ini, masyarakat akan merasakan nilai tanah yang cukup besar. ”Jika nilai jual obyek pajak (NJOP) paling rendah sekitar Rp 15.000 per meter dan dikalikan 9 juta hektar, nilai yang bisa dirasakan masyarakat sebesar Rp 1.350 triliun,” ujarnya.
Praktisi antropologi dan peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yando Zakaria, menuturkan, upaya pemerintah harus segera melakukan tahapan lanjutan selain pembagian sertifikat tanah.
”Saat ini, sudah ada 6,5 juta sertifikat tanah yang dibagikan kepada masyarakat. Ini merupakan pencapaian besar dibanding program reforma agraria di pemerintahan sebelumnya dari sisi kuantitas,” katanya.
Reforma agraria merupakan salah satu program yang sulit dijalankan oleh sejumlah rezim pemerintah. Yando mengatakan, pemerintah seharusnya sudah mulai membatasi hak guna usaha (HGU) perusahaan besar yang memonopoli lahan dengan tidak memperpanjang HGU yang sudah hampir habis.
”Permasalahannya adalah saat pemerintah sudah memiliki kebijakan, tetapi aparatur negaranya tidak mampu menjalankan kebijakan tersebut karena keterbatasan regulasi,” ujarnya.
Yando menjelaskan, peraturan presiden (perpres) yang mengatur reforma agraria harus segera dibentuk agar konsistensi reforma agraria bisa berjalan. Perpres ini juga bertujuan memperkuat Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) Tahun 1960.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menjelaskan, segelintir pengusaha dan elite politik ingin merevisi UU PA. Hal ini dikarenakan para elite politik memiliki kepentingan terkait UU ini.
”UU PA ini memiliki nilai sosial yang tinggi, yang menyulitkan para pengusaha dan para elite politik ini untuk memonopoli lahan. Oleh sebab itu, banyak yang ingin merevisinya,” ujarnya.
Peraturan presiden (perpres) yang mengatur reforma agraria harus segera dibentuk agar konsistensi reforma agraria bisa berjalan. Perpres ini juga bertujuan memperkuat Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) tahun 1960.
Iwan mengatakan, UU PA ini seharusnya direvisi untuk memdetailkan tiap isinya, bukan mengubah esensinya. ”Detail-detail seperti sistem kepengurusan dan sertifikasi tanah harus diperjelas nantinya jika UU ini direvisi. Bukannya malah mengganti esensinya sehingga masyarakat asing boleh memiliki lahan di negeri ini,” katanya.
Yando mengatakan, program reforma agraria masih visibel untuk dilaksanakan. ”Melihat timpangnya kepemilkan lahan ini, seharusnya political will pemerintah harus semakin kuat untuk menjalankan program,” ujarnya.
Permasalahan tiap rezim
Yando menjelaskan, masalah reforma agraria ini merupakan masalah menahun yang telah menumpuk dan menimbulkan sejumlah konflik agraria.
”Sejumlah masalah sangat terasa, khususnya bagi masyarakat adat yang merasa memiliki lahan, namun lahannya malah dimonopoli oleh pengusaha,” katanya.
Sejumlah masalah sangat terasa, khususnya bagi masyarakat adat yang merasa memiliki lahan, namun lahannya malah dimonopoli oleh pengusaha.
Iwan mengatakan, sebenarnya reforma agraria ini sudah dicanangkan sejak zama pemerintahan Soekarno dengan sistem land reform dan menciptakan sistem pertanian bagi masyarakat.
”Soekarno membentuk Institut Pertanian Bogor agar membentuk ahli serta pakar yang dapat memanfaatkan lahan untuk pertanian serta membentuk UU PA,” ujarnya.
Namun, sistem tersebut harus runtuh pada era Orde Baru, sistem land reform dianggap sebagai salah satu paham komunis. Iwan mengatakan, Presiden Soeharto juga sempat melakukan pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat. ”Pembagian tersebut dilakukan di kota-kota seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Karawang,” ucapnya.
Iwan menjelaskan, setelah pembagian sertifikat, masyarakat malah menjual lahan tersebut ke pengusaha. ”Sehingga banyak pabrik dan perumahan di daerah tersebut, masyarakat yang tadinya memiliki sertifikat malah jadi terpinggirkan,” ucapnya.
Hal ini yang perlu diantisipasi dalam program pembagian sertifikat tanah oleh pemerintah. Dewi mengatakan, reforma agraria ini memiliki empat tahapan yang harus dilaksanakan supaya bisa berjalan optimal.
Tahapan pertama adalah pendataan lahan yang digunakan, baik oleh individu serta perusahaan. ”Hal ini untuk melihat seberapa besar ketimpangan yang terjadi sehingga pemerintah bisa efisien dalam membagi lahan untuk masyarakat,” ujarnya.
Kemudian, tahapan kedua adalah bagian penataan ulang dengan merombak struktur kepemilikan lahan serta pembagian lahan (redistribusi). Tahapan ketiga adalah proses sertifikasi lahan.
”Tahapan keempat adalah program penunjang bagi masyarakat agar mereka bisa mengelola lahan yang telah dimiliki, seperti pemberian kredit usaha hingga pemberian pupuk untuk modal bagi mereka yang ingin bertani,” katanya.