Kemampuan Para Pekerja Menjadi Kunci
Hadirnya teknologi baru perkeretaapian di Indonesia diharapkan diikuti dengan kemampuan perawatan.
BEKASI, KOMPAS -Pembangunan dan perawatan jalur rel sebaiknya terintegrasi. Langkah ini untuk memudahkan tenaga perawat prasarana perkeretaapian untuk memahami infrastruktur yang mereka tangani.
John Echter, konsultan keamanan jalur rel dari Railtrack Safety Consultancy di Huissen, Belanda, mengatakan, pekerja perawatan jalur rel seharusnya dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan rel. Terutama, bila teknologi itu baru diterapkan.
“Tujuannya, agar mereka mengenal dan bisa mempelajari jalur rel. Selain itu, bilamana ada saran untuk perbaikan saat pembangunan, bisa diakomodasi,” kata John, Senin (26/3) di sela-sela kuliah umum di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) di Bekasi.
Ahli dari Belanda dihadirkan Indonesia Transportation Forum (ITF) selaku penyelenggara di kuliah umum ini karena Belanda memiliki sistem perkeretaapian modern sekaligus tingkat keselamatan dan kenyamanan yang tinggi.
Di Belanda, ada institusi untuk memelajari aspek jalan rel. Bila ada komponen, mesin, atau teknologi baru, mereka belajar bersama. Proses pembelajaran melibatkan pabrik yang membuat barang itu.
John juga menekankan pentingnya kedisiplinan dalam proses perawatan jalan rel. Setiap orang harus tahu betul apa yang menjadi tugasnya dan bagaimana itu bisa dijalankan.
Ia juga menyarankan agar ada lembar pemeriksaan untuk setiap pengawasan. Dalam proses pengawasan, setiap penanggung jawab harus membuat laporan yang detail dan membubuhkan tanda tangan di lembar pemeriksaan sebagai tanda bahwa ia bertanggung jawab dalam bidang pemeliharaan di sektor tersebut.
Dengan demikian, bila terjadi sesuatu di unit itu, penanggung jawab jelas dan bisa dimintai pertanggungjawaban.
Pemeriksaan acak oleh atasan juga perlu dilakukan untuk memastikan perawatan berlangsung baik di lapangan.
Selain itu, alokasi dana pemeliharaan yang besar akan membantu prasarana perkeretaapian ini bertahan lebih lama. Penggantian prasarana pun bisa dilakukan setelah masa pakai prasarana optimal.
John percaya, alokasi perawatan yang lebih besar akan menjadi murah ketimbang biaya perawatan minim namun membuat usia prasarana itu sangat pendek. Usia prasarana yang pendek mengharuskan penggantian prasarana sebelum masa pakai prasarana itu optimal.
Peter Lagendijk, pemilik perusahaan pendukung dan konsultan Peter Spoort, mengatakan, operasional kereta api memungkinkan dilakukan 24 jam tanpa perawatan harian.
"Hanya, operator mesti punya jadwal perawatan berkala. Saat perawatan, jalur harus ditutup. Untuk masa perawatan besar, misalnya sekali dalam lima tahun, operasional kereta api di jalur itu ditutup 24 jam. Penumpang pun dialihkan dengan menggunakan bus yang disediakan operator," katanya.
Ia juga menyarankan ke operator kereta api yang memiliki jalur kereta api yang luas dengan medan beragam, untuk memiliki spesifikasi atas setiap prasarana. Sebagai contoh, rel layang, rel terowongan, atau rel di daerah khusus.
Mereka yang memiliki spesialisasi perawatan rel ini juga sebaiknya turut serta dalam proses desain dan pembangunan jalur rel. Sama seperti John, langkah ini dimaksudkan untuk membuat para pengawas ini memahami betul kondisi infrastruktur yang akan ditanganinya.
Leo Haring, Direktur HLR Consultancy di Hague, Belanda, mengatakan, pengetahuan tentang kereta dan sistem yang akan dioperasikan menjadi penting. "Kita harus tahu, apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan," katanya.
Pembangunan jaringan kereta ringan, menurut Leo, merupakan proses berkelanjutan yang melibatkan banyak pihak. Setiap pihak kemungkinan memiliki kepentingannya masing-masing.
Untuk mewujudkan LRT sesuai kepentingan publik, regulasi yang detail amat dibutuhkan, terutama di bidang keselamatan.
Agar aman, Leo menyarankan untuk menggunakan teknologi yang sudah teruji dan digunakan di banyak tempat.
"Jangan menyalin sistem LRT lain, tetapi kita harus mencari kemungkinan lain yang cocok untuk situasi lokal kita," katanya.
Untuk itu, Leo mengaku tidak sepenuhnya setuju dengan saran sejumlah ahli yang mengadopsi sistem dari negara mereka untuk diterapkan di Indonesia. Tenaga dari Indonesia yang seharusnya paling memahami kebutuhan dan situasi di dalam negeri.
Ia menambahkan, jalinan hubungan dengan operator lain termasuk operator mancanegara, penting untuk meningkatkan pembangunan, teknologi, dan operasional perkeretaapian. Kebutuhan pendampingan teknis dan mendapatkan suku cadang juga bisa dipenuhi dengan hubungan yang baik dengan berbagai pihak.
Ikuti perkembangan
Ketua Jurusan Perkeretaapian STTD I Made Suraharta mengatakan, pihaknya memperbaharui materi ajar di sekolah, sesuai dengan perkembangan teknologi perkeretaapian di dalam negeri.
"Seperti LRT yang akan dioperasikan di Jakarta, kamipun mengadopsinya dalam pembelajaran meskipun baru sebatas teori di kelas," katanya.
STTD Jurusan Perkeretaapian memiliki laboratorium terkait sarana, prasarana, dan operasional perkeretaapian. Made mengatakan, sekolah ini didesain awal untuk menyiapkan tenaga perencana operasi perkeretaapian. Dalam perjalanannya, sekolah ini mengajarkan berbagai aspek perkeretaapian. Alumnusnya pun bekerja di berbagai sektor di dua perkeretaapian. Setiap siswa, menurut Made, langsung terserap ke dunia kerja karena besarnya kebutuhan tenaga kerja di sektor perkeretaapian.
Ketua Umum Masyarakat Perkeretaapian Hermanto Dwiatmoko mengatakan, untuk menunjang keselamatan operasional kereta api di Indonesia, pemerintah tengah menyiapkan panduan untuk operator.
"Ditjen Perkeretaapian tengah menyiapkan sistem manajemen keselamatan perkeretaapian (SMKP)," kata Hermanto yang juga turun menyiapkan SMKP.
SMKP ini mengatur berbagai macam hal, seperti penanganan bilamana ada kondisi darurat, tenaga kerja, dan manajemen risiko. "SMKP ini menjadi janji direksi (operator) untuk menjaga keamanan, keselamatan, dan budaya berkeselamatan," ucapnya.
Rencananya, SMKP akan menjadi bagian dari izin operasional setiap kereta api yang akan beroperasi.