Kebanjiran Materi Film, LSF Usulkan Gerakan Sensor Mandiri
Oleh
Aloysius B Kurniawan
·3 menit baca
Kompas/Aloysius B Kurniawan
Ketua Lembaga Sensor Film Ahmad Yani Basuki
JAKARTA, KOMPAS -- Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang berkembang kian pesat, Lembaga Sensor Film menekankan kepada masyarakat tentang pentingnya sensor mandiri. Kapasitas sumber daya manusia LSF yang sangat terbatas tidak akan mampu menyaring "serbuan" konten perfilman yang setiap hari terus-menerus bertambah.
Selama tahun 2017, Lembaga Sensor Film menyensor sekitar 46.000 meteri yang terdiri dari film-film bioskop, acara televisi, iklan, dan sebagainya. Jumlah ini belum termasuk film-film lain yang beredar secara masif melalui media-media streaming, media sosial, serta aneka platform digital lainnya.
"Jumlah kami sangat terbatas, hanya 16 orang. Karena begitu banyaknya materi, maka kami merekomendasikan sensor mandiri dari para pelaku perfilman juga masyarakat umum agar bisa memilah dan memilih film yang berkualitas,"kata Ketua LSF, Ahmad Yani Basuki di sela diskusi "Efektivitas Mekanisme Dialogis dalam Sensor Mandiri" yang digelar LSF, Senin (26/3) di Jakarta.
Senada dengan Ahmad, Ketua Komisi I Penyensoran dan Dialog LSF, Imam Suhardjo, mengakui, negara tidak akan mampu menjangkau pengawasan seluruh materi perfilman. Selain keterbatasan personil, LSF juga tak memiliki alat dan waktu yang cukup untuk mengawasi semuanya.
Untuk menggalakkan gerakan sensor mandiri, LSF menggandeng Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, LSF juga menggelar sosialisasi di seluruh Indonesia dengan muatan utama sensor film, bukan lagi sekedar pengenalan kebijakan/aturan.
"Selain sebagai hiburan, film juga berfungsi ganda menjadi alat penetrasi budaya. Bangsa yang lemah komitmen budayanya akan mudah dipengaruhi oleh budaya asing. Perlindungan budaya hanya dapat dilakukan dengan membangkitkan kesadaran internal warga masyarakat," paparnya.
Kompas/Aloysius B Kurniawan
Diskusi "Efektivitas Mekanisme Dialogis dalam Sensor Mandiri" yang digelar LSF, Senin (26/3) di Jakarta
Persoalan keamanan
Direktur Pusat Riset Kerja Sama Eropa Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Henny Saptatia Drajati Nugrahani mengungkapkan, saat ini ada lima hal yang dianggap sebagai ancaman global, yaitu kelaparan dan kemiskinan, kesehatan global, ketidakadilan, perubahan iklim, dan terorisme serta ekstrimisme.
"Di zaman sekarang ini, aman atau tidak aman bukan sekadar persoalan kesiapan militerisme atau ketersediaan aparat keamanan, tetapi juga soal keamanan kebudayaan. Perancis menganggap film sebagai ekspresi kebudayaan dan tidak peduli apakah (di sana) ada ekspresi ekonomi di dalamnya sehingga Perancis sangat protektif dan tidak mau menonton film-film yang tidak disaring karena akan menghancurkan budayanya," kata dia.
Di tengah beban ekonomi yang berat, Uni Eropa konsisten mengalokasikan dana kohesi atau uang untuk negara-negara anggotanya. Ada tiga hal yang dialokasikan, yaitu pertama untuk pembinaan dan peningkatan kualitas profesi perfilman, teknologi perfilman, dan dana produksi film.
Dosen komunikasi London School of Public Relations, Joe Harrianto Setiawan, menambahkan, karena mengatur soal nilai, maka LSF harus terus-menerus membangun kultur dialog dengan para pelaku perfilman. Produser film, Ody Mulya Hidayat membenarkan pentingnya LSF membangun dialog dengan para pelaku industri perfilman.
"Teman-teman sutradara kadang berprinsip apa yang mereka buat merupakan kebebasan berekspresi. Karena itu mereka membuat dulu dan baru melakukan pembenahan ketika disensor. Ini terlalu berat," ujarnya.