Saksi: Macetnya Visa Penyebab Calon Jemaah First Travel Gagal Umrah
DEPOK, KOMPAS - Visa yang tidak disetujui disebut sebagai salah satu penyebab PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel gagal memberangkatkan sejumlah calon jemaahnya. Hingga saat ini, pimpinan First Travel masih berutang Rp 500 juta pada salah satu penyedia jasa mengurus visa.
Sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi itu digelar di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Senin (26/3). Ketua Majelis Hakim Sobandi memimpin sidang serta Teguh Arifiano dan Yulinda Trimurti Asih turut mendampingi sebagai hakim anggota.
Ada 13 saksi yang memberikan keterangan sehingga sidang dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama didominasi oleh mantan karyawan First Travel, sedangkan sesi kedua didominasi oleh vendor.
Tiga terdakwa yang terdiri dari Direktur Utama First Travel Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan serta Direktur Keuangan First Travel Kiki Hasibuan atau Siti Nurhaida Hasibuan hadir dalam sidang. Sidang dimulai sekitar pukul 10.30 dan berlangsung kira-kira selama delapan jam.
Dalam kesaksiannya, Annissa Zulfida Umasugi atau Ica, mantan analis bisnis First Travel mengatakan, salah satu syarat visa dapat diterbitkan adalah adanya tiket. Sejumlah visa tidak dicap oleh Kedutaan.
Hakim Yulinda bertanya, "Kenapa tidak dicap?"
"Masalah kedutaan (kedutaan besar Arab Saudi). Tiket sidah ada. Namun, kedutaan tutup tanpa pemberitahuan," ujar Ica.
Terkait visa tersebut, Andika bertanya pada Ica saat diberi kesempatan oleh majelis hakim, “Apakah Anda tahu tentang boikot visa yang terjadi pada First Travel?”
“Tahu dari provider,” ucap Ica.
Kendala visa ini juga diketahui oleh Radhitya Arbenvisar Sadiqien, mantan kepala divisi legal First Travel yang turut bersaksi pada sesi pertama sidang. Menurutnya, visa tidak dicap dan tidak diterbitkan itu berkaitan dengan aturan yang terbit pada 2016 dan menyebutkan penyedia jasa perjalanan umrah harus tergabung dalam asosiasi. Saat itu First Travel tidak bergabung dengan asosiasi apapun.
Wawan Ardianto, kuasa hukum terdakwa, bertanya pada Radhitya, “Anda membantu proses akuisisi First Travel dengan travel lainnya? Apa tujuannya?”
“Ya, dengan travel umrah. Tujuannya agar bisa didaftarkan sebagai provider visa. Ini usul dari Andika (terdakwa),” katanya. Adapun salah satu penyedia jasa perjalanan umrah yang diakuisisi bernama Interculture Tourindo.
Pada sesi kedua sidang, Jubaidah (44), General Manager di salah satu usaha vendor visa, mengatakan, pengajuan visa ke Kedutaan Arab Saudi ke pihaknya maksimal satu bulan sebelum keberangkatan. Lebih dari itu tidak bisa.
Biaya yang dikenakan untuk jasa mengurus visa tersebut berkisar 67 – 75 dollar Amerika Serikat atau Rp 800.000 – Rp 900.000 per calon jemaah. Jubaidah mengatakan, pihak First Travel berutang padanya sekitar Rp 500 juta.
Teguh bertanya, “Sejak kapan Anda menjalin kerja sama visa ini?”
“Sejak 2015. Terakhir Mei 2017,” kata Jubaidah.
“Apakah yang terakhir masih berjalan?”
“Tidak berjalan karena visa expired. Kami sudah mendapatkan nomor visa yang diterbitkan oleh Kementerian Haji di Arab Saudi, namun masa berlakunya hanya dua minggu,” ujar Jubaidah.
Sebelum diterbitkan, visa yang telah mendapatkan nomor tersebut harus dicap. Syarat pengecapannya ialah adanya tiket. Dari seluruh visa yang dibantu, ada 1.030 visa yang tidak dapat dicap pada Mei 2017 karena tidak ada tiket.
“Saat nomor visa keluar, saya konfirmasi ke Ica. Saya minta pengadaan tiketnya, tapi selalu dijawab besok. Bahkan, hingga 3 hari sebelum masa berlaku habis, selalu dijawab besok dan besok,” kata Jubaidah.
Tiazara Lenggogeni, salah satu anggota jaksa penuntut umum, bertanya pada Jubaidah, “Apakah tidak dicapnya visa ini berkaitan dengan tidak bergabungnya First Travel dengan asosiasi?”
“Tidak. Itu tidak menjadi masalah,” ucap Jubaidah.
Sehubungan dengan boikot visa yang dibahas pada sidang sesi pertama, Romy Rozali, anggota jaksa penuntut umum mengonfirmasinya pada Jubaidah. Akan tetapi, Jubaidah mengatakan, tidak ada yang memboikot visa calon Jemaah First Travel.
Mendengar hal itu, Anniesa pun turut bertanya pada Jubaidah saat diberi kesempatan oleh majelis hakim, “Apakah Anda mengatakan pada Ica setiap paspor First Travel akan ditolak?”
“Saya hanya sounding saja, bukan fakta dan bukan pemberitahuan. Kalau sifatnya pemberitahuan, saya pasti menyertakan buktinya,” ujar Jubaidah.
Baik setelah sesi pertama maupun sesi kedua persidangan, ketiga terdakwa tidak membatah kesaksian dalam sidang.
Tidak kerja, digaji
Menurut kesaksian Radhitya, Andika menghabiskan Rp 1,5 miliar untuk mengakuisisi perusahaan Interculture Tourindo. Dana tersebut ditransfer ke rekening Radhitya terlebih dahulu pada Februari 2016 sebelum dibayarkan pada pemilik perusahan tersebut.
Direktur Utama Interculture Tourindo Ali Umasugi turut bersaksi pada sesi kedua sidang. Dia adalah ayah dari Annissa atau Ica yang menjadi saksi pada sidang pertama.
Ali juga memegang saham Interculture Tourindo sebesar 5 persen atau senilai dengan Rp 50 juta. Berdasarkan kesaksian Ali, perusahaan direncanakan untuk mempermudah urusan visa First Travel.
Tiazara bertanya pada Ali, “Uang Rp 50 juta itu dari siapa?”
“Andika (terdakwa),” jawab Ali.
“Anda digaji berapa tiap bulan?”
“Rp 25 juta.”
“Sehari-harinya kegiatan Anda apa?”
“Hanya stand by di kantor,” ucap Ali. Adapun saat ditanya oleh Sobandi tentang lamanya Ali bekerja di perusahaan akuisisi itu, Ali menjawab dirinya sudah bekerja selama delapan bulan di sana. (DD09)