Pola Perekrutan Lemah, Perusahaan Taksi Daring Diminta Perketat Seleksi
JAKARTA, KOMPAS — Aplikasi transportasi, khususnya taksi, dalam jaringan diminta menjamin keamanan penumpangnya. Salah satunya adalah dengan memperketat perekrutan sopir dan menyediakan secara langsung nomor telepon yang dapat dihubungi sebagai pusat panggilan layanan pengaduan.
Faktor pengemudi menentukan keselamatan penumpang. ”Kasus yang menimpa Siska merupakan klimaks dari keselamatan penumpang taksi daring. Karena itu, perekrutan pengemudinya perlu diperhatikan dan diperketat,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi saat ditemui di Jakarta, Kamis (22/3).
Menurut pengamatan pada aplikasi Gojek, Grab, dan Uber, pendaftaran pengemudinya dapat dilakukan secara daring. Petunjuknya ada dalam aplikasi dan calon pengemudi nantinya akan diarahkan ke laman web resmi penyedia jasa untuk mendaftar.
Adapun ketiga aplikasi itu meminta dokumen surat izin mengemudi A (SIM A), kartu tanda penduduk, surat tanda nomor kendaraan, dan surat keterangan catatan kepolisian. Selain kelengkapan itu, Gojek mensyaratkan calon pengemudi taksi daring harus memiliki asuransi dan produk kendaraannya harus di atas 2012.
Grab mensyaratkan kendaraan yang digunakan calon pengemudi telah diuji kirnya. SIM A yang diminta juga harus bersifat umum. Calon pengemudi juga harus mendaftar ke koperasi atau badan hukum terkait.
Menurut Tulus, seleksi menjadi pengemudi taksi dalam jaringan perlu diperketat dengan psikotes. Tujuannya agar potensi tindak kekerasan dan tingkat emosi calon pengemudi dapat dianalisis sejak dini.
Tulus menambahkan, di antara penyedia jasa transportasi daring seharusnya ada daftar hitam yang berisi sejumlah sopir yang mendapatkan banyak keluhan dari pelanggan. Sopir ini tidak boleh lagi menjadi pengemudi taksi daring.
Pentingnya nomor telepon sebagai pusat panggilan layanan pengaduan ini juga disorot YLKI. ”Melihat potensi tindak kriminal di dalam taksi daring, penumpang membutuhkan respon cepat dari layanan pengaduan. Sulit kalau harus lewat e-mail,” ujar Tulus.
Berdasarkan riset YLKI pada 2017, Gojek, Grab, dan Uber merupakan aplikasi penyedia jasa transportasi dalam jaringan yang diminati konsumen. Menurut pengamatan, media layanan pengaduan pada ketiga aplikasi itu tidak langsung muncul di menu utama.
Pada aplikasi Gojek, keluhan dapat disampaikan dalam menu ”Bantuan”. Setelah mengeklik menu tersebut, konsumen perlu memilih layanan yang akan diadukan, kemudian memilih jenis aduannya. Setelah itu, menu ”Telepon Kami” atau ”Kirimkan E-mail kepada Kami” baru muncul.
Demikian juga pada Grab. Menu ”Telepon Kami” baru muncul setelah mengeklik menu ”Bantuan” serta memilih jenis bantuan yang dibutuhkan dan jenis aduan.
Sementara pada aplikasi Uber, tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi secara langsung. Setelah mengeklik menu ”Bantuan” dan memilih jenis aduan, aplikasi Uber langsung memberikan formulir yang dapat langsung dikirimkan.
Berkenaan dengan pembunuhan yang terjadi dalam taksi daring, pemerhati kebijakan publik, Agus Pambagio, berpendapat, pemerintah perlu menindak tegas sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017. ”Ini harus ditaati bersama,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Kendaraan laik
Keselamatan penumpang taksi daring juga dapat dijamin melalui kendaraan yang laik. ”Salah satunya dengan uji kir untuk memastikan kelaikan kendaraan yang mengangkut penumpang,” ucap Tulus.
Akan tetapi, jumlah tempat uji kir masih terbatas. Dari data yang dihimpun Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia Muslih Zainal, hanya 15 persen daerah-daerah di Indonesia yang memiliki fasilitasi uji kir.
Kewajiban uji kir bagi taksi daring sudah tertera dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017. Dari tiga aplikasi penyedia jasa taksi daring, hanya Grab yang mencantumkan syarat uji kir bagi kendaraan calon pengemudi pada laman web resmi pendaftarannya.
Lemah
Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane di Jakarta, Kamis, menyayangkan pelaku kejahatan angkutan daring yang menewaskan Siska (29) beberapa hari yang lalu adalah pengemudi yang terdaftar. Kejadian ini, katanya, memperlihatkan perusahaan angkutan umum berbasis daring belum memprioritaskan keamanan pengguna.
Pengemudi angkutan dalam jaringan yang menjadi pelaku kejahatan memperlihatkan lemahnya pola perekrutan mitra pengemudi. Kepolisian dan perusahaan angkutan daring harus mengantisipasi agar tidak terjadi hal yang serupa. Jika dibiarkan, kasus serupa akan semakin marak mengingat masyarakat membutuhkan akses transportasi ini.
Dalam kasus ini, FIH (32), salah satu tersangka beserta kendaraannya, memang terdaftar dalam aplikasi taksi daring yang dipesan korban. Dalam menjalankan aksinya, FIH bersama dengan FHN (28) yang bersembunyi di dalam mobil. Jasad korban ditemukan di Cibinong, Minggu (19/3).
”Pengemudi yang menjadi pelaku kejahatan adalah hal yang keterlaluan. Angkutan berbasis jaringan memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Pengemudi seharusnya bisa diawasi dan terlacak. Jika dibiarkan, nyata-nyata penumpang yang rugi,” katanya.
Neta menuturkan, mobilitas yang tinggi membuat masyarakat membutuhkan sarana transportasi yang ringkas ini. Keterbukaan informasi dari perusahaan penyedia jasa dibutuhkan untuk menjamin keselamatan penumpang.
Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis menyatakan, risiko ini berakar dari tertutupnya akses data penyedia transportasi kepada pemerintah. Ia berujar, penyedia jasa perlu memberikan akses kepada pemerintah untuk menjamin keselamatan penumpang, seperti data keluhan penumpang dan identitas pengemudi (Kompas, 21/3).
”Kepolisian harus bergerak cepat karena kasus terakhir ini memperlihatkan longgarnya keamanan taksi daring. Jika dibiarkan, hal ini akan dimanfaatkan sehingga kasus-kasus serupa dikhawatirkan akan jadi tren,” ujar Neta.
Karakter kriminal
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Muhammad Mustofa, menyatakan, keinginan untuk melakukan kejahatan didominasi karakter kriminal yang ada di dalam diri pelaku. Dihubungi terpisah, ia berujar, stres di jalan ataupun tekanan pikiran tidak serta-merta bisa mendorong seseorang melakukan tindakan kriminal.
”Semua orang pasti punya masalah. Mereka stres menghadapi kemacetan atau masalah lain. Namun, tidak banyak kejahatan terjadi. Karakter kriminal dalam diri seseorang-lah yang mendorongnya berbuat jahat,” ujarnya.
Mustofa berujar, perekrutan yang dilakukan perusahaan penyedia jasa angkutan daring tidak dilakukan secara maksimal. Metode pendaftaran daring hingga wawancara singkat tidak cukup efektif untuk melihat keadaan psikologis seseorang.
Pola perekrutan yang mendalam, kata Mustofa, bisa mengurangi potensi kejahatan yang berasal dari pengemudi. ”Untuk menentukan karakter seseorang, tidak bisa hanya melihat penampilan luar dan kata-kata. Perlu identifikasi mendalam secara psikologis,” katanya.
Menurut Mustofa, SKCK tidak bisa menjadi bukti bahwa seseorang tidak memiliki karakter kriminal. ”Dokumen ini hanya mencatat apakah yang bersangkutan pernah melanggar hukum, itu saja,” ujarnya.
Untuk mengetahui karakter kriminal dari seseorang, kata Mustofa, perusahaan perlu melakukan tes psikologi yang mendalam dan wawancara secara detail. Perusahaan harus lebih menelusuri karakter dan latar belakang calon mitra pengemudi, dan itu tidak bisa dilakukan secara instan.
”Mereka melayani masyarakat, dan itu membutuhkan tanggung jawab yang besar. Publik harus dijamin keamanannya. Tidak bisa asal daftar. Jangan hanya melihat kuantitas,” ujarnya. (DD09/DD12)