Di Indonesia, Minoritas Agama Rawan Dikriminalisasi
Oleh
DD16
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok minoritas agama rawan mendapatkan kriminalisasi yang disebabkan tidak ada ukuran yang jelas atas tindak penodaan agama dalam Undang-Undang Penodaan Agama.
Aturan mengenai penodaan agama masih berdasar pada Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan Penodaan Agama. Untuk memidanakan seseorang yang dianggap menodai agama ditambahkan Pasal 156 A KUHP.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan, pasal itu janggal dan rawan salah tafsir karena tidak ada ukuran yang jelas tentang sejauh apa perlakuan orang itu dianggap menodai suatu agama.
”Ini sangat rawan bagi kelompok minoritas. Mereka yang dianggap menyimpang daripada kelompok mayoritas berpotensi dipidanakan,” kata Asfinawati, di Jakarta, Kamis (22/3).
”Penjelasan tentang pasal itu berhenti pada pemidanaan bagi orang yang melakukan perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia. Setelah itu tidak dijelaskan lagi unsur-unsurnya,” kata Asfinawati.
Pada Kompas (12/6/2017), Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyampaikan, tak pernah ada definisi yang jelas dan jernih dengan apa yang dimaksud serta ruang lingkup penodaan agama. Hal itu terjadi sejak dituduhnya HB Jassin (1968) lewat terbitan cerita pendek Langit Makin Mendung, survei tabloid Monitor oleh Arswendo Atmowiloto (1990), Lia Eden yang mengaku sebagai Bunda Maria (2006 dan 2009), dan Ahmad Musadeq yang menyatakan diri sebagai Nabi (lewat aliran Qiyadah Islamiyah, 2007, dan Gerakan Fajar Nusantara, 2016).
Direktur Indonesian Muslim Crisis Center Robi Sugara mengatakan, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah korban dari ketidakjelasan peraturan tentang penodaan agama itu.
Pada 2016, Gafatar dilarang beraktivitas lewat Surat Keterangan Bersama (SKB) dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Hal itu berangkat dari aktivitas Gafatar yang dianggap meresahkan masyarakat.
”Padahal, Gafatar adalah gerakan yang non-kekerasan dan berusaha mengamalkan Pancasila,” kata Robi. ”Namun, Gafatar dianggap sesat karena mencampuradukkan antara ajaran Islam, Nasrani, dan Yahudi.”
Robi menjelaskan, asosiasi yang kuat antara Gafatar dan Ahmad Musadeq juga menjadi salah satu penyebab agama ini dianggap menodai agama. Ahmad Musadeq dianggap menyesatkan karena sempat tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII), gerakan yang bertujuan mendirikan negara Islam di Indonesia.
”Musadeq dicurigai karena dia pernah menjadi bagian dari NII. Padahal, saat bersama Gafatar, ideologi yang dianutnya sudah berubah, mereka tidak membolehkan adanya perlawanan,” kata Robi.
”Namun, adanya kenyataan bahwa Musadeq sempat menjadi bagian dari NII menjadi warisan sejarah yang kelam.”
Robi menambahkan, hal yang membuat Gafatar itu semakin dicurigai adalah organisasi tersebut tumbuh dengan sangat cepat. Organisasi itu berdiri pada 2011, lalu sudah menyebar di 34 provinsi pada 2013.
Robi menyatakan, pemerintah terkesan menggunakan pendekatan politik dalam menyelesaikan permasalahan tentang Gafatar itu.
Ada desakan dari masyarakat bahwa organisasi tersebut meresahkan sehingga mereka harus membubarkan organisasi yang lebih kecil itu karena ada tekanan dari penganut agama yang lebih besar.
”Seharusnya pemerintah menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Mereka juga harus melakukan pendalaman terlebih dahulu tentang organisasi yang dianggap menyimpang itu. Jangan hanya menekan yang lebih kecil karena ada tekanan dari kelompok yang lebih besar demi meredam konflik,” kata Robi.
Sementara itu, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ali M Abdillah mengatakan sudah mengkaji secara mendalam terkait fatwa sesat yang ditujukan kepada Gafatar.
Ali tidak memungkiri bahwa organisasi tersebut juga melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, fatwa itu tetap dikeluarkan karena mereka menerima laporan-laporan adanya penyimpangan dalam ajaran agama Islam yang mereka praktikkan.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, Gafatar adalah organisasi spiritual sosial. ”Mereka muncul karena ada kenyataan sosial bahwa tatanan kehidupan tidak seperti yang mereka harapkan. Itu terwujud dalam kegiatan-kegiatan sosial yang menjadi kepedulian mereka,” kata Bonar.