Saatnya Aksi Nyata Tata Kelola Air Tanah Dibuktikan
Oleh
DD04
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi pengelolaan sumber daya air, khususnya air tanah, mendesak untuk dilakukan. Pemerintah telah merencanakan berbagai program untuk pengelolaan air tanah dari hulu hingga hilir. Namun, sinergi antarsektor kepentingan belum terjadi sehingga sejumlah program dinilai belum tepat sasaran.
Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yuliarto Joko Putranto memaparkan, persebaran neraca air permukaan Indonesia tidak merata. Pada 2015, kuantitas air semua pulau di Indonesia surplus sebesar 449.045 juta meter kubik. Namun, untuk kawasan Jawa dan Bali justru defisit sebesar 105.786 juta meter kubik, sementara Nusa Tenggara defisit 2.317 juta meter kubik.
”Seiring bertambahnya penduduk, jika tidak ada upaya konservasi sumber daya air yang jelas dan terukur, defisit kuantitas air ini akan semakin tinggi dan wilayahnya bisa meluas,” ujar Yuliarto di sela-sela kegitan lokakarya nasional bertajuk ”Konservasi Air Tanah Melalui Sumur Resapan” dalam rangka Hari Air Sedunia, Kamis (22/3) di Jakarta.
Ia menambahkan, strategi tata kelola sumber daya air melalui pengelolaan DAS dibagi menjadi dua wilayah, yaitu DAS hulu dan hilir. DAS hulu lebih mengatur pada produksi dan regulasi air di wilayah imbuhan air tanah. Sementara tata kelola di DAS tengah hingga hilir mengatur distribusi dan konsumsi air.
DAS merupakan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai. Fungsinya menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. DAS dapat menjadi bagian pengelolaan sumber daya air permukaan yang baik.
”Setiap wilayah DAS memiliki penanggung jawab yang berbeda. Pada DAS hulu di bawah KLHK dan di DAS hilir di bawah tanggung jawab Kementerian PUPR, PAM, dan ESDM. Memang ada tumpang tindih wewenang. Namun, yang lebih menjadi kendala (pengelolaan sumber daya air) adalah belum ada sinergi yang kuat,” ujarnya.
Kepala Subdirektorat Pengembangan Jasa Lingkungan Kehutanan Kementerian PPN/Bappenas Nita Kartika menyatakan, upaya konservasi tanah harus dilakukan secara terpadu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk industri dan lembaga swadaya. Upaya konservasi tersebut meliputi perlindungan dan pelestarian air tanah, pengawetan dan penghematan air tanah, serta penentuan zona konservasi air tanah.
”Peran pemerintah daerah cukup krusial untuk menentukan keberhasilan konservasi air tanah. Saat ini, pengawasan dari pemda dinilai masih kurang,” katanya.
Kepala Subbidang Inventarisasi dan Konservasi Air Tanah Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Kementerian ESDM, Idham Effendi berpendapat, upaya konservasi air tanah harus dilakukan secara konsisten.
Pada bagian hilir berupaya melindungi daerah imbuhan agar fungsinya tetap terjaga dan berkelanjutan. Caranya, antara lain, dengan menjaga kawasan perhutanan, tidak alih fungsi lahan menjadi area bangunan ataupun penambangan. Sementara di daerah lepasan atau pemanfaatan, pengambilan air tanah harus dikendalikan sesuai potensi akuifernya melalui perizinan.
”Sayangnya, penegakan hukum saat ini masih sangat lemah. Bahkan, beberapa pemerintah daerah belum memperhatikan masalah air tanah. Pengeboran air tanah masih bebas tidak berizin. Kalaupun ada izin, biasanya tidak ada dasar berbasis konservasi. Kondisi ini perlu diperbaiki segera,” katanya.
Sumur resapan
Konservasi sumber air tanah dengan pembuatan sumur resapan menjadi salah satu upaya yang juga terus didorong. Upaya ini dinilai mudah diimplementasikan dan efektif mengatasi masalah kekurangan air di tengah masyarakat.
Menurut Asep Mulyana, Senior Raw Water Adaptation Specialist United States Agency International Development (USAID) Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene (IUWASH) Plus, sumur resapan dapat berfungsi untuk mengumpulkan, menangkap, dan meresapkan air hujan ke dalam tanah. Resapan air ini nantinya akan masuk ke akuifer atau lapisan tanah sehingga menjadi air simpanan.
”Air yang terkumpul bisa digunakan untuk mengisi sumur dangkal. Selain itu, bisa meningkatkan mata air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah hilir,” ujarnya.
Salah satu wilayah yang sudah membuktikan manfaat dari pengadaan sumur resapan adalah masyarakat di Desa Patemon, Salatiga, Jawa Tengah. Setelah dibangun lebih dari 300 sumur resapan di wilayah tersebut, debit air mata air Senjoyo yang terletak di desa tersebut meningkat dari 800 liter per detik pada 2015 menjado 1.100 liter per detik pada 2017.
Kepala Desa Patemon Puji Rahayu menyampaikan, manfaat sumur resapan sangat berpengaruh pada pengadaan air bersih di wilayahnya. Sebelumnya, setidaknya pemerintah desa harus membeli sektiar 4.000 liter air per hari untuk memenuhi kebutuhan warganya. Namun, saat ini hal tersebut tidak perlu dilakukan karena masyarakat bisa mendapatkan air dari sumur resapan.
”Untuk keberlanjutan program ini, kami sudah mengaturnya dalam bentuk peraturan desa. Targetnya akan ada 1.000 sumur resapan di Desa Patemon,” kata Puji.
Ia menambahkan, kendala dalam pembangunan sumur resapan dirasakan saat awal mendorong masyarakat setempat. Program ini tidak memberikan dampak langsung, tetapi sangat bermanfaat di masa depan, terutama untuk generasi selanjutnya.