JAKARTA, KOMPAS - Studi kasus terbaru membuktikan konflik lahan pada perkebunan sawit merugikan pihak perusahaan dan masyarakat. Konflik ini umumnya disebabkan pemberian lahan yang tidak clean and clear sehingga tumpang tindih dengan tenurial masyarakat desa atau masyarakat adat yang tinggal di situ.
Studi ini pun memerkuat pentingnya Presiden Joko Widodo menjalankan janjinya untuk memoratorium izin sawit. Penghentian sementara ini dilakukan sejalan dengan penegakan aturan dan perbaikan tata kelola dan produktivitas kelapa sawit.
Ini mengemuka dalam paparan hasil studi kasus Kerugian dan Biaya Konflik Tanah dan Sumberdaya Alam, Rabu (21/3/2018) yang diselenggarakan Conflict Resolution Unit (CRU) – Indonesia Business Council for Sutainable Development (IBCSD). Studi pertama dilakukan Daemeter Consultant yang menelaah kerugian perusahaan dan studi kedua dilakukan KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria) yang menelaah kerugian dari perspektif komunitas.
Godwin Limberg, Regional Manager Kalimantan Daemeter Consultant, menunjukkan perusahaan sawit terbebani biaya signifikan untuk menangani konflik lahan. Pada 5 perkebunan sawit besar yang mengikuti skema keberlanjutan (sustainability) di Sumatera dan Kalimantan, tempat studi ini dilakukan, biaya nyata (tangible cost) yang dikeluarkan perusahaan 70.000 – 2,5 juta dollar AS. Biaya ini mewakili 51 - 88 persen dari biaya operasional.
Biaya itu meliputi biaya staf, hilangnya produksi, hilangnya pendapatan, biaya legal, pembayaran kompensasi, dan biaya-biaya tambahan (overhead). “Sekitar tiga perempat biaya operasional perusahaan untuk menangani konflik. Ini seharusnya meningkatkan kesadaran untuk lebih peka dalam menangani konflik,” kata dia.
Rimawan Pradiptyo, ekonom Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang menjadi satu dari empat peneliti untuk KARSA, menyebut kerugian pada masyarakat antara lain, kehilangan -sumber kehidupan di hutan yang berubah menjadi perkebunan. Studi pada komunitas masyarakat di Suku Anak Dalam 13 (Batanghari di Jambi), Desa Muara Tae (Kutai Barat di Kalimantan Timur), dan Desa Trimulya (Sanggau di Kalimantan Barat) menunjukkan rata-rata 36,79 persen nilai konsumsi di masa kini sebenarnya dapat diperoleh secara gratis di masa lalu.
Dengan kata lain, kontraksi konsumsi ini bisa mencapai hampir tiga kali dari krisis moneter 1998 yang sebesar 15 persen (penurunan GDP/kapita). "Krisis moneter (1998) berlangsung 3 tahun, tapi yang dialami masyarakat ini bertahun-tahun," kata Paramita Iswari, peneliti KARSA, yang turut dalam studi.
Yando Zakaria, peneliti KARSA yang juga antropolog independen, pun menunjukkan beban rumah tangga akibat konflik sangat mengkhawatirkan. Dengan asumsi satu hari kerja seseorang digaji Rp100 ribu/ hari/ orang, maka penurunan pendapatan akibat konflik menyebabkan tambahan hari kerja rata-rata sebanyak 35 hari kerja per orang.
Kelebihan hari kerja dalam 1 bulan ini dikompensasi melalui pelepasan/penjualan aset. "Ini menjadi semacam pemiskinan struktural, mengingat karakteristik biaya bersifat jangka panjang," kata dia. Di Jambi, konflik berlangsung selama 20 tahun hingga kini.
Para peneliti menyatakan studi ini tak mewakili kasus di seluruh wilayah di Indonesia. Namun, itu bisa menjadi gambaran umum akan kerugian akibat konflik yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan. Di Indonesia, data Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan, tahun 2016 terjadi 450 kasus konflik agraria (mayoritas adalah konflik di perkebunan, properti, infrastruktur, dan kehutanan) melingkupi 1,26 juta hektar lahan dan berdampak pada 86.745 keluarga yang tersebar di seluruh Indonesia.
Zukri Saad, dari Golden Agri Resources, pekebun sawit dari Grup Sinar Mas yang hadir dalam kegiatan itu mengatakan konflik di lahan hak guna usaha perusahaan dilatarbelakangi pemberian lahan yang tidak clear and clean. Untuk memperbaiki ini, ia mendorong format baru pengelolaan lahan.
Ia pun mendukung agar hak guna usaha perusahaan secara bertahap didistribusikan kepada masyarakat. "Bagi perusahaan yang penting ada pasokan tandan buah segar. Tapi juga harus dibarengi produktivitas tinggi dari petani swadaya," kata dia.