JAKARTA, KOMPAS — Studi mengenai ambang batas risiko sosial, lingkungan, ekonomi, dan spasial di Jakarta mendesak dilakukan. Ini menyusul eskalasi peningkatan risiko-risiko tersebut dalam beberapa waktu terakhir, ditambah pentingnya memberikan perhatian pada isu manajemen kepadatan penduduk yang terkait pada ketahanan pangan di ibu kota negara.
Presiden Indonesia International Institute for Urban Resilience and Infrastructure Profesor Riset (Emeritus) Jan Sopaheluwakan, Selasa (20/3), menyebutkan, studi tersebut bakal bersifat kompleks dengan keterlibatan sejumlah pihak, antara lain pemerintah pusat, pemerintah di kawasan Jabodetabek, kalangan industri, akademisi, dan masyarakat umum.
Hal itu menyusul risiko-risiko di atas yang tanpa terkecuali akan ditanggung semua orang, terutama bagi golongan masyarakat miskin dengan dampak paling besar tatkala menghadapi bencana berangsur (creeping disaster) dalam bentuk kesulitan ekonomi, penyakit, dan kerusuhan sosial.
”Kalau bencana yang akut seperti gempa bumi, dia (bencana) tidak akan pandang bulu,” ujar Jan.
Menurut Jan, hasil studi tersebut menjadi dasar untuk menempuh kebijakan fundamental secara lintas wilayah, kewenangan, dan sektoral manakala ambang batas risiko-risiko tadi sudah cenderung mendekati.
”Kuncinya ada di manajemen kepadatan, mencakup luas lantai terbangun, mobilitas penduduk, dan warga, di mana setiap wilayah mempunyai besaran tersendiri,” ujar Jan yang juga anggota Dewan Riset Daerah (DRD) DKI Jakarta.
Ini menuntut dilakukannya konsolidasi lahan dan sejumlah ukuran yang mesti ditetapkan, antara lain ambang batas luasan minimal lahan pertanian yang secara absolut mesti dipertahankan untuk memastikan ketahanan pangan.
Selain itu, pengaturan transportasi publik dengan mengacu pada pusat-pusat kegiatan metropolis dan aktivitas perekonomian mestilah juga dilakukan. Ia menyebutkan, ini dilakukan agar kesuksesan pembangunan di Jakarta tidak sampai meningkatkan kerawanan atau bencana yang dituai karena kesuksesannya.
Untuk itulah, lanjut Jan, DRD DKI Jakarta mulai melakukan kajian kritis mengenai paradoks pembangunan di Jakarta yang secara ironis ditiru polanya oleh kota-kota lain. Paradoks itu disebut urban sprawl-urban trap.
Ini merupakan penyakit yang cenderung menjangkiti pula sejumlah kota lain selain Jakarta dengan sejumlah penanda, antara lain defisit transportasi publik yang memadai, pembangunan kota yang bersifat sprawling atau tidak terkendali aturan tata ruang, tetapi sangat dikendalikan mekanisme pasar dan spekulasi lahan.
Selain itu, terjadi pula tata kelola pemerintahan yang tersegmentasi, sektoral, dan terjangkiti sindrom miopik (rabun dekat) yang minim visi serta hanya digerakkan program selama masa kekuasaan setiap lima tahunan.
”Bukan visi jangka panjang yang seharusnya berorientasi pada pembangunan kebudayaan dan pembangunan yang berketahanan,” ucap Jan.
Ia menambahkan, akibat praktik pembangunan miopik, yang terjadi adalah kerawanan multidimensi. Secara akumulatif, hal ini bisa berubah menjadi bencana dan krisis seperti kerawanan pangan di perkotaan.
Community Officer Urban Poor Consortium Gugun Muhammad, Selasa, mengatakan, ketahanan pangan di Jakarta relatif aman bagi kalangan dengan akses finansial cukup. Akan tetapi, kedaulatan pangan, cenderung tidak dimiliki.
”Ketahanan lebih menekankan pada ketersediaan jumlah, sedangkan kedaulatan pangan lebih pada kualitas dan keterjangkauan,” ujar Gugun.
Contoh nyata, lanjutnya, adalah jajanan anak-anak yang banyak mengandung monosodium glutamat (MSG) dan bahan pengawet. Relatif tidak ada perlindungan terhadap kualitas pangan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin perkotaan.
Ini masih ditambah dengan kecenderungan terjadinya perubahan fungsi lahan-lahan pertanian di wilayah yang selama ini jadi penyokong kebutuhan pangan di Jakarta.
Gugun mengatakan, saat ketergantungan menguat dan pilihan terbatas, kualitas tidak lagi jadi bahan pemikiran, tetapi hanya tentang ketersediaan dan keterjangkauan.