Sikap Reaktif Tunjukkan Indonesia Tak Bisa Buktikan Perbaikan
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Berbagai kritik dan tentangan dagang dari berbagai negara terkait produksi sawit Indonesia menunjukkan pemerintah Indonesia tidak bisa membuktikan kepada dunia akan berbagai komitmen perbaikan dalam pengelolaan perkebunan sawit. Pemerintah diminta tak terlalu reaktif dan fokus pada perbaikan dari sisi kebijakan dan fakta di lapangan.
Deputi Direktur Perkumpulan Sawit Watch Indonesia Achmad Surambo, Selasa (20/3), di Jakarta, mengatakan berbagai tanggapan pemerintah terkait hambatan ekspor sawit di berbagai negara sangat reaktif.
“Malah terkesan kayak perang, tidak ada untungnya. Lebih baik membenahi saja apa-apa yang masih kurang dalam pengelolaan sawit kita dan tunjukkan buktinya,” kata dia.
Fakta di lapangan menunjukkan deforestasi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit terjadi di lapangan.
Achmad mencontohkan, hutan-hutan di Sumatera seperti Taman Nasional Tesson Nilo dan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil digerogoti oleh sawit. Bahkan di TN Tesso Nilo yang menjadi habitat gajah sumatera seluas 80.000 ha, kini hanya tersisa 20.000 ha karena berubah menjadi kebun sawit.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, sekitar 1,7 juta hektar kawasan hutan dipakai untuk perkebunan sawit rakyat dan 800.000 hektar untuk perkebunan sawit negara atau swasta. Dengan kata lain, perkebunan sawit ini berstatus ilegal alias belum menyelesaikan legalitas berupa izin pelepasan kawasan hutan (Kompas, 7 April 2017).
Tak terealisasi
Surambo pun menunjukkan upaya Indonesia untuk memperbaiki hal-hal ini tak terjemahkan dengan baik, di antaranya pernyataan Presiden Joko Widodo pada April 2016 untuk memoratorium izin-izin kebun sawit hingga kini tak terealisasi.
Hal yang muncul ke permukaan, kata dia, malahan Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan yang malah kontraproduktif dengan upaya perbaikan pengelolaan dan kebijakan sawit di Indonesia.
“Misalnya hasil bacaan kami pada RUU Perkelapasawitan akan melegalkan (memutihkan) perkebunan sawit di kawasan hutan,” kata dia.
Contoh lain, sistem Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang dibentuk pada 2009, diperkenalkan pada 2011, dan diterapkan pada 2012. Namun penerapan wajib (mandatory) terus menerus mundur dengan berbagai alasan.
“Penerapan ISPO yang terus mundur juga membuat konsumen luar (termasuk Eropa) meragukan komitmen Indonesia,” kata dia.
Selain deforestasi, ekspansi kebun sawit di area-area bergambut menciptakan permasalahan baru. Pembukaan lahan gambut membuat material gambut kempes sehingga mempercepat penurunan muka tanah (land subsidence).
“Di Jambi, Riau, dan Sumatera kami temukan kebun-kebun sawit yang tenggelam akibat land subsidence ini,” kata Direktur Eksekutif Wetlands Internasional di Indonesia I Nyoman Suryadiputra.
Gambut terkuras
Lahan gambut yang berada di daratan akan membentuk semacam danau sedangkan lahan gambut di pesisir akan terjadi erosi. Dampaknya, pada pulau terluar seperti Pulau Bengkalis dan Pulau Rangsar – dua dari empat pulau terluar di Riau yang berhadapan dengan Malaysia – semakin tergerus. Material gambut penyusun pulau semakin tercuci air laut dan gelombang.
Apabila gambut semakin terkuras dan berubah menjadi perairan laut, akan berdampak langsung pada titik penentuan surut terendah yang dipakai dalam penentuan teritori laut Indonesia.
“Wilayah laut Indonesia akan berkurang dan kerugian besar bagi Indonesia,” kata I Nyoman Suryadiputra.
Selain itu, tanaman sawit di gambut cenderung tidak bisa berdiri tegak alias melengkung. Ini menimbulkan produktivitas yang rendah. “Setahu saya sangat sedikit bahkan belum pernah ada siklus sawit kedua di lahan gambut atau setelah penanaman 25-30 tahun,” kata dia.
Setelah mengeruk keuntungan pada siklus pertama, lahan menjadi genangan yang tak bisa dikuras lewat kanal. “Banyak perbankan mulai gelisah akan hal ini karena terkait utang perkebunan sawit. Mereka khawatir hal ini menimbulkan kredit macet,” kata I Nyoman Suryadiputra.