Polisi mulai melakukan operasi pasar terhadap peredaran meterai palsu di Jakarta. Langkah serupa diharapkan diikuti di daerah lain.
Oleh
Wisnu Aji Dewabrata
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peredaran meterai tempel palsu diduga telah mencapai banyak wilayah Indonesia. Meterai palsu pecahan Rp 3.000 dan Rp 6.000 ini dijual bebas secara daring melalui sejumlah situs belanja serta melalui blog.
Kepala Subdirektorat Fiskal, Moneter, dan Devisa (Fismondev) Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar M Sandy Hermawan, Selasa (20/3), mengatakan, peredaran meterai palsu terbanyak ditemukan di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Hal ini merupakan penelusuran Subdit Fismondev. Pekan lalu, polisi menangkap delapan tersangka pembuat dan pengedar meterai tempel palsu di Jakarta, Bandung, dan Bogor.
Tersangka yang ditangkap adalah DJ, HK, IS, AS, AF, AT, PA, dan ZF. Polisi masih memburu tersangka lain yang berperan membuat meterai tempel palsu.
Penurunan pendapatan
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, Selasa dalam rilis kasus tersebut di Markas Polda Metro Jaya, menuturkan, kasus berawal dari penurunan penerimaan dari PT Pos Indonesia yang merupakan tempat resmi penjualan meterai. Direktorat Jenderal Pajak juga turun tangan menyelidiki hal ini.
Setelah kasus terungkap oleh polisi, diketahui bahwa para tersangka mengedarkan meterai palsu selama kurang lebih tiga tahun.
"Akhirnya tim berhasil menemukan peredaran meterai palsu Rp 3.000 dan Rp 6.000 yang dijual dengan harga murah yakni Rp 1.500 per buah. Ada interval dari harga yang ditetapkan pemerintah. Tersangka menjual melalui situs belanja daring dan toko-toko kelontong," kata Argo.
Harga resmi materai tempel adalah Rp 3.000 dan Rp 6.000 per buah. "Bisa dipastikan kalau harganya lebih murah berarti palsu. Kantor Pos tidak akan menjual lebih murah karena mereka ditarget penjualan," kataKasubdit Forensik dan Barang Bukti Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Johny Ispariyanto.
Ia mengatakan, harga satu rim meterai asli pecahan Rp 6.000 adalah Rp 150 juta. Satu rim terdiri dari 500 lembar, masing-masing lembar berisi 50 buah meterai.
Sementara tersangka menjual satu rim meterai palsu hanya seharga Rp 10 juta.
Johny mengatakan, untuk membedakan meterai asli dan palsu bisa dilihat sejumlah ciri antara lain materai asli memiliki hologram, warna berubah di bawah sinar ultraviolet, dan cetakannya dapat diraba. Selain itu, harga meterai asli tidak akan lebih murah dari Rp 3.000 dan Rp 6.000.
Menurut Argo, para tersangka mendapat meterai palsu dari tersangka lain yang belum tertangkap. Tersangka mendapat kiriman dua rim atau 1.000 lembar meterai palsu setiap empat bulan. Harga satu rim (500 lembar) meterai palsu Rp 10 juta.
Sandy Hermawan mengungkapkan, polisi menyita meterai palsu berjumlah tidak kurang dari 65.000 buah dari para tersangka. Sebagian besar adalah meterai senilai Rp 6.000.
Polisi juga menyita peralatan sablon, komputer, printer, pemindai, tinta printer, kertas, dan puluhan resi pengiriman barang.
"Kerugian negara berdasarkan aliran dana ke rekening tersangka mencapai Rp 6 miliar. Tersangka membeli satu rim meterai palsu Rp 10 juta, lalu dijual lagi Rp 30 juta. Berarti keuntungan Rp 20 juta," lanjutnya.
Sandy menuturkan, polisi membeli meterai palsu Rp 6.000 melalui situs belanja daring dengan harga Rp 1.500 per buah.
Setelah dicek ke Perum Peruri, dipastikan meterai tersebut palsu. Agar tidak mudah terdeteksi, tersangka menggunakan nomor rekening orang lain untuk menerima transfer uang penjualan meterai palsu.
"Mereka menjual melalui situs belanja daring kemudian meterai dikirim menggunakan jasa ekspedisi. Kami akan memeriksa perusahaan situs belanja daring dan perusahaan ekspedisi," ujar Sandy.
Para tersangka ada yang residivis dalam kasus pemalsuan. "Mereka juga terindikasi melakukan pemalsuan sertifikat, BPKB, dan buku tabungan. Tersangka bisa membeli rumah dan mobil dari penjualan meterai palsu," katanya.