Ancaman Tuberkulosis
Mengatasi politik jahat itu seperti mengobati tuberkulosis. Kuncinya ada pada keterbukaan.
(Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat ke-28, 1913-1921)
Presiden Woodrow Wilson paham tuberkulosis yang sering disingkat TB ini. Ia memimpin Amerika Serikat melewati Perang Dunia I, yang memicu banyak kesengsaraan dan penyakit di mana-mana. Tuberkulosis adalah salah satunya.
Pada era Wilson, ketika metode pengobatan belum jauh berkembang, pasien tuberkulosis dikumpulkan di sanatorium yang terang dan banyak disinari matahari. Pasien pun berjemur untuk mematikan kuman. Bisa jadi, model penyembuhan itu mengilhami Wilson mengatasi politik jahat kala itu.
Sebagai salah satu penyakit tertua dalam sejarah umat manusia—mumi dari Mesir kuno menunjukkan tanda-tanda tuberkulosis, ditemukan pula di era Yunani kuno dan kekaisaran Romawi—tuberkulosis baru dikenali penyebabnya oleh Robert Koch, seorang dokter Jerman ahli mikrobiologi, tahun 1882.
Dinamai Micobacterium tuberculosis, bakteri ini menyerang saat ketahanan tubuh menurun. Ia berkembang biak di paru-paru yang banyak dialiri darah dan oksigen, kemudian merusak jaringan organ yang ditumpanginya. Infeksi tuberkulosis bisa menyebar lewat pembuluh darah dan kelenjar getah bening.
Gejala tuberkulosis biasanya batuk kering, ludah yang berdarah, demam. Penularannya melalui cipratan ludah ketika penderita batuk, bersin, bicara, bahkan tertawa. Sekalipun temuan Koch memunculkan temuan lanjutan untuk mencegah dan mengobati tuberkulosis, penyakit ini belum juga berhasil dieradikasi hingga kini. Beberapa faktor penyulit antara lain struktur bakteri tuberkulosis yang sulit ditembus antibiotika sehingga masa pengobatannya panjang. Akibatnya, orang mudah putus obat dan akhirnya bakteri jadi kebal obat.
Demikian pula halnya di Indonesia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tuberkulosis di Indonesia mencapai 1.020.000 kasus tahun 2016, naik dari peringkat empat menjadi peringkat dua dunia. Masalah bertambah karena yang sudah dijangkau program pengobatan baru 360.565 orang, sehingga ada kasus "hilang" 659.435 orang.
"Padahal, satu kasus tuberkulosis berpotensi menular pada 10-15 orang dalam satu tahun," papar dr Adi Sasongko MA dari Yayasan Kusuma Buana, suatu organisasi yang bergerak di bidang kesehatan.
Yayasan Kusuma Buana merintis penyisiran kasus hilang melalui penanggulangan tuberkulosis berbasis tempat kerja sejak 2008. "Penderita tuberkulosis itu 75 persen berusia produktif. Karena itu, tempat kerja bisa menjadi salah satu sumber penularan tuberkulosis, baik antar-karyawan maupun dari karyawan ke keluarganya," papar Adi Sasongko.
Kaum pekerja ini selama jam kerja tidak terjangkau oleh petugas lapangan dari puskesmas. Oleh karena itu, tempat kerja menjadi salah satu tempat potensial menemukan kasus hilang tuberkulosis. Pengalaman Yayasan Kusuma Buana di pelbagai pabrik di Sumedang, Jawa Barat, keterlibatan pihak manajemen pabrik berperan besar. Tidak hanya memudahkan temuan, tetapi juga membantu meningkatkan kepatuhan minum obat. Penyembuhan yang tuntas mencegah bakteri resisten obat.
Namun demikian, terobosan Yayasan Kusuma Buana ini tak akan berarti tanpa gerakan menyeluruh untuk menemukan kasus hilang yang amat besar jumlahnya di Indonesia. Memperingati Hari Tuberkulosis setiap 24 Maret, inilah pekerjaan rumah bersama para pemangku kepentingan.