JAKARTA, KOMPAS — Pasokan bahan pangan bagi warga Jakarta yang berasal dari wilayah sekitar Ibu Kota terindikasi terancam. Ini menyusul kecenderungan makin meluasnya permukiman urban sprawl yang sebagian berupa perumahan yang polanya kacau, tidak terencana, dan tersebar relatif ke segala arah.
Anggota Dewan Riset Daerah DKI, Profesor Riset (Emeritus) Jan Sopaheluwakan, Senin (19/3), mengatakan, proyeksi pada 2025 menyebutkan fenomena tersebut bisa menyebar hingga ke Karawang dan Cikampek, Jawa Barat. Kondisi ini akan menggerus lahan penghasil pangan yang biasa dikonsumsi warga Jakarta. ”Ancamannya tidak main-main,” katanya.
Bahkan, kecenderungan itu diperkirakan bakal meluas hingga kawasan Sukabumi. Selain beras, ketersediaan komoditas lain seperti sayur dikhawatirkan tergerus menyusul konversi lahan menjadi permukiman yang cenderung tersebar tanpa pola. Jan mengatakan, perkembangan yang cenderung bakal menimbulkan tekanan besar bagi Jakarta itu akan terjadi manakala tidak dilakukan tindakan-tindakan segera dengan pendekatan luar biasa untuk menghadapinya.
Menurut dia, pola sebaran permukiman mengikuti arah pembangunan jalan tol, baik dari arah barat ke timur serta utara menuju selatan. ”Jadi mulai dari Merak ke Cikampek, lalu Bogor dan terus ke Sukabumi,” katanya.
Itu terjadi karena ada semacam simbiosis mutualisme di antara industri jalan tol, properti, dan otomotif. ”Semua (warga di permukiman tersebut) pakai mobil di tol,” ujar Jan.
Sebelumnya dalam riset ”30 Years New Town Development in Greater Jakarta”, Liong Ju Tjung (Universitas Tarumanagara) dan Dimitar Anguelov (UCLA), mengungkap kecenderungan membesarnya fenonema urban sprawl dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini membimbing pada kesimpulan bahwa kebijakan pembangunan kota baru pada 1990-an telah gagal dalam menyediakan perumahan yang terjangkau bagi kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah dan menengah.
Padahal, latar belakang pembangunan kota baru di Indonesia dengan proyek skala besar ditujukan agar harga tanah bisa dikontrol. Selanjutnya bisa diatur agar cadangan tanah dapat tersedia dan mengurangi spekulasi harga lahan serta dimungkinkannya aplikasi konsep subsidi silang. Ini disusul Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 658-384 Tahun 1992 dengan aturan setiap pengusaha membangun dalam perbandingan 1:3:6, yaitu 1 rumah mewah, 3 rumah menengah, dan 6 rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Berdasarkan catatan Kompas, proyek-proyek pembangunan perumahan skala kecil (0,5 hektar-5 hektar) menjamur di sekitar kota baru. Di Tangerang Selatan, pemerintah lokal menerbitkan lebih dari 450 izin pembangunan perumahan kecil di Serpong dalam satu dekade terakhir. Harga properti dalam perumahan skala kecil itu lebih murah dari harga perumahan skala besar (pengembang besar). Akan tetapi, harga tersebut tetap menjadi relatif mahal bagi sebagian masyarakat.
Peneliti bidang Antropologi Perkotaan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rusli Cahyadi, sebelumnya mengatakan, fenomena urban sprawl terjadi karena harga lahan di kota mahal. ”Tetapi karena sprawling juga, (harga) lahan-lahan di luar kota jadi mahal,” kata Rusli.