Mengecat Tembok, Menata Mental
Jalan itu berupa tangga diapit tembok. Kadang tebersit enggan menginjak anak tangga yang penuh warna itu karena khawatir kotor. Di kanan dan kiri terpajang beragam gambar bunga hingga singa yang mencolok. Payung warna-warni melindungi pengunjung dari sengatan matahari.
Beberapa warga menawarkan air minum dan beragam makanan yang dipajang di depan rumah. Pengunjung berulang kali berswafoto (selfie), lagi, dan lagi. Mereka seolah khawatir melewatkan titik-titik menarik. Bisa habis baterai ponsel apabila mengikuti keinginan tersebut mengingat sekitar 90 rumah yang berderet di gang-gang itu dicat menarik.
Itu sekilas gambaran Kampung Jodipan di Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Kampung warna-warni tercipta atas ide sekelompok mahasiswa Hubungan Publik Universitas Muhammadiyah Malang— bernama kelompok Guyspro. Kelompok ini berusaha menyelesaikan tugas praktikum mata kuliah Manajemen Iklan.
Tugas praktikum itu dimaksudkan bisa menjadi agensi iklan yang bisa menjembatani kebutuhan klien (pengiklan). Mereka bekerja sama dengan perusahaan cat PT Inti Daya Guna Aneka Warna yang memanfaatkan dana tanggung jawab sosial perusahaan. Riset dilakukan tim dan terpilih Kampung Jodipan, satu dari 11 desa kumuh di Indonesia.
Akhir Mei 2016, program dimulai, pada Juni dicat, dan pertengahan Agustus 2016 pengecatan 90 rumah di sana tuntas yang menghabiskan 3 ton cat.
”Kami ingin menawarkan keindahan di kampung yang selama ini disebut kumuh. Warga setuju dengan program itu. Wajah kampung kini sudah berubah menjadi tempat wisata baru,” kata Nabila Firdausiyah, koordinator lapangan Guyspro. Teman Nabila lainnya, yaitu Dinni, Wahyu, Ahmad, Fahd, Salis, Elmi, dan Ira.
Setelah itu, kampung ini ramai dikunjungi orang. Kampung seberang sungai, di Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tepatnya di RT 001, 002, 003, dan 004, RW 012, ikut mewarnai diri lewat sentuhan Eddy Supriyanto (34), pemuda setempat. Berkat Eddy, kawasan itu disebut Kampung Tridi karena banyak gambar tiga dimensi.
Jodipan adalah virus kebaikan yang mudah menular ke penjuru Nusantara. Sebutlah Kelurahan Linggau Ulu dan Kelurahan Ulak Surung, Kecamatan Lubuk Linggau Barat II, Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, serta Dusun Pabyongan, Desa Mulyosari, Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, yang jelas-jelas terinspirasi Jodipan.
Kampung Pelangi di Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah, serta kawasan Kenjeran di Surabaya, Jawa Timur, mengikuti langkah serupa. Begitu juga dengan beberapa RW di Kelurahan Pondok Cina, Beji, Kota Depok, Jawa Barat.
Perubahan mental
Jodipan dulunya kumuh. Warga buang sampah sembarangan, termasuk ke sungai. Mereka juga malu keluar rumah karena tinggal di tempat kumuh. Kekumuhan memengaruhi harga diri.
”Sudah banyak perubahan di kampung ini. Hal yang paling mencolok, warga mulai menjaga kebersihan. Mereka tak lagi sembarangan membuang sampah ke sungai. Mereka punya usaha sehingga suasana kampung jadi hidup. Banyak orang jadi wirausaha baru,” kata Agus Prayitno, Ketua RT 001, Kampung Tridi.
Sutik, warga RW 012, Kelurahan Kesatrian, tidak lagi menghabiskan waktunya nongkrong di ujung gang. Kini, ia bersama teman-temannya bertugas mengelola parkir pengunjung. Tarifnya Rp 2.000 per sepeda. Sedikitnya 100 orang per hari berkunjung.
Pemandangan serupa terlihat di Kali Code di Kampung Gemblakan Bawah, Kelurahan Suryatmajan, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta, yang setahun terakhir telah menjelma menjadi ruang publik yang nyaman, terutama bagi anak-anak dan warga lanjut usia. Jalan setapak di kawasan itu telah diperlebar menjadi sekitar 3 meter dan kondisinya bersih serta tertata. Berbagai jenis tanaman di dalam pot tertata apik di sepanjang jalan, sementara tembok-tembok di sana dihiasi mural.
Kendaraan bermotor dilarang lewat sehingga anak-anak bisa leluasa bermain dan warga bisa bercengkerama dengan nyaman. Dulu, rumah-rumah di Kampung Gemblakan Bawah terlalu dekat dinding talud Kali Code, hanya menyisakan jalan setapak selebar 1 meter. Kondisinya kotor, amburadul, dan dipenuhi sepeda motor terparkir. Tahun 2012, muncul gagasan menata kawasan dan terlaksana pada 2016.
Penataan di Kampung Gemblakan Bawah dilakukan dengan merenovasi sejumlah rumah untuk memperlebar jalan. Sebagai gantinya, rumah-rumah itu direnovasi dengan menambahkan ruangan baru di atas bangunan lama. Rumah-rumah yang dulunya hanya memiliki satu lantai kini mempunyai dua lantai. Rumah yang semula membelakangi sungai kini menghadap sungai sehingga jalan itu praktis menjadi halaman rumah.
”Kalau bantaran itu menjadi halaman depan, bukan halaman belakang, masyarakat tentu akan menjaga kebersihannya,” kata Suparyanto (50), Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Suryatmajan.
Kesadaran menata lingkungan tidak selamanya datang dari warga. Ada kalanya harus didorong pemerintah setempat, seperti di Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang. Medio April 2017, sebanyak 429 rumah dicat warna- warni menggunakan dana Pemerintah Kota Semarang sebesar Rp 3 miliar. Selanjutnya, dianggarkan Rp 16 miliar untuk penataan lebih lanjut. Kampung ini kini disebut Kampung Pelangi.
Dulu kampung itu dikenal kumuh secara fisik dan sosial. Jalanan rusak dan rawan longsor saat musim hujan. Daerah ini juga menjadi salah satu titik padat penduduk serta sumber anak jalanan, pengemis, dan pemulung. Belakangan, tabiat warga berubah seiring banyaknya pengunjung yang menikmati keindahan Kampung Pelangi.
”Sejak tahun lalu, banyak perubahan. Selain banyak dikunjungi orang luar Semarang, bahkan luar negeri, masyarakat juga semakin menjaga kebersihan,” ujar Setyaningsih (49), warga.
Sejak dinobatkan sebagai kampung warna-warni pada 2015, Kenjeran yang kumuh, kotor, dan semrawut beralih rupa. Rumah warga diperbaiki dan dicat oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini beserta warga. Semua gang di tujuh kelurahan, yakni Sukolilo, Cumpat, Kedung Cowek, Nambangan, Kejawan, Bulak, dan Kenjeran, kini menawan.
”Sekarang kampung benar-benar sehat. Warga tak lagi sembarangan membuang sampah. Lihat, tak ada lagi tumpukan sampah di sekitar sini, kan,” kata Aisyah (34), ibu rumah tangga.
Kesadaran dan cat luntur
Ketika kesadaran itu tidak tumbuh dari dalam hati, hanya menghasilkan kesemuan, kesementaraan, ketergantungan. Ternyata membantu pengecatan perkampungan saja tidak cukup, perlu edukasi lebih jauh untuk menumbuhkan kesadaran yang lebih tahan lama. Warga yang hanya dijadikan sasaran proyek dan tidak dilibatkan lebih jauh akhirnya berbalik arah.
Sekitar satu tahun lalu, RT I- RT VI di Kelurahan Linggau Ulu dan Kelurahan Ulak Surung, Kecamatan Lubuk Linggau Barat II, Kota Lubuk Linggau, menjadi primadona wisata di Kota Lubuk Linggau. Kawasan yang mulanya kumuh dan rawan kejahatan ini disulap menjadi sangat menawan dengan beragam gambar dan corak warna yang cerah.
Namun, warna cat yang dulu terang benderang kini memudar berganti atribut pasangan calon yang akan mengikuti pilkada.
Itu pula yang terjadi di Kampung Kelir di Kelurahan Kroman, Kecamatan Gresik, Kota Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang kembali semrawut. Padahal, akhir 2016, daerah ini penuh warna. Itu karena warga tidak mau merawatnya dan hanya mengandalkan bantuan.
Seiring cat memudar, kesadaran untuk menjaga itu pun pudar. Sejatinya, mengecat tembok sejalan dengan menata mental.
(MHF/ETA/DIT/GRE/HRS/DIA/ACI/JUM/SYA/RAM)