Pawai Ogoh-ogoh dan Harmonisnya Hubungan Tiga Agama di Desa Balun
Oleh
ADI SUCIPTO KISSWARA
·3 menit baca
Pawai ogoh-ogoh di Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, kini bukan jadi bagian ritual umat Hindu semata. Tradisi tahunan itu menjadi magnet bagi ribuan warga Lamongan dan lainnya untuk menyaksikan langsung. Pawai itu menjadi destinasi wisata baru.
Hujan yang mengguyur tidak menyurutkan semangat umat Hindu di Desa Balun. Seusai sembahyang di Pura Swetta Maha Suci, mereka mengarak ogoh-ogoh keliling kampung. Jumat (16/3) sekitar pukul 15.30, delapan ogoh-ogoh, patung buta kala, simbol angkara murka, kejahatan, dan watak buruk manusia itu, mulai dikirab mengelilingi jalan-jalan di sudut kampung dengan dikawal mobil patroli polisi.
Pengunjung dan warga pun mengabadikan momen itu lewat telepon seluler, kamera digital, hingga menggunakan drone. Sejumlah warga bahkan meminta arak-arakan berhenti sejenak hanya untuk berswafoto dengan latar ogoh-ogoh yang diarak. ”Alon-alon, mandeg disik. Sik, aku tak selfie (Pelan-pelan, berhenti dulu. Sebentar, aku mau selfie),” kata Ninuk, seorang pengunjung.
Dari tahun ke tahun, arak-arakan ogoh-ogoh di Balun semakin meriah. Selain meriah pengunjungnya, tingkat partisipasi masyarakat yang mendukung dan menyukseskan acara itu makin tinggi.
Salah satu pemangku Pura Swetta Maha Suci, Adhi Wiyono, menyebutkan, umat Hindu ingin meningkatkan soliditas sebagai pelekat keberagaman dalam kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui renungan dan semangat Nyepi—tidak menyalakan api atau cahaya (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), tidak bekerja (amati karya), tidak menghibur diri (amati lelaguan), bahkan tidak makan minum (berpuasa) selama sehari—akan meningkatkan kesetiaan dan keakraban.
”Ini mengingatkan, manusia hidup bermasyarakat dan bertetangga dengan umat beragama lain. Kalau kita semua tidak meningkatkan keakraban persaudaraan, maka kita akan terpecah belah,” papar Adhi.
Kerukunan antarumat di Balun, menurut dia, patut ditiru daerah lain. Warga tak hanya saling menjaga saat berlangsungnya ibadah umat lain, mereka juga bertoleransi ketika ada peringatan keagamaan tiap-tiap agama.
Saat peringatan hari raya Nyepi seperti saat ini, warga yang beragama Islam dan Kristen ikut menjaga agar pawai dan pelaksanaan Nyepi umat Hindu bisa berlangsung khidmat. ”Bahkan tahun ini, dari delapan ogoh-ogoh yang diarak, tiga buah karya saudara kami yang Islam dan Kristen,” ujar Adhi.
Kepala Desa Balun Kusyairi saat memberangkatkan pawai ogoh-ogoh merasa bahagia sekaligus bangga, kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Balun terus terjaga. Kerukunan umat tiga agama, Islam, Kristen, dan Hindu, terus terpelihara. ”Kami bertekad agar Desa Balun sebagai destinasi wisata bisa lebih berkembang lagi,” ujarnya.
Dwi Pratiwi, warga Sugio, senang bisa melihat langsung pawai ogoh-ogoh. Ia merasa kagum dengan kerukunan Desa Balun. Bukan saja umatnya yang rukun, tempat ibadahnya juga berdekatan. Pura bahkan hanya dipisahkan jalan kampung selebar 6 meter dari Masjid Miftahul Huda. Masjid dengan Gereja Kristen Jawi Wetan hanya dipisahkan lapangan desa sekitar 100 meter jaraknya. ”Ini bukti riil kerukunan yang patut jadi percontohan,” ucapnya.
Pembuatan ogoh-ogoh dalam hari raya Nyepi tahun baru Saka 1940 semakin melengkapi bukti toleransi dan upaya warga menjunjung persaudaraan itu. Pemangku pura lainnya, Ngarijo, menyebutkan, tahun lalu, dua dari tujuh ogoh-ogoh merupakan partisipasi umat lain.
Kini, tiga dari delapan ogoh-ogoh merupakan partisipasi umat lain, termasuk sumbangsih Lamania Balun Raya, kelompok suporter Persela. Bahkan, pemuda Islam, Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dan para pemuda Kristen ikut menjaga kelancaran pawai ogoh-ogoh.