Cawapres dari Luar Parpol Sulit Dongkrak Elektabilitas
Oleh
DD05
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jokowi akan sulit mendongkrak elektabilitas jika mengusung calon wakil presiden dari luar parpol. Calon dari luar parpol cukup berisiko karena tidak memiliki basis massa yang kuat. Pemilu serentak juga membuat dinamisme perolehan suara menjadi lebih kompleks.
Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengatakan, elektabilitas Joko Widodo masih belum aman jika mengusung cawapres dari luar parpol. Menurut Abdul, berdasarkan sejumlah lembaga survei, elektabilitas Jokowi masih di angka 47 persen sampai 52 persen.
”Pada Pemilu 2009, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) berani mengusung Boediono yang tidak memiliki basis massa karena elektabilitas SBY di angka 70 persen,” ucap Abdul dalam diskusi ”Skenario Jokowi 2019: Apa Kriteria Cawapres” di Jakarta, Jumat (16/3).
Ia mengatakan, terlalu berisiko jika Jokowi mengusung nama cawapres dari luar parpol meskipun ia telah diusung lima parpol sebagai capres. Kelima parpol yang telah mengusung Jokowi adalah Partai Nasdem, Golkar, PDI-P, Hanura, dan PPP.
”Kalau kami lihat, Prabowo kemungkinan akan diusung oleh Partai Gerindra dan PKS, sudah memenuhi ambang batas presiden sebesar 20 persen. Parpol yang belum menentukan dukungannya adalah PAN, Demokrat, dan PKB,” ujarnya.
Poros ketiga antara PAN, Demorat, dan PKB bisa saja terbentuk, tetapi kecil peluangnya. Poros ini mampu memengaruhi elektabilitas salah satu calon nantinya. Abdul menyebutkan, dalam politik, bisa muncul hal yang tidak terduga dalam prosesnya.
Sementara itu, Sekjen Partai Nasdem Jhonny G Plate mengatakan, jika Jokowi memilih cawapres dari parpol, tentunya harus memiliki profesionalitas dan keahlian khusus di bidang tertentu.
Selain itu, cawapres yang diusung harus memiliki kontribusi elektoral bagi Jokowi. Namun, tidak tertutup kemungkinan juga Jokowi bisa mengusung nama dari luar parpol.
”Jika Jokowi mengusung nama dari luar parpol, tentunya dia sudah memikirkan posisi elektabilitasnya nanti. Saat ini juga sudah ada tim yang dibentuk Jokowi untuk mendiskusikan siapa saja nama cawapres yang akan diusung,” tutur Johnny.
Ketua DPP Pro Jokowi Budi Arie Setiadi mengatakan, sistem pemilu serentak pada 2019 juga menjadi pertimbangan capres dalam menentukan pasangannya. Sistem pemilu ini baru pertama kali terjadi di Indonesia, pemilu legislatif berlangsung secara bersamaan dengan pemilu presiden.
”Hal ini membuat skema politik menjadi dinamis. Semua bertarung secara bersamaan untuk perolehan suara,” ucapnya.
Budi mengatakan, Jokowi sebaiknya memilih cawapres yang tidak memiliki kepentingan pada 2024 nanti. Pasangan ini bisa membuat kepemimpinan nasional menjadi tidak harmonis. Selain itu, sejumlah kriteria cawapres, seperti militer, tokoh agama, dan ekonom, akan mengerucut sesuai visi dan misi Jokowi.
Calon yang pas
Abdul menjelaskan, pada saat Pemilu 2019 nanti, Jokowi akan menghadapi ancaman politik identitas. Menurut dia, untuk menghadapi tantangan tersebut, perlu sosok dari kalangan Muslim sebagai penyeimbang.
”Muhaimin Iskandar menjadi salah satu calon yang pas untuk Jokowi guna merepresentasikan basis agama. Kami bukannya ingin menunjukkan politik identitas, tetapi kami ingin menunjukkan pilihan strategis Islam yang moderat,” ujarnya.
Abdul mengatakan, pada Pemilu 2014, PKB menjadi salah satu parpol pendukung Jokowi. Menurut dia, kontribusi PKB ketika itu cukup besar untuk perebutan suara Jokowi di Jawa Timur. Hingga saat ini, PKB memang belum mengusung Jokowi sebagai capres.
”Apakah PKB akan menarik dukungan dari Jokowi jika Cak Imin (Muhaimin Iskandar) tidak dipilih sebagai cawapres? Saya belum mau berandai-andai,” lanjutnya.
Johnny mengatakan, Nasdem juga telah membentuk tim untuk merumuskan siapa cawapres yang kira-kira cocok untuk Jokowi. ”Dalam pilpres nanti, kami melakukan sistem politik tanpa syarat. Kami memberikan kebebasan kepada capres untuk menentukan siapa pasangannya,” ujarnya.