JAKARTA, KOMPAS -- Kondisi air tanah di Jakarta semakin memburuk. Hal ini akibat dari penyedotan air tanah secara berlebihan yang tidak diimbangi dengan proses serapan air yang optimal. Jika pengawasan tidak dilakukan secara ketat dan konservasi tidak berjalan baik, volume dan kualitas air tanah akan semakin menurun sehingga mengancam keberlanjutan di masa depan.
Menurunya kondisi air tanah di kawasan Jakarta dan sekitarnya terlihat dari data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2013. Data tersebut menunjukkan, sekitar 45 persen wilayah cekungan air tanah Jakarta berada pada kondisi rawan-rusak. Kondisi ini terjadi di lapisan ekuifer tertekan kedalaman 40 meter sampai 140 meter.
Kepala Balai Konservasi Air Tanah Badan Geologi Kementerian ESDM, Hendra Gunawan saat ditemui di kantornya di kawasan Jakarta Utara, Rabu (14/3) mengatakan, saat ini kondisi tersebut semakin memburuk. Hal itu terlihat saat survei yang dilakukan pada 2017 di kawasan Jakarta bagian Selatan (Jakarta Selatan hingga Tangeran Selatan). “Selama tiga tahun, permukaan air tanah di daerah tersebut menurun hingga 20 persen,” katanya.
Selain Jakarta bagian Selatan, area yang mengalami penurunan muka air tanah secara drastis adalah wilayah Penjaringan, Jakarta Utara dan Cakung, Jakarta Timur. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan wilayah industri. Menurunya muka air tanah bisa disebabkan karena penyedotan yang berlebih pada sumur produksi.
Pada 2017, tercatat sebanyak 4.500 sumur produksi yang beroperasi di kawasan Jakarta. Banyaknya penyedotan di sumur produksi ini dinilai menjadi salah satu penyebab menurunnya muka air tanah. Apabila tidak dikendalikan, penurunan air tanah ini bisa memicu terjadinya penurunan permukaan tanah hingga amblasan tanah di Jakarta.
Selain itu, kualitas air tanah di DKI pun menjadi buruk. Survei yang dilakukan Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2015 menunjukkan, pada lapisan akuifer bebas, dari 85 lokasi sumur yang dipantau, hanya ada 16 lokasi yang memenuhi baku mutu. Di lokasi akuifer tertekan, dari total 69 lokasi yang diambil sampelnya, hanya 12 lokasi yang airnya memenuhi baku mutu.
Standar baku mutu yang digunakan sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Air Minum.
“Butuh upaya holistik untuk mengatasi masalah air tanah di DKI, mulai dari pengawasan di sumur produksi, perluasan penyediaan air bersih perpipaan, konservasi total di bagian hulu (Depok dan Bogor), hingga meningkatkan penyerapan buatan seperti sumur resapan dan parit resapan di lingkungan masyarakat,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Sub Bidang Inventarisasi dan Konservasi Air Tanah Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Kementerian ESDM, Idham Effendi menilai, pengawasan pada pengambilan air tanah tanpa izin menjadi fokus utama yang harus dijalankan. Seharusnya, pada kawasan yang dikatakan rusak sudah tidak boleh ada pengambilan air tanah.
“Setidaknya larangan ini dilakukan hingga kondisi air tanah di kawasawan tersebut sudah pulih kembali. Di Tokyo contohnya, setelah pemeritah melarang adanya pengambilan air tanah, dalam 10 tahun kondisi air tanahnya sudah bisa pulih,” katanya.
Namun, larangan tersebut terkendala karena cakupan pemehuhan air bersih perpipaan di Jakarta belum menyeluruh. Perusahaan Daerah Air Minum baru bisa memasok sekitar 40 persen kebutuhan air bersih di DKI Jakarta. Untuk itu, sebagian besar masih bergantung pada penggunaan air tanah.
Serapan belum optimal
Fatchy Muhammad, ahli hidrogeologi dari Organisasi Masyarakat Air Indonesia menilai, penggunaan air tanah di Jakarta tidak diimbangi dengan resapan air yang baik. Selain ekploitasi air tanah lewat sumur produksi, kondisi tata ruang di Jakarta yang tidak baik juga memicu penurunan kulitas dan kuantitas air tanah.
“Sangat sedikit ruang terbuka hijau yang berfungsi Benjadi area resapan alami. Banyaknya gedung dan blok beton juga menyebabkan area resapan berkurang. Air hujan yang seharusnya meresap ke dalam akuifer dan menjadi simpanan air tanah, justru menggenang dan langsung dibuang ke laut. Hal ini mengakibatkan muka air tanah menjadi dalam saat musim kemarau,” kata Fatchy.
Sangat sedikit ruang terbuka hijau yang berfungsi Benjadi area resapan alami. Banyaknya gedung dan blok beton juga menyebabkan area resapan berkurang.
Ia berpendapat, beberapa langkah perlu dilakukan untuk meningkatakan potensi resapan air di wilayah Jakarta. Langkah itu seperti, mengembangkan ruang terbuka hijau hingga 14 persen, mengembangan ruang terbuka biru (waduk atau embung resapan) hingga 10 persen, membangun 3,7 juta sumur resapan dangkal dan dalam baik oleh pemerintah maupun masyarakat menengah atas, serta meningkatkan partisipasi masyarkat kelas bawah untuk melakukan biopori.
“Dengan cara ini, resapan air bisa maksimal hingga 70 persen. Banjir bisa berkurang, sumber daya air tanah tercukupi,” ucapnya.
Untuk itu, komitmen pemerintah harus terus didorong, baik untuk mengawasi penyedotan air tanah sesuai dengan regulasi, maupun meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola air tanah. Saat ini, sebagian masyarakat belum memikirkan persoalan dalam jangka panjang.
“Misalnya untuk membuat sumur resapan dengan kedalaman dangkal bisa bermanfaat seumur hidup tanpa bergantung pada aliran air perpipaan. Penyerapan yang optimal sama saja menyelamatkan generasi masa depan,” kata Fatchy. (DD04)