Tangkal Berita Bohong, Media Massa Harus Menjadi ”Hoax Buster”
Oleh
Ryan Rinaldy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berita bohong atau hoaks tak hanya marak di media sosial, tetapi juga berpotensi muncul dan ”menghantui” dalam pemberitaan di sejumlah media massa. Sebagai sumber yang menjadi rujukan masyarakat dalam mencari kebenaran informasi, media massa harus berperan sebagai penangkal hoaks atau hoax buster dengan menyajikan berita yang valid dan obyektif.
Pegiat media sosial Nukman Luthfie dalam diskusi bertajuk ”Hantu Hoax dalam Pemberitaan Media” di Hotel Oria, Jakarta Pusat, Rabu (14/3), mengatakan, hoaks sering diasosiasikan menyebar di media sosial oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Ternyata, hoaks juga kerap menyebar di sejumlah media massa karena beberapa faktor, salah satunya karena sebuah media buru-buru dalam menaikkan berita tanpa proses verifikasi. Dampaknya, akurasi berita dikorbankan. Berita yang tidak akurat tersebut umumnya baru diralat setelah ada komplain dari pembaca.
Hoaks juga kerap menyebar di sejumlah media massa karena beberapa faktor, salah satunya karena sebuah media buru-buru dalam menaikkan berita tanpa proses verifikasi. Dampaknya, akurasi berita dikorbankan. Berita yang tidak akurat tersebut umumnya baru diralat setelah ada komplain dari pembaca.
Selain itu, sejumlah media daring kerap memasang judul yang sensasional, atau dikenal dengan istilah clickbait (umpan klik), agar mengundang pembaca mengeklik berita tersebut. ”Fatalnya, persepsi publik bisa terbentuk hanya dari membaca judulnya,” ujar Nukman.
Berita bohong juga bisa tersebar lewat media massa karena media atau jurnalisnya bias dalam menulis pemberitaan. Tak hanya itu, berita yang ditulis juga kerap dipelintir. Jika bias dan dipelintir, berita yang disajikan kepada publik cenderung memojokkan pihak tertentu.
”Saya mengajak kepada seluruh jurnalis, di tengah banyaknya informasi palsu, kepada siapa lagi masyarakat mengandalkan kebenaran informasi? Media mainstream (arus utama) harus menjadi hoax buster,” tutur Nukman.
Selain Nukman, diskusi tersebut juga menghadirkan pembicara lain, yakni Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto; mantan wartawan Kompas Budiarto Shambazy; peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Rahadi T Wiratama; serta Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Muhammad Iqbal.
Saya mengajak kepada seluruh jurnalis, di tengah banyaknya informasi palsu, kepada siapa lagi masyarakat mengandalkan kebenaran informasi? Media ’mainstream’ (arus utama) harus menjadi ’hoax buster’.
Budiarto menuturkan, di era digital seperti saat ini, siapa pun bisa menulis di media sosial tanpa verifikasi. ”Media sosial menjadi wadah yang menyuburkan hoaks,” katanya.
Teror ”hantu” hoaks
Wawan mengucapkan, keberadaan berita bohong di media sosial ataupun media massa harus ditertibkan karena bisa mencabik-cabik keutuhan NKRI. Berita bohong, dalam era digital, harus diantisipasi karena penyebarannya berlangsung cepat, terutama di kalangan masyarakat yang tidak kritis dalam membaca informasi.
Menurut Wawan, informasi hoaks diibaratkan sebagai hantu karena berangkat dari hal yang tak nyata. Teror ”hantu” hoaks bisa dilakukan melalui penyebaran teks, gambar, atau video bohong yang begitu masif meneror ruang-ruang publik di internet, seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga pesan berantai Whatsapp.
Jika tidak waspada, teror hantu hoaks itu bisa dengan mudah tersebar sehingga memunculkan efek bola salju yang menggelinding makin besar. Hal itu akan menguras energi masyarakat karena bisa membingungkan mereka.
Guna mencegah penyebaran informasi hoaks, media massa berperan penting menghadapi bahaya berita-berita palsu ini. ”Bukan justru menjadi ruang untuk mengamplifikasi kebohongan tersebut,” ucap Wawan.
Terhadap penyebaran berita hoaks di media sosial atau media massa, penindakan tegas harus diberikan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Media yang tidak memenuhi administrasi Dewan Pers dan tidak memiliki dasar hukum juga didorong untuk ditutup.
Media massa berperan penting menghadapi bahaya berita-berita palsu ini. Bukan justru menjadi ruang untuk mengamplifikasi kebohongan tersebut.
Memasuki pesta demokrasi, ujar Iqbal, potensi konflik pasti akan meningkat. Salah satunya dipengaruhi pemberitaan bohong yang tersebar di media sosial. Polisi berkomitmen menindak tegas penyebar hoaks.
Akan tetapi, dalam praktiknya, polisi perlu bersinergi dengan berbagai pihak, termasuk media. Media massa diharapkan memberitakan secara obyektif dengan melakukan verifikasi terlebih dahulu.
”Jangan semata-mata ingin menaikkan berita duluan dibanding media lain, tetapi amburadul semua nantinya,” lanjut Iqbal.