JAKARTA, KOMPAS -Setidaknya 37.000 kontraktor swasta bangkrut selama tiga tahun terakhir karena tidak memperoleh proyek ataupun telat menerima bayaran. Salah satu penyebabnya diduga karena BUMN Konstruksi terlalu menguasai proyek-proyek infrastruktur yang dicanangkan pemerintah sehingga swasta kesulitan memperoleh proyek.
Hal itu mengemuka dalam diskusi KADIN Infrastructure Gathering bertajuk "Indonesia Infrastructure Incorporated" dengan tema "State Own and Private Companies Cooperation in Infrastructure Project", di Jakarta, Rabu (14/3).
Hadir sebagai pembicara antara lain Wakil Ketua Umum KADIN bidang Konstruksi dan Infrastruktur Erwin Aksa, Direktur Utama PT Brantas Abipraya (Persero) Bambang Harsono, Direktur Utama PT Istaka Karya (Persero) Sigit Winarto, Direktur PT Nindya Karya (Persero) Haedar Karim, Direktur PT Hutama Karya (Persero) Putut Aribowo, Direktur Utama PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk Lukman Hidayat, dan Chief Executive Officer PT Nusantara Infrastructure Tbk Ramdani Basri.
Sedangkan dari pihak kontraktor swasta nasional diwakili Wakil Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (Gapensi) Bambang Rachmadi dan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Irwan Kartiwan.
Bambang Rahmadi mengungkapkan, dari jumlah anggota Gapensi yang sebanyak 80.000 badan usaha jasa konstruksi, kini anggotanya susut hampir setengahnya menjadi sekitar 43.000 kontraktor saja.
"Sekitar 37.000 kontraktor itu berhenti bekerja. Entah bangkrut atau telat menerima bayaran lalu bangkrut juga. Anggota kami berkurang begitu banyak dalam waktu tiga tahun terakhir," ujar Bambang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2018, total jumlah kontraktor di seluruh Indonesia mencapai 133.110 badan usaha. Artinya, jumlah 37.000 itu setara dengan 27 persen total jumlah kontraktor.
Jumlah 37.000 itu setara dengan 27 persen total jumlah kontraktor
Jumlah 37.000 kontraktor yang berhenti itu baru anggota dari Gapensi, belum jumlah anggota dari asosiasi kontraktor swasta lainnya yakni Gapeksindo. Adapun saat dimintai keterangan, Ketua Umum Gapeksindo Irwan Kartiwan menolak memberikan informasi.
Bambang menjelaskan, hal ini salah satunya disebabkan karena BUMN Konstruksi terlalu menguasai proyek konstruksi dan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah. Akibatnya, kontraktor swasta tidak mendapatkan proyek.
Ia menjelaskan dari total proyek infrastruktur nasional selama 2014-2019 yang bernilai lebih dari Rp 4.000 triliun, sebanyak 55 persen \'kue\'nya dinikmati sembilan BUMN Karya. Selebihnya 45 persen lainnya dibagi kepada lebih dari 120.000 kontraktor swasta.
BUMN Konstruksi terlalu menguasai proyek konstruksi dan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah. Akibatnya, kontraktor swasta tidak mendapatkan proyek
"Kalau tidak mendapatkan proyek, kontraktor dapat uangnya dari mana? Iklim usaha seperti ini jelas tidak sehat," ujar Bambang.
Mengutip data Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR pada 2018 terdapat 4.971 paket pekerjaan konstruksi dengan nilai Rp 59,96 triliun. Paket pekerjaan itu terdiri dari paket kecil, menengah, besar, dan sangat besar.
Paket konstruksi kecil adalah pekerjaan dengan nilai proyek Rp 0 - Rp 2,5 miliar, paket menengah adalah proyek dengan nilai Rp 2,5 miliar - Rp 10 miliar. Sedangkan paket besar memiliki nilai proyek Rp 50 miliar - Rp 100 miliar, adapun proyek sangat besar memiliki nilai lebih dari Rp 100 miliar.
Bambang menjelaskan, hanya 2-3 persen perusahaan konstruksi swasta nasional yang mampu mengerjakan proyek sangat besar. Selebihnya sebanyak 97 persen kontraktor swasta lainnya harus puas dengan mengerjakan proyek kecil dan menengah.
Kalau tidak mendapatkan proyek, kontraktor dapat uangnya dari mana? Iklim usaha seperti ini jelas tidak sehat
Padahal, proyek-proyek diatas Rp 100 miliar kebanyakan adalah proyek infrastruktur yang dicanangkan pemerintah. Kontraktor swasta nasional yang besar tersebut masih harus bersaing dengan BUMN Karya. Bahkan tidak jarang BUMN Karya memperoleh penunjukkan dari pemerintah untuk membangun infrastruktur.
Makro ekonomi
Erwin Aksa menduga pembagian \'kue\' proyek infrastruktur yang tidak merata ini yang menyebabkan anomali pertumbuhan ekonomi.
Ia menjelaskan, pemerintah berulang kali menekankan pembangunan infrastruktur bisa jadi motor ekonomi. Namun, dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen saja.
Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 laju pertumbuhan sektor konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2017 mencapai 6,79 persen. Sektor konstruksi duduk di posisi kelima dibawah sektor informasi & komunikasi (9,81 persen), jasa lainnya (8,56 persen), transportasi & pergudangan (8,49 persen), dan jasa perusahaan (8,44 persen).
"Pembangunan infrastrukturnya kencang sekali tapi kok pertumbuhan ekonominya tidak kencang? Berarti ini ada yang salah," ujar Erwin.
Ia mengatakan, dampak pembangunan infrastruktur memang tidak bisa dirasakan dalam waktu singkat dan perlu beberapa tahun mendatang. Namun, dampak bergulirnya dana pembangunan dan proses pembangunan infrastruktur diduga belum mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
Chief Executive Officer PT Nusantara Infrastructure tbk Ramdani Basri mengatakan, BUMN tidak bisa terus menerus \'sendirian\' menanggung beban pembangunan infrastruktur. Sebab, keuangan kas BUMN akan terkuras dan mengganggu arus kas.
"Itu merugikan BUMN sendiri. Swasta sangat harus dilibatkan," ujar Ramdani.
Kerja sama
Direkur Utama PT Brantas Abipraya Bambang Harsono membantah anggapan BUMN Karya tidak berbagi kue dengan kontraktor swasta.
"Proyek-proyek kami banyak sekali bekerja sama menggandeng kontraktor swasta sebagai sub-kon. Pemasok bahan baku material kami juga perusahaan swasta," ujar Harsono.
Ia juga membantah anggapan, BUMN lebih diprioritaskan dalam berbagai tender.
"Saya juga pernah kalah dalam tender. Ini natural saja. Jangan didikotomikan," ujar Harsono.
Proyek-proyek kami banyak sekali bekerja sama menggandeng kontraktor swasta sebagai sub-kon. Pemasok bahan baku material kami juga perusahaan swasta
Bambang Rahmadi mengatakan, pihak tidak keberatan menjadi sub-kon proyek-proyek BUMN Karya. Hanya saja, pembayarannya juga harus tepat waktu.
Namun, yang lebih penting lagi, lanjut Bambang Harsono, swasta harus mulai lebih banyak dilibatkan setara atau menjalin join operation (JO) dengan BUMN Karya dalam proyek infrastruktur. Artinya, swasta dan BUMN Karya sama-sama menjadi kontraktor utama dalam proyek infrastruktur.
"Kalau JO itu kan kita sama-sama yang pegang uang. Kalau jadi sub-kon, kami yang menunggu pembayaran, ujar Bambang Rahmadi.
Ia mengatakan, kerja sama itu perlu segera dibangun untuk mencegah sentimen swasta terhadap BUMN. Sentimen itu, lanjut Bambang, bisa dimobilisasi menjadi gerakan yang dikhawatirkan menganggu keberlanjutan pembangunan infrastruktur.
"Jangan sampai sentimen itu ditunggangi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab yang justru malah bisa membahayakan program infrastruktur Pak Jokowi," ujar Bambang Rahmadi.