Pemberantasan Hoaks Perlu Pertimbangkan Asas Demokrasi
Oleh
DD05
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan hoaks di Indonesia harus mementingkan asas demokrasi. Meski Indonesia sedang dalam masa darurat hoaks, perlu ada mekanisme yang mengatur pembelaan bagi para tersangka. Mekanisme ini juga bertujuan untuk memberi batasan yang jelas antara ujaran kebencian dengan kritik kepada pemerintah.
Ketua Jaringan Wartawan Anti Hoaks (Jawarah) Agus Sudibyo mengatakan, dalam rezim darurat, pemerintah berwenangan menindakan tegas dan kondisional orang yang diduga menyebarkan hoaks.
“Namun, rezim darurat ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Harus dipikirkan juga rezim demokrasi terkait penindakan para penyebar hoaks,” ucapnya dalam diskusi publik bertema "Pemberantasan Hoaks, Kepentingan Nasional dan Demokrasi Kita" di Jakarta, Selasa (13/3).
Menurut Agus, para penyebar hoaks perlu diberikan kesempatan untuk membela diri dan menjelaskan apakah konten yang disebarkan itu berupa hoaks atau tidak. Selain itu, Agus merasa, perusahaan media sosial juga perlu bertanggung jawab terkait penyebaran hoaks ini.
“Perusahaan media sosial seperti facebook dan twitter perlu membuka kantor unit penanganan hoaks di Indonesia. Unit tersebut harus menutup konten-konten yang bermuatan hoaks dalam waktu 24 jam,” ujarnya.
Agus menjelaskan, perlu adanya lembaga independen yang menangani pemberantasan hoaks. Lembaga ini terdiri dari anggota masyarakat sipil, perwakilan perusahaan media sosial, Polri, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Tujuannya untuk menciptakan aspek partisipatif dan transparasi pemberantasan hoaks di masyarakat.
Perusahaan media sosial seperti facebook dan twitter perlu membuka kantor unit penanganan hoaks di Indonesia. Unit tersebut harus menutup konten-konten yang bermuatan hoaks dalam waktu 24 jam
“Perlu juga dibentuk mekanisme yang mengatur batasan antara kritik terhadap pemerintah dan ujaran kebencian. Beberapa akun riskan ditutup karena tidak ada mekanisme yang mengatur perbedaan antara kritik dan ujaran kebencian,” katanya.
Kepala Biro Multimedia Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto menjelaskan, Polri telah profesional dalam melakukan pemberantasan hoaks. Proses yang dilakukan adalah melacak jejak para penyebar hoaks melalui jaringan media sosial. Selain itu, polisi berpedoman pada payung hukum UU ITE pasal 28 tentang berita palsu/hoax dan ujaran kebencian.
“Polisi telah melihat bahwa oknum-oknum seperti Saracen dan MCA itu pemecah belah bangsa. Meski mereka tidak terstruktur, tetapi mereka terorganisir dan memiliki kesamaan militansi dalam menyebar hoaks,” ujarnya.
Saat ini, polisi telah membentuk satgas anti hoaks untuk mengamankan Pilkada 2018. Namun, menurut Rikwanto, polisi belum menemukan keterkaitan antara penyebar hoaks dengan ormas atau parpol tertentu.
“Motif penyebar hoaks ini macam-macam, ada yang bermotif ekonomi, politik, maupun ideologi. Jadi bukti-bukti akan kami kumpulkan dahulu, dan belum bisa kami buat kesimpulan,” katanya.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo Niken Pudjiastuti mengatakan, untuk membedakan antara hoaks atau kritik terhadap pemerintah perlu upaya kritis dari masyarakat. Menurutnya, terkadang hoaks yang beredar juga disertai data, namun data yang ditampilkan tidak logis.
“Seperti ada hoaks yang beredar terkait kedatangan 10 juta pekerja dari China ke Jakarta dalam waktu satu minggu. Hal itu tidak logis, jika dikaji dari sisi jumlah penerbangan yang masuk ke Jakarta, serta perbandingan jumlah masyarakat Jakarta yang berjumlah sekitar 10 juta orang,” ucapnya.
Menurut Niken, saat ini Kominfo terus aktif dalam memberikan literasi media kepada masyarakat, serta melakukan klarifikasi resmi sebagai counter narasi terhadap berita hoaks. Ia juga mengatakan, masyarakat perlu melakukan pengaduan hoaks tersebut ke Kominfo agar segera dilakukan penindakan.
“Tidak henti-hentinya kami mengimbau agar masyarakat juga mengklarifikasi hoaks dengan media mainstream, untuk membandingkan kebenarannya,” ujarnya. (DD05)