KUTACANE, KOMPAS — Wisata alam di kawasan ekosistem Leuser menjadi andalan bagi desa-desa penyangga yang berada di Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh. Dalam beberapa tahun, tingkat kunjungan wisatawan asing merangkak naik. Namun, infrastruktur wisata dan peningkatan sumber daya manusia masih minim.
Desa penyangga di kawasan Leuser yang menjadi tujuan wisata di antaranya Desa Kedah Penosan Sepakat, Kecamatan Kotapanjang, Gayo Lues, dan Desa Ketambe, Kecamatan Ketambe, Aceh Tenggara. Para turis asing berkunjung ke Leuser untuk menikmati suasana hutan alami dan mengamati satwa liar.
Pemilik usaha penginapan Rainforest Ludge di Kedah, Rajali Jemali, Senin (12/3), mengatakan, jumlah kunjungan turis asing ke Kedah 1.000-1.200 orang per tahun. Sejak 2010, tingkat kunjungan naik sekitar 10 persen per tahun.
Rajali menawarkan paket wisata pendakian Gunung Leuser hingga ke puncak dengan ketinggian 3.404 meter di atas permukaan laut. Butuh waktu 10-13 hari mencapai puncak dan kembali ke titik awal pendakian. Kedah merupakan satu-satunya gerbang pendakian ke puncak Gunung Leuser. Selain mengelola penginapan, Rajali juga memandu turis asing melakukan pendakian ke puncak Gunung Leuser.
Pengelolaan wisata Leuser di Kedah berdampak positif terhadap ekonomi warga. Para anak muda kini menjadi pemandu pendakian ke puncak. Mereka dibayar Rp 150.000 per hari per turis. Saat tidak ada kunjungan, mereka mengelola kebun.
”Pendakian Gunung Leuser sangat diminati oleh turis asing, tetapi selama ini promosi lemah sehingga sedikit turis yang ke sini,” kata Rajali. Promosi wisata Leuser dilakukan secara konvensional, belum menggunakan kemajuan teknologi digital.
Rajali menambahkan, pengelolaan ekowisata Leuser di Kedah dilakukan warga, sedangkan dukungan pemerintah masih kurang. Dia mencontohkan, penginapan terbatas, jalan menuju lokasi pendakian sempit, dan sinyal telepon belum lancar.
Sementara di Desa Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, kunjungan turis asing dalam setahun mencapai 1.500 orang. Ketambe berbatasan langsung ke TNGL. Desa ini memiliki kekayaan alam yang masih alami seperti hutan, sungai, dan beragam satwa liar. Kekayaan alam tersebut menjadi andalan yang ditawarkan kepada turis asing.
Pemilik Wisma Cinta Alam di Ketamber, Teuku Yaknana Johan, mengatakan, kondisi hutan yang alami dan keberadaan satwa liar menjadi daya tarik bagi turis asing. ”Banyak turis jauh-jauh ke sini hanya untuk melihat orangutan liar di Leuser,” kata Teuku.
Di Ketambe terdapat tujuh usaha penginapan. Sebagian warga menjadi pemandu wisata di samping bekerja sebagai petani di kebun sendiri. Menurut Teuku, warga mulai merasakan manfaat dari wisata di Ketambe, tetapi sumber daya manusia masih rendah. ”Kami tidak pandai promosi, padahal potensi alam di sini sangat besar. Kami perlu peningkatan sumber daya manusia,” kata Teuku.
Kepala Dinas Pariwisata Gayo Lues Syafruddin mengatakan, pihaknya terkendala anggaran untuk melakukan promosi ekowisata Leuser. Promosi hanya dilakukan melalui website resmi pemerintah kabupaten. Pemkab, kata Syafruddin, lebih mendorong pengeloaan dilakukan oleh warga agar manfaat dari kedatangan turis dirasakan langsung oleh warga.
”Wisata alam Gayo Lues punya potensi yang besar, tetapi kontribusi sektor wisata terhadap pendapatan daerah masih rendah,” kata Syafruddin.
Menurut Syafruddin, penyebab kunjungan minim ialah terkendala transportasi. Bandara di Gayo Lues hanya dapat menampung pesawat perintis dengan kapasitas penumpang 11 orang. Jika ditempuh lewat jalur darat butuh waktu lebih lama. Delapan jam dari Bandara Rembele Kabupaten Bener Meriah dan 10 jam dari Kota Medan Sumatera Utara.