Curi-curi Kesempatan PKL Tanah Abang
Rusdiyanto (40) kecolongan. Dua patung peraga pakaian yang ia jual jatuh ke selokan di lapak jualannya di sisi timur Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lapak yang luasnya sekitar empat meter persegi itu hanya dilengkapi tenda plastik beratap tanpa dinding.
”Kalau hujan dan angin kencang memang seperti ini, patung-patung roboh, baju yang masuk ke selokan harus dicuci lagi di rumah,” kata pedagang kaki lima (PKL) yang akrab disapa Yanto itu di Jakarta, Senin (12/3).
Yanto mengatakan, seluruh PKL yang mendapatkan lapak hasil penutupan Jalan Jatibaru Raya oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada akhir Desember 2017 itu harus selalu siap siaga jika hujan. Mereka memasang terpal plastik di antara dua tenda yang berhadapan untuk menampung air. Selain itu, mereka pun masih perlu melapisi barang dagangan dengan plastik.
Meski tidak nyaman, para PKL tidak peduli. Menurut Yanto, berdagang di lokasi yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI itu jauh lebih menguntungkan ketimbang di tempat lain. Sebelumnya, penjual pakaian itu menyewa lapak di tepi trotoar di jalan yang sama. Ia harus membayar uang sewa sebesar Rp 200.000 per hari, sewa gudang Rp 10.000 per hari, upah kurir, biaya kebersihan, dan iuran keamanan ilegal.
Sementara itu, berkat penataan PKL oleh Pemprov, mereka pun berdagang tanpa pungutan. Dengan satu syarat, yaitu warga DKI.
Secara terpisah, Kepala Suku Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Perdagangan Jakarta Pusat Bangun Richard Hutagalung mengatakan, total pedagang yang menempati lapak 372 orang. Mereka semua telah menyerahkan data diri dan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP). Selain itu, PKL juga dimintai surat pernyataan bahwa mereka merupakan pedagang yang semula beraktivitas di trotoar dan bersedia memelihara dan bertanggung jawab terhadap tenda masing-masing.
”Pedagang tidak boleh berganti-ganti. Jika PKL tidak berdagang selama tiga hari tanpa pemberitahuan, mereka akan kami keluarkan,” kata Richard.
Untuk memastikan hal tersebut, Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan melaksanakan piket secara bergantian setiap hari. Menurut Richard, pihaknya dan pedagang telah saling mengenal. ”Jika ada wajah baru, pasti ketahuan,” ucapnya. ”Apabila kami menemukan PKL yang menyewakan lapaknya, akan kami keluarkan dan ganti dengan PKL lain yang sudah terdata, tetapi tidak bisa masuk ke sana,” kata Richard.
Yanto mengatakan, meski sudah 24 tahun tinggal di Ibu Kota, ia tidak memiliki KTP DKI. Lelaki asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat, itu berjualan di Jalan Jatibaru Raya berkat bantuan sang kakak. ”Kakak saya yang mengurus administrasi ke kecamatan. Lalu saya diminta untuk berjualan di sini,” ujarnya.
Ia menambahkan, aktivitasnya di lapak itu baru dimulai tiga minggu lalu. Sebelumnya, lapak itu dibiarkan kosong. Kakak Yanto sendiri memiliki tempat berjualan lain di sekitar trotoar Jalan Jatibaru Raya.
Menurut Yanto, tidak semua PKL yang mendaftarkan diri ke kecamatan menggunakan lapak yang dijatahkan untuknya. Beberapa dari mereka justru menyewakannya kepada PKL lain.
Ia mengatakan mengenal dua pedagang yang menyewa lapak, yaitu tepat berada di sebelahnya dan di seberangnya. Mereka adalah penjual batagor dan celana jins. Mereka membayar sewa Rp 3 juta per bulan. ”Mungkin hanya saya yang tidak membayar sewa karena pemilik lapak masih berhubungan darah,” katanya dengan suara lirih.
PKL lain yang menyewa lapak antara lain Danu (19). Pemuda asal Rangkasbitung, Banten, itu sudah berdagang sejak lapak dibuka. Ia yang menjual aksesori perempuan menyewa lapak seharga Rp 4 juta per bulan.
Oleh karena harga sewa yang terlalu mahal, lapak itu pun dibagi dua dengan penjual celana jins. Danu yang hanya mendapatkan lahan selebar 80 sentimeter berkewajiban membayar Rp 1,5 juta per bulan. Sisanya ditanggung oleh rekannya.
Danu menyadari, tindakan yang ia lakukan telah melanggar ketentuan awal penataan PKL Tanah Abang. Akan tetapi, ia menganggap pelanggaran tersebut sebagai hal yang lumrah. ”Sekitar 90 persen PKL itu mendapatkan lapak dengan menyewa, yang saya tahu hanya satu pedagang yang memang sejak awal mendaftar ke pemerintah,” ucapnya sambil menunjuk ke pedagang pakaian dalam di lapak sebelah miliknya.
Baik Yanto maupun Danu merasa juga tidak pernah terancam meski telah melanggar peraturan. ”Tidak pernah ada orang dari pemerintah yang mengawasi kami,” kata Danu.
Mereka hanya khawatir dengan kepastian batas waktu penataan PKL yang tak kunjung ada. Menurut Danu, lokasi berjualan itu amat strategis karena tepat di depan pintu Stasiun Tanah Abang.
Sepanjang siang hingga sore, pengawasan sisi timur Jalan Jatibaru Raya hanya dilakukan oleh beberapa petugas Dinas Perhubungan dan Satuan Polisi Pamong Praja. Mereka fokus pada pengaturan lalu lintas, tidak satu pun tampak mengurusi identitas PKL.
Pada pukul 17.00, para PKL di lapak tenda mulai meninggalkan tempat tersebut. Akan tetapi, PKL lain mulai berdatangan. Mereka menempati sisi barat Jalan Jatibaru Raya, baik di badan jalan maupun di trotoar. Para petugas pun tidak menertibkan mereka. Beberapa justru asyik menikmati sore sambil bercengkerama dengan para PKL.
Digugat
Penataan PKL Tanah Abang menuai gugatan dari Sekretaris Cyber Indonesia Jack Boyd Lapian, akhir Februari lalu. Ia melaporkan Anies Baswedan terkait kebijakan menutup Jalan Jatibaru Raya yang diduga melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ferdi Iriawan mengatakan, untuk menindaklanjuti laporan tersebut, pihaknya memeriksa saksi dari empat pihak, yaitu Dinas Perhubungan, Pemprov DKI, ahli dari Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD), dan ahli dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Ditjen Hubdat, Kemenhub). Dari keempat pihak tersebut, hanya ahli dari Ditjen Hubdat yang belum memenuhi panggilan pemeriksaan.
”Hari ini kami sudah memeriksa Kepala Subbagian Peraturan Pelaksanaan Biro Hukum Pemprov DKI R Okie Wibowo. Pemeriksaan berfokus pada dasar hukum kebijakan penataan kawasan Tanah Abang,” kata Ferdi.
Seusai diperiksa sekitar lima jam, Okie mengatakan menerima 27 pertanyaan mengenai kebijakan penataan kawasan Tanah Abang. Ia membawa data-data, seperti Instruksi Gubernur Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penataan Kawasan Tanah Abang dan kajian serta saran Biro Hukum terkait kebijakan tersebut.
Menurut Okie, penataan tersebut memang tidak memiliki peraturan, kecuali instruksi gubernur. Gubernur hanya memerintahkan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan kepala dinas terkait untuk menata kawasan Tanah Abang.
Selain itu, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya pun telah memberikan rekomendasi untuk mengevaluasi ulang kebijakan penataan tersebut. Salah satu rekomendasi yang diberikan adalah untuk membuka kembali Jalan Jatibaru untuk kendaraan bermotor (Kompas, 15/2).
Di tengah berbagai drama dalam penataan Tanah Abang, Yanto dan Danu pasrah. ”Kami ikut saja. Kalau masih diizinkan berdagang, kami akan melanjutkan. Jika tidak, kami akan pindah,” ujar Danu.
Meski demikian, tidak ada jaminan kepindahan para PKL akan menuju lokasi legal dan dengan cara yang sesuai prosedur. Penataan PKL membutuhkan strategi dan kajian yang matang serta berkelanjutan.