Kemajuan teknologi memberi kemudahan pembelajaran. Materi dalam bentuk buku dan kertas kini bermigrasi ke versi digital, yakni dalam wujud e-book. Dengan beragam aplikasi, pembelajaran bahkan bisa dilakukan tanpa tatap muka secara langsung di kelas dalam kegiatan yang disebut e-learning.
Namun, pada hakikatnya perangkat teknologi hanyalah alat bantu pembelajaran. Kecerdasan buatan boleh saja hadir dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, untuk urusan pendidikan, peran manusia tak bisa tergantikan. Sejumlah peran yang mengandalkan sentuhan manusia mustahil digantikan teknologi. Sederet peran itu hanya dapat dimainkan guru melalui interaksi dinamis dengan murid, mencakup fungsi pengajaran, pendidikan, dan transformasi ilmu pengetahuan kepada siswa. Untuk itu, dituntut pula tampilnya sosok guru yang berasal dari orang-orang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Tentu saja, untuk melahirkan pendidik yang mumpuni diperlukan proses pendidikan yang memadai pula. Institusi yang mendidik dan menyiapkan calon guru lazim disebut lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Wujudnya sebagian dalam bentuk universitas (dulu dikenal dengan IKIP). Sebagian lagi dalam wujud yang lebih mikro, yakni fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP).
Bahkan, ada yang dalam skala program studi. Masalahnya, dengan menjamurnya LPTK, proses pendidikan calon pendidik berjalan secara tak terkendali. Jumlah lulusan lembaga tersebut meluber. Sementara yang layak terserap untuk ikut pendidikan profesi hingga menjadi pegawai negeri sipil (PNS) hanya sebagian kecil.
Peta jalan
Mengenai sumber daya manusia yang layak menyandang profesi guru, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan peta jalan ke arah itu. Regulasi tersebut menempatkan guru sebagai profesi terhormat dengan segala syarat dan konsekuensinya. Untuk meraih predikat guru profesional disyaratkan setidaknya empat kompetensi, mencakup aspek pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mendidik dan memahami kondisi siswa sehingga dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran, diikuti evaluasi dan pengembangan potensi peserta didik. Aspek kepribadian mencerminkan sosok berkarakter tangguh, percaya diri, inspiratif, berwibawa, dan menjadi teladan di mata siswa. Profesional dimaksudkan menunjukkan kemampuan penguasaan materi yang diajarkannya serta memahami struktur dan metodologi keilmuannya. Adapun kompetensi sosial merujuk pada kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa, dan masyarakat sekitar.
Keempat kemampuan itu dipersyaratkan diraih melalui pendidikan profesi. Program pendidikan profesi guru (prajabatan) diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan sarjana kependidikan dan sarjana nonkependidikan agar menguasai kompetensi guru secara utuh. Para guru yang sudah telanjur mengajar diberi kesempatan mengikuti program sertifikasi agar memenuhi syarat-syarat profesionalisme. Pemenuhan syarat-syarat itu berkonsekuensi pada kesejahteraan guru.
Kompetensi-kompetensi tersebut dapat dimaknai bahwa pekerjaan guru hanya bisa dilakoni oleh orang-orang terbaik atau memiliki kemampuan di atas rata-rata. Itu juga mendasari mengapa guru mendapatkan penghasilan di atas rata-rata.
UU Guru dan Dosen menyatakan, semua guru berhak memperoleh penghasilan yang layak di atas kebutuhan hidup minimum. Juga diatur bahwa sejumlah tunjangan melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan tunjangan lain (termasuk tunjangan kemahalan jika bertugas di daerah terpencil). Singkatnya, seorang guru profesional dapat meraih penghasilan tiga-empat kali lipat dari penghasilan PNS lain.
Lalu, apa yang hendak dicari ketika lulusan SMA dan para guru yang belum sarjana berlomba-lomba mengenyam bangku kuliah di LPTK? Sudahkah mereka melihat kesiapan LPTK itu menempanya meraih cita-cita? Dengan tugas profetik yang diincarnya, sudahkah juga mereka meraba kemampuan diri?
Rupanya, 13 tahun setelah UU Guru dan Dosen terbit, masih ada bertumpuk pekerjaan rumah untuk mengatasi persoalan klasik: kekurangan guru dari sisi jumlah dan mutu. (NASRULLAH NARA)