Tentara Itu Sederhana Sekaligus Profesional
Seiring dengan reformasi, militer kita yang semula disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI berubah nama menjadi TNI atau Tentara Nasional Indonesia. Salah satu yang tak berubah antara lain tuntutan agar TNI bisa memberi contoh hidup sederhana sekaligus profesional dalam menjalankan kewajibannya.
Silmy Karim dalam tulisannya yang dimuat harian Kompas, 14 Oktober 2008, mengingatkan, TNI yang profesional menjadi suatu keniscayaan agar kehidupan berbangsa berlangsung aman. Namun, adilkah apabila warga sipil bisa menjadi orang terkaya atau memimpin daerah, tetapi militer hanya tinggal di barak, hidup sederhana, tetapi harus selalu bersiaga mempertaruhkan nyawa?
Untuk mewujudkan TNI yang profesional, para anggotanya harus mendapatkan dukungan moril dan material yang relatif cukup untuk kelangsungan hidup mereka beserta keluarga.
Untuk mewujudkan TNI yang profesional, para anggotanya harus mendapatkan dukungan moril dan material yang relatif cukup untuk kelangsungan hidup mereka beserta keluarga. Silmy pun mengutip Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 49, ”Setiap prajurit TNI berhak memperoleh penghasilan yang layak dan dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”.
Sebelumnya, dalam tulisannya pada Kompas, 23 Maret 1992, Sayidiman Suryohadiprojo mengingatkan nilai-nilai ABRI dalam perubahan kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai tertentu, seperti patriotisme, rasa tanggung jawab, dan loyalitas terhadap bangsa dan negara mungkin sudah melekat dalam dada setiap prajurit.
Namun, nilai-nilai yang berkaitan dengan moralitas seperti kesederhanaan, jujur, berani karena benar, dan kerja keras harus terus-menerus diingatkan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang materialistis. Bagaimanapun materialisme itu memengaruhi kehidupan para prajurit.
Hal itu perlu ditekankan meskipun bagi para prajurit menjalani hidup sederhana bukanlah hal baru. Kompas, 25 Mei 1972, menulis tentang keprihatinan Kasad Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah saat meresmikan pemakaian 162 rumah sederhana untuk prajurit Kodam V/Jaya di Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Sementara, masih ribuan prajurit lagi yang belum mempunyai rumah tinggal tetap. Mereka tinggal di losmen-losmen murah atau mendiami rumah-rumah rakyat yang kondisinya memprihatinkan. Untuk membantu para prajurit, TNI AD menargetkan pembangunan 4.000 rumah bagi para prajurit sampai tahun 1974.
Pada 1970-an, tidak hanya TNI AD yang kesulitan mendapatkan rumah layak bagi para prajurit, tetapi juga TNI AL dan TNI AU. Kompas, 27 Januari 1973, antara lain memuat berita tentang pembangunan 186 rumah sederhana di kawasan Sunter, Tanjung Priok, Jakarta Utara, untuk sebagian anggota TNI AL.
Menurut Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Sudomo, TNI AL masih harus memikirkan 27.000 anggotanya yang belum mempunyai tempat tinggal. Rumah di kawasan Sunter itu pun dibeli personel TNI AL dengan cara mencicil dalam jangka waktu 10 tahun. Di kompleks tersebut, selain rumah untuk pimpinan AL, juga dibangun rumah untuk perwira, bintara, ataupun tamtama.
Kesejahteraan
”Untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, pada 1970-an, Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean antara lain menetapkan pembangunan 4.100 rumah sederhana bagi prajurit. Dana untuk pembangunan rumah sederhana itu diambil dari kelebihan anggaran tahun 1973/1974”. Ini adalah kutipan dari berita yang dimuat Kompas, 9 Maret 1974, atau tepat 44 tahun lalu.
Selain itu, mulai 1 April 1974 gaji prajurit ABRI naik 200 persen. Uang lauk-pauk bagi mereka yang semula Rp 50 per hari meningkat pula menjadi Rp 75. Para prajurit juga menerima empat setel pakaian, termasuk pakaian dalam dan sepatu, per tahun.
Di sisi lain, ”Presiden Soeharto mengeluarkan surat keputusan yang berisi patokan umum tingkah laku pegawai negeri/ABRI untuk melaksanakan pola hidup sederhana. Mereka dilarang memasuki tempat perjudian, kelab malam, dan tempat mandi uap (kecuali bagi yang menjalankan tugas). Presiden juga melarang mereka menempati lebih dari satu rumah dinas, memakai mobil dinas mewah, dan melakukan tindakan pemborosan”. Keputusan Presiden ini ditulis Kompas yang terbit pada tanggal yang sama, 9 Maret 1974.
Larangan tersebut tak hanya berlaku bagi pegawai negeri/ABRI, tetapi juga untuk para istri mereka. Bahkan perayaan yang sifatnya pribadi pun diatur dalam keputusan presiden.
Misalnya, dalam merayakan pernikahan, ulang tahun, dan khitanan harus secara sederhana. Untuk satu acara tidak boleh diselenggarakan lebih dari dua kali. Jumlah undangan pun dibatasi, tak boleh lebih dari 250 pasang undangan.
Presiden Soeharto mengeluarkan surat keputusan yang berisi patokan umum tingkah laku pegawai negeri/ABRI untuk melaksanakan pola hidup sederhana.
Pola hidup sederhana bagi ABRI dan keluarganya sebelumnya sudah ditekankan Menhankam/Pangab Jenderal Panggabean saat membuka Kongres I Dharma Pertiwi di Jakarta, November 1973. Panggabean menegaskan, semua prajurit ABRI dan keluarganya harus menjauhkan diri dari kehidupan yang eksklusif karena kedudukan sosialnya. Mereka juga diminta hidup sederhana.
”Di sinilah sebenarnya peranan seorang istri (anggota ABRI) sangat menentukan. Organisasi-organisasi istri ABRI yang tergabung dalam Dharma Pertiwi dapat memberi sumbangan yang berarti,” kata Panggabean seperti dikutip Kompas, 28 November 1973. Dia juga mengingatkan kedudukan anggota ABRI dengan konsekuensi setiap tingkah laku dan sikapnya menjadi sorotan masyarakat.
Untuk menghindarkan anggota TNI dari gaya hidup berlebihan, pimpinan TNI bersikap tegas. Deputi Kasau Marsekal Madya AR Alamsyah, misalnya, mengeluarkan perintah larangan bagi pejabat dan anggota TNI AU mengadakan pesta atau perayaan pernikahan maupun khitanan di hotel-hotel. Perayaan harus dilaksanakan secara sederhana di balai pertemuan milik angkatan atau Polri (Kompas, 11 September 1978).
Hadiah dilarang
Soal larangan menerima gratifikasi pun sebenarnya sudah muncul jauh sebelum keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden Soeharto lewat surat keputusannya yang berlaku mulai 5 Maret 1974 antara lain melarang instansi-instansi pemerintah di pusat ataupun daerah untuk memberikan pelayanan berlebihan kepada pegawai negeri/ABRI, baik itu secara pribadi maupun kedinasan.
Pegawai negeri/ABRI, termasuk istri-istri mereka, dilarang menerima hadiah atau pemberian lain serupa dalam bentuk apa pun juga jika mengetahui atau patut diduga pemberi mempunyai maksud yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan mereka, baik secara langsung maupun tak langsung (Kompas, 9 Maret 1974).
Soal larangan menerima gratifikasi pun, sebenarnya sudah muncul jauh sebelum keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka yang melanggar keputusan presiden tersebut akan dikenai sanksi hukuman jabatan berdasarkan pengaturan dalam peraturan pemerintah tentang hukum jabatan. Selain juga hukuman pidana yang diatur dalam UU tentang pemberantasan korupsi dan hukum pidana lainnya berdasarkan KUHP.
Tentang gaya hidup sederhana dan kejujuran bagi anggota ABRI tersebut, kembali ditegaskan Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani. Dia mengingatkan agar semua anggota ABRI bekerja dengan cara-cara yang sederhana, jujur, dan berdisiplin. Mereka juga harus dapat menggunakan dana, waktu, serta tenaganya seefektif dan seefisien mungkin (Kompas, 6 April 1983).
Salah satu wujudnya antara lain tampak pada peringatan ulang tahun ke-14 Kowilhan III yang meliputi Sulawesi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah yang diadakan di Ujung Pandang (kini Makassar) pada 1984. Tak ada pesta, sebagai gantinya diadakan berbagai kegiatan sosial seperti khitanan massal, berkunjung ke panti asuhan, dan donor darah (Kompas, 7 Februari 1984).
Hal serupa juga muncul pada hari ulang tahun ke-41 Marinir wilayah timur yang dipusatkan di Karangpilang, Surabaya. Di sini hadir sekitar 200 undangan dan tanda ulang tahun hanya berupa nasi tumpeng. Sebelumnya para anggota Marinir mengadakan kerja bakti seperti membersihkan sungai dari eceng gondok di Jalan Gunung Sahari, Surabaya, 250 anggota mendonorkan darahnya, dan menghibur anak-anak di Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (Kompas, 18 November 1986).
Sementara Kodam IV/Diponegoro memeringati hari ulang tahun ke-42 pada 1992, antara lain dengan mengadakan berbagai pertandingan gabungan antara militer dan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah lomba lari 10-K, lomba pidato, sepak bola dan bola voli (Kompas, 3 Maret 1992).
Tetap bekerja
Setidaknya sejak tahun 1970-an, anggota TNI kerap menyumbangkan tenaga mereka untuk pembangunan. Kompas, 28 Juli 1972, menulis berita tentang peningkatan lapangan terbang Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur, yang memanfaatkan anggota Zeni Kodam IX Mulawarman sebagai tenaga kerjanya. Sementara biaya peningkatan lapangan terbang itu diperoleh dari Pertamina.
Hasilnya, lapangan terbang yang semula hanya dapat digunakan untuk Dakota DC 3, kemudian bisa dipakai terbang dan mendarat pesawat jenis Fokker F-27 dan Convair 440. Ini karena panjang lapangannya bertambah menjadi 1.800 meter dengan lebar 30 meter.
Tahun 1992, Satuan Tugas (Satgas) Operasi Bhakti (Opsbak) TNI AL Surya Bhaskara Jaya (SBJ) ke-21 dilangsungkan di Kepulauan Mentawai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Opsbak SBJ merupakan pengabdian prajurit untuk kemanusiaan. Kegiatan ini didukung 381 personel yang terdiri dari TNI AL 271 orang dan non-TNI AL sebanyak 110 orang (Kompas, 29 Mei 1992).
Menggunakan KRI Teluk Ende, kapal perang dengan komandan Letkol Laut (P) Totok Laksito MK, mereka memberi pelayanan medis, melakukan kerja social, dan berdialog dengan warga yang tersebar di empat kecamatan, yakni Kecamatan Siberut Utara, Siberut Selatan, Sipora, dan Pagai Utara Selatan.
Dengan gotong royong bersama masyarakat setempat, mereka antara lain membangun jalan, jembatan, dan gedung sekolah. Bahkan di Desa Betumonga, Sipora, TNI AL menyumbang satu set parabola dan pesawat televisi, di samping buku tulis, buku bacaan, pakaian seragam sekolah, dan peralatan olahraga.
”Ini televisi dan parabola pertama di desa kami,” kata Kepala Desa Betumonga, Martin.
Bagi TNI AL, seperti dinyatakan Dan Satgas operasi Kolonel Supanto, lewat kegiatan tersebut, pihaknya antara lain ingin mengingatkan masyarakat yang berpunya untuk berbagi dengan saudara sebangsa yang hidup dalam keterbatasan.
Andalan saat bencana
Prajurit TNI juga menjadi andalan saat Indonesia tertimpa bencana. Sekadar contoh, ketika gempa melanda Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 12 Desember 1992, Tim ABRI, Polri, dan masyarakat setempat bahu-membahu berusaha menyelamatkan korban dan menguburkan jenazah (Kompas, 17 Desember 1992).
Tim mendirikan tiga posko, di Kupang, Ende, dan Maumere. KRI Teluk Mandar pun berlabuh lengkap dengan peralatan medisnya. Sebanyak 2.500 anggota dari Kodam Siliwangi, Diponegoro, dan Brawijaya dikerahkan menuju Flores untuk memperkuat 1.500 prajurit guna melaksanakan operasi bakti ABRI yang disebut Satgas Bhirawa (Kompas, 5 Januari 1993).
Selama enam bulan, para prajurit membangun lebih dari 15.000 rumah sederhana bagi penduduk setempat. Mereka juga membersihkan reruntuhan dan membangun prasarana seperti jalan. Kembali para prajurit menjadi tenaga kerja andalan, sedangkan biaya perbaikan berasal dari APBN.
Kebersamaan rakyat dan prajurit seperti itu, menurut Jenderal (Pur) Rudini, menjadi ciri khas tentara Indonesia. Angkatan bersenjata Indonesia tidak didirikan pemerintah. Dulu, tentara adalah petani, pelajar, guru, dan berbagai profesi. Bahkan panglima tentara pertama, Jenderal Soedirman, memimpin TNI bukan karena keputusan pemerintah, melainkan atas kesepakatan rakyat.
”Dulu memilih pejabat atau memberi pangkat ditulis dengan kapur oleh rakyat,” kata Letjen (Pur) Soegiarto seperti dikutip Kompas, 5 Oktober 1993. Namun, ABRI sekarang adalah produk ”sekolahan”, Rudini menambahkan. Mereka adalah generasi yang lahir pada masa Orde Baru dan tidak mengalami masa revolusi kemerdekaan ataupun situasi politik pada 1950-1960-an. ”Namun, ABRI harus bisa berdiri di atas semua golongan,” kata Mayjen (Pur) Soenarso menambahkan.
Program yang jelas memberi manfaat untuk rakyat, seperti ABRI Masuk Desa (AMD) yang dimulai tahun 1980, tetap berlanjut. Namun, di sini perlu disesuaikan dengan program pemerintah lainnya.
Kompas, 29 Maret 1994, mencatat, sampai 1994, AMD dilaksanakan 45 kali dan menjangkau 8.600 desa. Hasilnya antara lain pembuatan dan perbaikan jalan sepanjang 10.756 kilometer serta pembuatan dan perbaikan 220 bendungan.
TNI setelah masa Reformasi relatif tidak lagi berpolitik dan berbisnis. Akan tetapi, seiring dengan perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang cenderung semakin materialistis dan konsumtif, mengakibatkan sebagian prajurit pun berubah perilakunya.
Seperti ditegaskan Asisten Personalia (Aspers) Kasum ABRI Mayjen TNI Mansyur, ada pergeseran orientasi. Misalnya, bagi sebagian tentara yang semula mengutamakan pengabdian, berubah menjadi balas jasa untuk pemenuhan kebutuhan materi (Kompas, 23 September 1993).
”Cukup banyak pelanggaran dan penyimpangan perilaku prajurit yang disebabkan adanya pergeseran orientasi tersebut. Misalnya, penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan backing. Semua itu pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan material dengan cara mudah. Sikap ini tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan jiwa kejuangan ABRI,” demikian amanat Mansyur yang dibacakan Kapusbintal Kolonel (Art) Suraji.
Penegasan yang diungkapkan Mansyur sekitar 25 tahun yang lalu di Palembang itu, rasanya masih relevan hingga kini.