Sektor Konstruksi Rawan Korupsi
JAKARTA, KOMPAS — Sektor konstruksi masih rawan menjadi ladang korupsi. Perencanaan desain bangunan yang di bawah nilai, suap untuk mendapatkan proyek, hingga pengadaan barang di bawah spesifikasi, menjadi modus korupsi yang kerap digunakan di proyek konstruksi. Celah korupsi tersebut semakin menjadi akibat minimnya pengawasan.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, setiap tahun ada 50-60 kasus korupsi terkait sektor konstruksi yang ditangani KPK. Modus terbesar adalah penyuapan oknum tertentu agar memperoleh proyek. Selain itu, modus korupsi juga dari pengadaan barang dan jasa.
Pada 2017, kasus-kasus korupsi terkait sektor konstruksi yang ditangani KPK antara lain dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana serta proyek pembangunan gedung Institut Pemerintahan Dalam Negeri di Provinsi Riau.
Mengenai kasus penyuapan, Pahala menjelaskan, kontraktor biasanya memberikan uang muka kepada pemerintah daerah, kementerian, ataupun oknum parlemen. Tujuannya agar bisa memperoleh proyek. ”Kami juga mengetahui, apabila (proyek sudah tercantum) di APBD, pembagiannya sudah diatur,” ujar Pahala pada acara Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo), di Jakarta, Selasa (6/3).
Ketua Gapeksindo Irwan Kartiwan mengakui praktik suap itu sudah marak terjadi di jasa konstruksi. Ia mengatakan, korupsi rawan terjadi di konstruksi karena iklim usaha jasa konstruksi tidak sehat. Penyebabnya adalah jumlah proyek lebih sedikit dibandingkan jumlah badan usaha jasa konstruksi.
”Permintaan dan supply enggak balance. Karena enggak balance, kalau mau dapat proyek harus bayar dulu nih,” ujar Irwan.
Praktik suap itu sudah marak terjadi di jasa konstruksi. Ia mengatakan, korupsi rawan terjadi di konstruksi karena iklim usaha jasa konstruksi tidak sehat. Penyebabnya adalah jumlah proyek lebih sedikit dibandingkan jumlah badan usaha jasa konstruksi.
Irwan menjelaskan, uang itu diberikan kepada semua pihak yang berkepentingan agar proyek itu berjalan. Adapun besaran uang itu pun variasi tergantung nilai kontrak proyek dan biasanya praktik ini ditemukan pada proyek konstruksi paket besar dengan nilai di atas Rp 25 miliar.
Pengurangan material
Anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, mengatakan hal serupa. Ia meyakini sektor konstruksi rawan praktik korupsi. Praktik korupsi bisa terjadi sejak dalam tahap perencanaan, bahkan saat pelaksanaan.
Di tahap perencanaan, modus korupsi diduga sudah direncanakan sejak dalam tahap pembuatan desain. Pembuatan desain itu bisa dilakukan oleh perusahaan kontraktor ataupun pihak konsultan.
”Perusahaan-perusahaan itu sudah bisa menghitung berapa keuntungan yang bisa diperoleh. Caranya mereka membuat spesifikasi yang dikurangi dari pendanaannya,” ujar Febri.
Adapun di tahap pelaksanaan, modus korupsi diduga pada tahap pembelian material yang berada di bawah spesifikasi yang ditentukan. Selisih harga itulah yang diduga dikorupsi oleh oknum-oknum di sektor konstruksi.
”Misal, proyek membuat jembatan. Seharusnya, tingkat kedalaman paku yang harus dipakai sekian, tapi setelah dikerjakan malah harus lebih dalam lagi,” ujar Febri.
https://youtu.be/Cvc3ZKHxOMM
Padahal, pengurangan spesifikasi material juga dapat berdampak pada kekuatan konstruksi. Sebagai contoh, pada Senin (20/2) dini hari salah satu cetakan beton kepala kolom tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu ambrol dan menyebabkan tujuh pekerja terluka.
Insiden itu diduga terjadi akibat dikuranginya jumlah material batang baja penyangga (stress bar) dan kesalahan prosedur pengecoran. Seusai kejadian, pemerintah sempat menghentikan proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya tersebut selama sepekan untuk evaluasi.
Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur menetapkan dua tersangka pada insiden tersebut, yakni AA yang menjabat kepala pelaksana lapangan dari PT Waskita Karya dan AS yang menjabat kepala pengawas dari PT Virama Karya. Polisi mengenakan pasal kelalaian terhadap kedua tersangka.
Febri menilai, penggunaan spesifikasi material yang tidak sesuai desain dalam proyek konstruksi juga merupakan salah satu modus korupsi yang lazim dalam sektor konstruksi. Artinya, penyebab kecelakaan bisa jadi tidak hanya sebatas pada kelalaian personal.
Febri menambahkan, tindakan korupsi juga dapat terjadi karena minimnya pengawasan proyek konstruksi. Apalagi, masifnya proyek infrastruktur selama tiga tahun terakhir membuat banyak pekerjaan terkesan tergesa-gesa sehingga tidak diawasi secara ketat.
Menanggapi hal itu, PT Waskita Karya membantah adanya pengurangan spesifikasi material pada proyek Tol Becakayu. ”Kalau kami melakukan seperti itu, sudah tidak zaman lagi. Alat untuk mendeteksi kecurangan itu sudah sangat canggih,” kata Kepala Divisi III PT Waskita Karya Dono Parwoto.
Kalau kami melakukan seperti itu, sudah tidak zaman lagi. Alat untuk mendeteksi kecurangan itu sudah sangat canggih.
Terkait insiden tersebut, Direktur Operasi II Waskita Karya Nyoman Wirya Adnyana mengungkapkan, Waskita telah melakukan langkah perbaikan pada sistem supporting (penyangga) atau shoring yang akan digunakan pada pekerjaan pier head (kepala kolom) Jalan Tol Becakayu sesuai rekomendasi Komite Keselamatan Konstruksi (KKK).
”Setiap tahapan pekerjaan akan mengikuti SOP (prosedur operasi standar) untuk menjamin setiap pekerjaan dapat diselesaikan dengan aman, tepat mutu, dan waktu,” kata Nyoman Wirya dalam siaran pers.
PT Kresna Kusuma Dyandra Marga (KKDM) selaku pengelola Tol Becakayu juga akan menindaklanjuti secara positif perbaikan guna menjamin pelaksanaan pekerjaan Tol Becakayu dapat diselesaikan tepat waktu, aman, dan lancar.
Direktur Teknik PT KKDM Purma Yose Rizal mengakui, KKDM telah menempuh sejumlah langkah untuk menindaklanjuti itu, yakni mengikuti pertemuan tiga menteri serta berkoordinasi dengan kontraktor, yakni PT Waskita Karya dan konsultan pengawas PT Virama Karya untuk melakukan perbaikan secara intens.
Selain itu, KKDM juga bekerja sama dengan KKK untuk memastikan pembangunan Tol Becakayu dilakukan sesuai kaidah, memastikan pengawasan berjalan baik, serta meminimalkan kelemahan yang ada dalam SOP dengan membuat kantor manajemen proyek di PT Waskita Toll Road.
Sistem pencegahan
Untuk mencegah korupsi di sektor konstruksi, KPK saat ini tengah menyusun panduan manajemen konstruksi yang antisuap. Ia mengatakan, banyak tersangka suap tidak mengetahui, tindakannya termasuk menyuap dan masuk pidana korupsi. Dengan panduan itu, yang menurut rencana akan dibagikan ke Gapeksindo, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dan perusahaan konstruksi lainnya, diharapkan tumbuh pemahaman apa itu suap dan bagaimana suap itu berjalan.
Selain itu, KPK juga tengah mengembangkan Certified Integrity Officer atau tenaga ahli di perusahaan yang bertujuan menumbuhkan iklim berintegritas. Pahala menjelaskan, diharapkan dalam suatu perusahaan ada tenaga ahli perusahaan yang bisa mengidentifikasi yang rawan korupsi dan suap sehingga dia bisa berperan membangun sistem pencegahan suap.
”Upaya-upaya ini untuk membangun manajemen antisuap dalam berbisnis. Intinya kami ingin mengakomodasi lingkungan bisnis yang baik dan profesional,” ucap Pahala.
https://youtu.be/RzA4cF0Z2-s
Mengabaikan studi imiah
Pakar forensik geoteknik, Prof Chaidir Anwar Makarim, menilai, cara berpikir yang cenderung menganggap remeh peraturan dan mengabaikan studi ilmiah ditengarai menjadi sebab mendasar terjadinya sejumlah insiden konstruksi pada sejumlah proyek infrastruktur dalam beberapa bulan terakhir. Ini diduga terjadi karena kecenderungan tidak dibiasakannya metode berpikir logis dengan sejumlah konsekuensi tertentu di masa berikutnya bilamana sebuah hal dikerjakan atau diputuskan saat ini.
”Ini fundamental, jangan hanya (menyoroti) teknis. Cara pikir mesti ada,” ujar Chaidir.
Ia mengatakan hal itu dalam konteks kegagalan fungsi bracket (penyangga) cetakan kepala tiang Jalan Tol Becakayu di kawasan Cawang pada 20 Februari. Salah satu dugaan menyusul kegagalan kegunaan tersebut adalah dipergunakannya empat batang baja pengikat penyangga atau kurang dari desain awal sebanyak 12 batang baja.
Chaidir mengatakan, praktik tersebut kemungkinan merujuk pada hal serupa yang pernah dilakukan di tempat lain dan terbukti tidak terjadi hal apa pun. ”Memang mungkin (saat itu) tidak apa-apa, tapi ada safety factor yang mesti diperhatikan,” ujarnya.
Safety factor merujuk pada pengertian tentang kapasitas sebuah sistem di luar beban yang sudah dihitung. Ini diperlukan untuk menjamin keamanan bilamana sistem tersebut mengalami beban lebih besar dari perhitungan.
Adapun beban yang lebih besar dari perhitungan sebelumnya dapat terjadi karena sebab internal ataupun eksternal. Unsur penyusun material dan kesalahan fabrikasi material yang menyebabkan kegagalan desain berikut kekuatannya menjadi sebab internal. Adapun penyebab eksternal adalah kondisi lingkungan atau cuaca dan kecelakaan dalam derajat tertentu.
Menurut Chaidir, pengabaian pada aturan teknis dari hasil riset itu terjadi menyusul kurangnya cara berpikir secara logis dan ilmiah dalam sistem pendidikan di Indonesia. ”Padahal, peraturan ada karena dibuat untuk menghindari celaka, dan kemungkinan ada yang bisa mati serta masuk penjara,” kata Chaidir yang juga Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara itu.
Selain kejadian di Jalan Tol Becakayu, Chaidir juga menyoroti kejadian ambrolnya tembok perimeter selatan di kawasan Bandara Soekarno-Hatta pada 5 Februari. Kejadian yang disebutnya karena kesalahan desain, menyusul kurangnya ketebalan tembok, itu ditambah pula dengan ketiaadaan percabangan konsekuensi hukum.
Menurut Chaidir, persoalan konstruksi di lapangan terkait dengan teknis pengawasan yang berpulang pada manajemen konstruksi. Praktik manajemen konstruksi yang baik idealnya dengan tetap mematuhi aturan, bahkan sekalipun aturan tersebut kemungkinan dapat pula tidak cukup untuk menangani kondisi teknis di lapangan.
”Tapi, kita kita patuhi aturan saja supaya kalau (konstruksi) ambruk, aturan yang disalahin, bukan kita,” ujar Chaidir. Ini menyusul peninjauan terhadap aturan yang dilakukan dalam periode tertentu dengan sejumlah perubahan terkait perkembangan kondisi alam dan sebagainya.
Kondisi tanah
Chaidir menambahkan, selain itu perlu juga dipertimbangkan kondisi tanah pada sejumlah proyek konstruksi yang tersebar di Jakarta. Sehari sebelumnya, dalam diskusi bertajuk ”Urban Water and Resilience” yang diselenggarakan di Universitas Tarumanagara, Jakarta, Chaidir menyebutkan terdapat sebagian kawasan Jakarta yang kerap mengalami tantangan teknis konstruksi menyusul lapisan soft soil hasil pembentukan sungai purba.
Terhadap kondisi tersebut, perlu dilakukan rekayasa teknik untuk melakukan perkerasan lapisan tanah. Sementara menurut Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan, sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut dan sebagian merupakan kawasan pesisir dengan rawa-rawa.
Hal itu disebabkan proses geomorfologis tanah dalam aliran sungai menuju Jakarta yang berasal dari erupsi gunung api di sisi selatan sejak ribuan tahun lalu. Aliran sungai tersebut mengalirkan air dan tanah (sedimen) dari gunung-gunung api tersebut dan menciptakan daratan baru sebagai pembentuk sebagian kawasan Jakarta kini. (BKY/DD05/ADY)