Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra dan Sekjen PBB Noor Afriansyah memamerkan nomor urut partainya pada Pemilu 2019. Nomor urut itu didapat seusai penetapan parpol dalam rapat pleno, Selasa (6/3) di kantor KPU, Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Pada Pemilihan Umum 2019, peserta partai politik tidak perlu memaksakan padangan nomor urut cantik akan meningkatkan jumlah pemilih. Nomor urut dinilai hanya sebagai alat identifikasi tambahan bagi parpol untuk memudahkan sosialisasi.
Sebelumnya, Selasa (5/3), Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan 19 nomor urut parpol peserta Pemilu 2019. Nomor urut teranyar, 19, diberikan kepada Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara itu, nomor urut 1-14 dimiliki parpol nasional yang sudah ditetapkan sebelumnya dan nomor 15-18 dimilik parpol lokal Aceh.
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra mengatakan, nomor yang didapatkan PBB sangat unik. Dia pun sangat menyukai angka itu dan dinilai dapat membawa keberuntungan bagi PBB.
”Nomor 19 itu sangat unik, apalagi tahun Pemilu 2019, saya suka angka itu. Itu nomor pelat mobil dan lantai kantor saya. Minimal dengan nomor urut 19, bisa dapat 9 persen suaralah,” kata Yusril, seusai penetapan nomor urut, Selasa (5/3), di Gedung KPU, Jakarta.
Meski demikian, pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, nomor urut yang dibarengi jargon itu tidak berpengaruh pada jumlah persentase suara. Nomor urut itu justru dinilai agak dipaksakan agar terlihat menarik dan gampang diingat.
”Seperti PBB saja pada tahun 2014 juga mendapatkan nomor 14. Tidak berpengaruh, malah mereka tidak lolos ambang batas parlemen. Saya kira nomor 19 yang dikaitkan dengan Pemilu 2019 akan sama saja,” kata Arya.
Menurut Arya, nomor urut yang dibalut dengan jargon hanya berfungsi untuk memudahkan sosialisasi. Logo dinilainya lebih penting dan lebih mudah diingat oleh para pemilih. Apalagi, nomor urut parpol berganti setiap lima tahun sekali, sedangkan logo parpol selalu sama.
KELVIN HIANUSA UNTUK KOMPAS
Perwakilan partai politik dalam acara Rekapitulasi Nasional Penetapan Peserta Pemilu 2019 oleh KPU di Jakarta, Sabtu (17/2).
Nomor kecil
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono meyakini, nomor urut 2 yang didapatkan partainya mampu menaikkan jumlah pemilih. Menurut dia, penyimbolan angka yang hanya lewat satu telapak tangan akan memudahkan kampanye.
”Kan, lebih gampang, hanya menggunakan dua jari saja. Kalau nomor urut 13 dan 14, kan, susah menyimbolkannya. Dari ratusan juta pemilih, mungkin ada sejuta yang memilih gara-gara mengingat nomor urut,” sebut Ferry.
Adapun, Gerindra menggunakan jargon Victory dalam kampanyenya. Lambang V dalam Victory itu diambil dari penyimbolan angka dua.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengucapkan, sosialisa tanpa atau dengan nomor urut nyaris tidak berbeda. Sama dengan Ferry, Titi menilai nomor urut hanya sebagai identitas tambahan dalam kampanye.
Titi menambahkan, nomor urut sedikit membantu terkait pengenalan posisi parpol di surat suara. Pemilih dapat dengan mudah dan sederhana dalam mengidentifikasikan letak parpol tersebut.
”Tetapi saya merasa tidak ada korelasi signifikan antara nomor urut dan pemenangan partai. Apalagi jumlah parpol Pemilu 2019 tidak mencapai 20,” ucapnya.
KELVIN HIANUSA UNTUK KOMPAS
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini
Sejarah berbicara
Titi mencontohkan nomor urut tidak berpengaruh pada Pemilu 2014. Saat itu, Partai Nasional Demokrat mendapatkan nomor urut satu. Namun, hasilnya, mereka berada di posisi ke sembilan, atau kedua dari belakang.
Apabila ditarik lebih jauh, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat mendapatkan nomor urut terakhir, yaitu 31. Meski demikian, Demokrat memenangi pemilu dengan jumlah pemilih mencapai 20,81 persen.
Arya menambahkan, faktor ketokohan merupakan hal yang paling memengaruhi pilihan publik. Hal itu terbukti saat ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono membawa Demokrat memenangi Pemilu 2009. Ditambah, pada Pemilu 2014, ketokohan Presiden Joko Widodo mampu membuat partainya PDI-P memenangi pemilu. Kedua tokoh itu kuat dan menjadi presiden pada tahun yang sama.
Untuk itu, Arya melihat hal sama akan terjadi pada Pemilu 2019. Faktor tokoh yang melekat dengan partai masih mempunyai efek dalam meningkatkan angka keterpilihan parpol.
”Apalagi, Pemilu 2019 berbarengan dengan pilpres, tentu tokoh menjadi faktor pertimbangan orang memilih parpol. PDI-P mengusung Jokowi, pemilih Jokowi akan cenderung memilih PDI-P. Begitu juga dengan Prabowo dan Gerindra,” tutur Arya. (DD06)
