JAKARTA, KOMPAS— Revolusi industri keempat atau industri 4.0 terus bekembang pesat. Kondisi ini menuntut tenaga kerja untuk lebih kompeten, khususnya dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika. Kompentesi ini akan memengaruhi capaian bonus demografi Indonesia pada 2030 mendatang. Jika tidak dipersiapkan dengan optimal, bonus demografi ini justru bisa berubah menjadi bencana demografi bagi perekonomian bangsa.
Mulai 2015, Indonesia sudah masuk pada periode bonus demografi dan puncaknya terjadi pada 2034. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat, pada puncak bonus demografi, ada 60 tenaga kerja produktif yang mendukung 100 penduduk dan memberikan kontribusi 0,22 persen poin terhadap pertumbuhan ekonomi. Saat itu, populasi penduduk usia produktif, yaitu usia 15-64 tahun, mencapai 70 persen dari total penduduk.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Rahma Iryanti dalam acara "Dialog Nasional Ketenagakerjaan Inklusif di Indonesia," Rabu (7/3) di Jakarta mengatakan, peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia menjadi kunci dalam memanfaatkan bonus demografi yang terjadi di Indonesia. Namun, saat ini kenyataanya penduduk usia muda dinilai belum produktif dan belum memiliki keterampilan yang memadai.
“Sekitar 62 persen penduduk Indonesia atau angkatan kerja kita itu hanya berpendidikan SD (sekolah dasar) ke bawah. Tidak heran jika hampir 60 persen pekerja kita (Indonesia) itu pekerja informal dan sebagian besar pekerjaannya seperti, tukang becak, tukang cukur, ataupun pedagang informal. Kondisi ini perlu menjadi keprihatinan bersama,” ujarnya.
Rahma menilai, perkembangan teknologi dan otomatisasi memang akan menyebabkan beberapa jenis pekerjaan menghilang. Meski begitu, hilangnya jenis pekerjaan ini tidak berarti meningkatkan jumlah pengangguran di masyarakat. Teknologi justru mendorong terciptanya jenis pekerjaan baru yang lebih produktif dan lebih besar jumlahnya. “Okupasi lapangan kerja di masa depan seperti di bidang konstruksi, pelayanan kesehatan, teknologi informasi, manajer, dan kreatif,” ucapnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, kondisi industri digital saat ini atau yang disebut revolusi industri 4.0 tidak dapat dihindari. Industri akan lebih menekankan pada produktivitas, efisiensi, dan daya saing. “Untuk masuk ke revolusi industri keempat ini, pemerintah akan lebih mendorong kompetensi pada tenaga kerja, khususnya di usia muda,” katanya.
Airlangga menuturkan, upaya untuk menciptakan tenaga kerja industri yang kompeten dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pendidikan vokasi industri yang sesuai (link and match) dengan industri dual sistem, pembangungan politeknik atau akademi komunitas di kawasan industri, dan pembangunan keterikatan yang sesuai antara Sekolah Menengah Kejuruan dan industri. Selain itu, upaya lain yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan dengan sistem 3 dalam 1 dan sertifikasi kompetensi.
“Dalam tiga tahun ini, pemerintah akan targetkan ada satu juta tenaga kerja yang bersertifikasi kompeten. Dari satu juta ini lebih berbasis pada sekolah menengah ataupun SMK. Saat ini, kita punya banyak lulusan SMK dan sekitar 40 persen mengangur. Kita harus potong (pengangguran) dengan link and match ini,” ujarnya.
Kesiapan industri
Menurut Vice Chief Executive Officer PT Pan Brother Tbk Anne Patricia Sutanto, revolusi industri 4.0 menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap perusahaan agar bisa terus bertahan. Di perusahaannya sendiri, yang bergerak di bidang tekstil dan garmen, penyesuaikan sudah mulai dilakukan. Hal itu seperti sistemasi dalam proses bisnis perusahaan yang mulai diimplementasikan di beberapa pabrik miliknya.
“Sistemasi harus dilakukan di tengah keterbatasan dari tenaga kerja yang ada. Konsekuensinya, perusahaan juga harus mau memberikan pelatihan khusus untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerjanya,” kata Anne.
Meski begitu, Anne menyayangkan, sebagian tenaga kerja dinilai masih sulit untuk bisa beradaptasi dengan kondisi industri saat ini. Tenaga kerja hanya mau bekerja sesuai dengan kemampuannya dan enggan menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Keadaan itu yang menyebabkan pengangguran semakin tinggi. “Mereka (pekerja) menganggur sebenarnya bukan karena tidak mampu (kompetensi) tapi lebih karena tidak mau berusaha,” ucapnya.
Direktur Rajawali Foundation dan Project Director Sinergi Agung Binantoro menyampaikan, dalam mewujudkan ketenagakerjaan yang inklusif dan kompetitif perlu adanya sinergisitas antara pemerintah, sektor publik dan swasta, institusi pelatihan, organisasi kemasyarakatan, serta kaum muda.
"Dialog bersama menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kesadaran para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan agar bersama-sama mengidentifikasi isu-isu strategis pembangunan ketenagakerjaan inklusif," katanya.