JAKARTA, KOMPAS — Daya lenting atau resiliensi mesti jadi perhatian dalam menghadapi persoalan di Jakarta, seperti banjir, yang cenderung terus berulang. Di dalamnya termasuk pemahaman dan pendekatan sosial budaya yang diintegrasikan dengan berbagai teknik penanggulangan banjir lewat proses berpikir kritis.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi ”Urban Water and Resilience” di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Rabu (7/3).
Sejumlah pembicara hadir dalam diskusi yang dipantik oleh Prof Simon Richter dari University of Pennsylvania. Simon mengungkapkan sejumlah hal di balik keberadaan proyek penanggulangan banjir yang dilakukan Belanda di Indonesia dan negara-negara lain hingga saat ini.
Dalam poin ”The Dutch Dillema”, ia paparkan bagaimana Belanda aktif menginisiasi sejumlah proyek pengelolaan air, seperti tanggul raksasa di Jakarta dan Mekong Delta Plan di Vietnam. Proyek-proyek tersebut menempatkan Belanda sebagai penyedia jasa, dari perencanaan hingga pendampingan pelaksanaan proyek yang semuanya bernilai uang besar. Sebagian dana itu menjadi pendapatan bagi Belanda.
Simon juga memaparkan, selama ini Belanda mengesankan sebagai negara yang berhasil merekayasa daerahnya dengan teknologi dan mengatasi persoalan sebagian besar wilayahnya yang berada di bawah permukaan laut. Pada kenyataannya, data resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan hanya 26 persen dari total luas wilayah Belanda yang berada di bawah permukaan laut dan 29 persen lagi berpotensi banjir.
Memang, penurunan muka tanah di sebagian wilayah Belanda sampai 2,5 sentimeter per tahun dan membuatnya membutuhkan sejumlah adaptasi lingkungan. Namun, apakah harus ditangani dengan berbagai infrastruktur raksasa bernilai amat besar? Masih harus dibuktikan lagi.
Sejawaran Dr Restu Gunawan memaparkan kegagalan Belanda dalam menangani banjir Jakarta pada masa penjajahan di Indonesia. Menurut dia, kegagalan tersebut terjadi karena Belanda mengasumsikan kondisi Jakarta sama dengan Amsterdam. Padahal, Amsterdam bagian dari dataran luas di Eropa. Sementara Jakarta, dari hulu sungai di Puncak, Bogor, hingga ke tepi pantai hanya sepanjang 120 kilometer.
Restu menambahkan, kegagalan Belanda mewujud dalam kesalahan konstruksi pembangunan kanal-kanal yang menyodet sungai untuk mengalirkan air yang ternyata sekaligus mempercepat terjadinya sedimentasi. Hal ini memicu masalah lingkungan akut di masa lalu, termasuk penyakit menular mematikan.
Adapun Sudirman Asun dari Ciliwung Institute mengutarakan pentingnya warga Jakarta hidup harmonis dengan banjir. Mendirikan rumah-rumah panggung, misalnya, bagian dari upaya menghidupkan tradisi kearifan lokal dalam berinteraksi dengan air atau sungai.
Sudirman menyoroti sejumlah upaya menanggulangi banjir yang kini dilakukan, seperti memperbesar kapasitas sungai dengan pengerukan, pelebaran, dan pembetonan dinding sungai, serta pembangunan tanggul laut. Menurut dia, ini logika berpikir yang salah. Ini karena akar masalahnya cenderung tidak pernah diselesaikan. Masalah yang dimaksud seperti kerusakan kawasan hulu akibat alih fungsi lahan karena pengabaian kebijakan tata ruang dan pengambilan air tanah di Jakarta yang menjadi salah satu sebab penurunan tanah.
Namun, Prof Chaidir Anwar Makarim dari Universitas Tarumanegara menyatakan, hasil penelitian menunjukkan, sebagian tanah di Jakarta adalah soft soil, bukan tanah padat. Hal ini membuat penurunan muka tanah, baik ada pembangunan fisik di atasnya maupun tidak, akan terus terjadi. Yang diperlukan, menurut dia, adalah pendekatan transdisiplin, termasuk melibatkan aktif masyarakat atau komunitas untuk bersama-sama menemukan jalan keluar terbaik guna mengatasi masalah di Jakarta. (INK/NEL)